Ide / Warga

Bekasi: Patriotik Luhur Mendarah Daging

G besar
Kolektif Agora
Published in
4 min readOct 7, 2019

--

JPO Jl. Jend. Ahmad Yani Bekasi. Foto oleh Geiga, 2019.

Malam itu, aku dan temanku pulang dari memotret di Kota Tua untuk keperluan lomba. Sepertinya, kami didukung semesta yang mengizinkan kami mendapatkan momen berburu di jam-jam emas. Temanku sepertinya lelah — di stasiun Manggarai, dia mulai meracau tentang romansanya dengan Jogja. Temanku baru saja berpisah dengan Jogja, tempatnya menimba ilmu. Sekarang, ia harus bangun dari mimpi romantisnya itu untuk melanjutkan kehidupannya di Jakarta, eh maksudku, Bekasi, kota kelahiran kami berdua. Aku mengerti betul daya pikat Jogja, jadi lumrah kita sedikit mabuk kalau sudah berurusan dengan Jogja.

“Jogja itu utopis banget. Kalau gue belum pindah, bisa lupa kalau rekening gue udah tinggal empat digit.”

“Setuju, itu yang gue takut dari hidup di Jogja. Sorry nih, enggak bisa gue dikasih utopis-utopisan, gue lahir dan gede di tempat distopian.”

Lalu, kami berdua mengangguk. Musyawarah sudah mencapai mufakat. Kami berdua berdamai dengan meratapi kehidupan sepanjang rel Cipinang-Cikampek di malam minggu. Kami menyaksikan substansi penggerak roda pembangunan sedang melakukan tugasnya di malam minggu. Kalau kamu tidak mengerti maksudku, tidak apa, ini bahasan lain lagi.

Di tengah KRL yang tertahan di Cipinang, renungan lamaku muncul lagi. Kota Bekasi, kota dengan peringkat kedua untuk upah minimum tertinggi se-Indonesia setelah Karawang. Pembangunan di Kota Bekasi termasuk pesat. Dalam lima tahun terakhir, aku bisa merasakan perbedaan perubahan kota ini, mulai dari pembangunan stadion, perbaikan ruang pejalan kaki, sampai sirkulasi lalu lintas stasiun yang perlahan diperbaiki.

Namun, aku menemukan satu hal yang menarik dari kejadian di atas. Dengan keadaan kota yang cukup terfasilitasi, masyarakatnya justru memilih untuk berkarir di luar Kota Bekasi. Mohon maaf, di artikel ini tidak akan tersaji data statistik atau teori penataan kota yang bisa kita terima kebenarannya bersama. Ini hanya asumsiku saja.

Aku ambil sampel acak pertama. Di lingkungan rumahku, dalam lