Esai / (Pra)Sarana

Kawasan K.H.Z. Mustofa: Terbebani Kini

Reka Dialog dan Ide untuk Kompleksnya Masalah Sang Pahlawan

Muhammad Taufik
Kolektif Agora

--

Papan nama jalan HZ. Foto dari dokumentasi penulis, 2021.

Kyai Haji Zaenal Mustofa adalah seorang pahlawan nasional yang berasal dari Tasikmalaya, tepatnya Singaparna. Namanya dikenang, dijadikan sebuah nama salah satu jalan di suatu kota bernama Tasikmalaya.

A : “Hai, siapa namamu?”

B : “Perkenalkan, saya Zaenal Mustofa, orang sering panggil saya HZ.”

Kawasan Jalan Kyai Haji Zaenal (K.H.Z.) Mustofa (dibaca: HZ) bisa dibilang merupakan suatu kawasan CBD (central business district). Ada alat elektronik dan barang lain yang harganya bisa disebut fantastis. Tak aneh jikalau ibuku sering meminta antar ke kawasan HZ, untuk sekadar membeli perlengkapan sekolah sewaktu SD hingga alat-alat dapur. Pengalaman ruang tersebut menjadi cikal bakal tulisan ini.

Potret kawasan HZ di saat senggang. Foto dari dokumentasi penulis, 2021.

A : “Bagaimana kabarmu?”

B : “Hari demi hari sepertinya semakin berat, seperti semakin banyak permasalahan yang datang…”

Waktu demi waktu berlalu, meningkatnya perekonomian menjadi suatu hal yang lumrah pada zaman sekarang. Tak terkecuali pada kota kecil ini, Tasikmalaya. Pesatnya arus globalisasi menjadi salah satu penyebabnya: pertokoan dan perdagangan menjamur di mana-mana, menjadi suatu kenyataan yang tak terelakkan.

Kekurangan lahan menjadi suatu permasalahan inti dari semakin banyaknya pedagang kaki lima (PKL) yang “menjajah” trotoar, ditambah ruang untuk pejalan kaki yang sangat minim. Pejalan kaki harus sangat waspada, karena mau tidak mau antropomorphy-nya harus dibagi dengan pedagang kaki lima.

Satu permasalahan tersebut berkembang, layaknya virus yang terus menggerogoti inangnya. Seperti “mati satu tumbuh seribu”, tidak ada ruang untuk pejalan kaki karena pertumbuhan jumlah PKL. Kawasan menjadi kumuh karena sampah semakin berhamburan dan tidak terkontrol oleh Dinas Kebersihan, dan hal tersebut juga mengakibatkan pejalan kaki “menjajah” jalanan, sehingga membuat macet karena harus berbagi dengan kendaraan. Area parkir juga tidak terkontrol dan jadi kawasan “abu-abu”.

Ketika tanpa disadari mereka saling “menjajah”. Foto dari dokumentasi penulis, 2021.

A : “Bersabarlah, kamu pasti kuat, setiap masalah selalu ada jalan keluarnya.”

B : “Bagaimana? Katakanlah, jangan buat aku menunggu.”

Transportasi apa yang paling mudah dan fleksibel? Tidak lain dan tidak bukan adalah dengan berjalan kaki. Masalahnya, tidak semua individu menyukai jalan kaki, entah karena jarak, atau hanya alibi malas semata.

Oleh karena itu, diperlukan adanya penyediaan ruang yang ramah bagi seluruh pengguna kawasan, seperti pejalan kaki, pedagang kaki lima, kendaraan bermotor, hingga para pengguna sepeda. Solusi dari pemecahan masalah tersebut salah satunya dalah menerapkan konsep walkability, atau bisa disebut walkable city.

Walkable city adalah sebuah kota yang memiliki aspek walkability yang tinggi, di mana kota tersebut memiliki lingkungan yang mendukung serta mendorong kegiatan berjalan kaki dengan memberikan pedestrian kenyamanan dan keamanan, menghubungkan orang-orang dengan beragam tujuan dalam waktu dan tenaga yang wajar, selagi memberikan ketertarikan visual dalam perjalanannya.

Menurut Jeff Speck, dalam bukunya Walkable City: How Downtown Can Save America, One Step at a Time (2012), ada empat aspek utama yang diperhatikan untuk mewujudkan konsep walkability, yaitu :

  1. The Useful Walk
  2. The Safe Walk
  3. The Comfortable Walk
  4. The Interesting Walk

Hal tersebut diperjelas dengan salah satu teori ruang publik yang ditandai oleh tiga hal, yaitu responsif, yang berarti suatu ruang dengan fungsi kegiatan dan kepentingannya; demokratis, yang berarti berbagai kalangan dapat menggunakan suatu ruang tersebut; dan bermakna, yang berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia yang lebih luas dalam konteks sosial.

Penerapan konsep walkable city bukan seutuhnya win-win solution. Selalu ada perbedaan pendapat yang akhirnya membuat polarisasi. Katakanlah, seperti biasa, pedagang kaki lima yang tidak ingin dagangannya dipindah ke dalam suatu ruang khusus. Namun, jika ditinjau ulang, hal tersebut akan menjadi lebih baik ke depannya, dan membuat masyarakat terbiasa tertib.

Potret para pedagang kaki lima. Foto dari dokumentasi penulis, 2021.

Banyak yang salah mengartikan bahwa “pedestrian” adalah jalur pejalan kaki. Sebenarnya, pedestrian adalah orang yang berjalan, atau pejalan kaki itu sendiri. Jalur pedestrian merupakan elemen perancangan kota yang penting untuk membentuk keterhubungan antaraktivitas pada suatu lokasi. Jalur tersebut hanya akan “bermakna” dan sesuai fungsi jika pejalan kaki merupakan pengguna utamanya, bukan kendaraan bermotor atau lainnya (Shirvani, 1985).

Menurut Rubenstein (1992), elemen pada jalur pedestrian sangatlah diperlukan, karena hal itu akan mengoptimalkan lokasi yang direncanakan. Jalur pedestrian dibedakan menjadi dua macam, yaitu elemen jalur pejalan kaki (berupa material) dan elemen yang berupa pendukung (seperti lampu, vegetasi, tempat sampah, tanda penunjuk, dan lain-lain).

A : “Bagaimana? Selalu ada jalan, kan?”

B : “Tetapi, saya masih bingung, dari mana harus mulai?”

Dalam mewujudkan konsep walkable city, perlu dilakukan langkah awal, yakni menghitung tingkat walkability pada kota-kota atau negara terdekat, contohnya seperti di Asia. Dapat dilihat bahwa negara dan kota yang mempunyai keramahan terhadap pembagian ruang untuk pejalan kaki dan kendaraan masih sangat sedikit.

Walkability Survey Asia, High Pedestrian Fatalities. Sumber: cleanairasia.org/walkabilitysurveysinasiancities diakses pada Agustus, 2020.

Konsep tersebut juga dijabarkan ke dalam beberapa variabel dan turunannya, seperti tingkat kenyamanan, keamanan dan keselamatan, kondisi, dan fasilitas. Hal ini berguna untuk menelaah apa saja yang harus dipenuhi untuk mencapai sebuah walkability yang ideal.

Peta Konsep & Data Pembahasan. Gambar dari ilustrasi penulis, 2020.

Bayangkan apabila kawasan H. Z. Mustofa menjadi wajah Kota Tasikmalaya yang sebenarnya. Penataan akan menjadi suatu nilai keuntungan apabila dimanfaatkan dengan baik, bukan hanya untuk keindahan. Karena, arsitektur bukan hanya sebuah ilmu yang mendewakan keindahan, tetapi firmitas, utilitas, dan venustas. Terlebih lagi, kawasan jalan HZ merupakan area jual beli yang berdekatan dengan Mesjid Agung dan taman kota, sehingga diperlukan evaluasi dan penataan yang lebih baik agar menjadikan kota yang ramah, aman, dan nyaman.

B : “Apa yang akan berubah?”

Tingkat Fasilitas

  • Trotoar
    Area trotoar pada kawasan pertokoan menjadi suatu hal yang wajib dan perlu untuk dimaksimalkan, karena akan memengaruhi transportasi dan aktivitas berjalan dari satu toko ke toko yang lain. Tidak perlu tinggi, tidak juga terlalu rendah, asal jelas dan mudah dipahami, terlebih bagi penyandang disabilitas. Namun, saat ini, trotoar tidak tertata dengan baik, bahkan terpakai oleh pedagang dan pada akhirnya tidak ada tempat untuk berjalan di atasnya.
  • Area Parkir
    Pada kawasan H. Z. Mustofa, tidak tersedia parkir yang efisien dan tertata. Padahal, pada kawasan bisnis, tempat parkir menjadi suatu hal yang perlu disediakan dengan baik tanpa mengurangi fungsi jalan utama. Penambahan suatu ruang yang terintegrasi dengan jalur pedestrian adalah suatu solusi yang dapat memudahkan para pengguna jalan dan pengguna trotoar.

Tingkat Kondisi

  • Fasad Bangunan
    Suatu konsep walkability yang baik tergantung pula pada fasad bangunan suatu kawasan tersebut. Fasad toko-toko pada kawasan H.Z. Mustofa memiliki kecenderungan karakter yang beragam, tapi tidak tertata. Space iklan ada di mana-mana, seperti saling bersahutan dan bercengkrama satu sama lain. Apabila tertata dan tidak terdapat keegoisan antara satu dengan yang lainnya, semua akan terlihat jelas dan tidak ada yang diunggulkan.
  • Pedagang
    Di kawasan H. Z. Mustofa, PKL semakin berkembang jumlahnya, mengakuisisi trotoar hingga fungsinya berubah. Maka dari itu, diperlukan wadah (koridor) yang layak bagi para pedagang kaki lima.

Tingkat Keamanan & Keselamatan

Pada area trotoar banyak sekali jalur-jalur yang tidak rapi, serta tidak ada jalur yang memadai untuk difabel. Dengan penanganan jalur yang lebih baik, akan muncul rasa aman dan selamat bagi pengguna trotoar. Ruas jalan antara kendaraan dan pejalan kaki pun cenderung tidak aman, karena tidak adanya jalur yang jelas bagi pejalan kaki, sehingga banyak yang menggunakan jalur kendaraan bermotor.

Tingkat Kenyamanan

Kenyamanan merupakan faktor yang sangat penting, seperti penambahan pohon peneduh di beberapa titik, ruang komunal, dan penambahan beberapa elemen yang dikemukakan Rubenstein yang dapat berpengaruh signifikan pada perwujudan konsep walkability ini.

Inspirasi visual untuk penataan kawasan H.Z. Mustofa. Ilustrasi dari Pinterest.com, 2021.

B : “Ternyata memang benar, selalu ada solusi dari berbagai permasalahan. Hanya saja tinggal waktu yang menentukan.”

A : “ Ya. Dengan begitu, mungkin engkau tidak akan terus menanggung beban yang berat, engkau bisa berjalan sendiri hingga mandiri.”

Pada dasarnya, semua individu memiliki caranya sendiri untuk merubah kebiasaannya. Kota pun begitu, selalu memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikan identitasnya. Melalui penataan kawasan berbasis walkable city inilah Kota Tasikmalaya mulai berbenah, bukan hanya untuk menunjukkan identitas kota, tapi untuk memecahkan berbagai permasalahan riil yang ada. Kawasan H. Z. Mustofa, pada akhirnya, hanya sebuah contoh kecil untuk perubahan kota secara keseluruhan ke depannya.

--

--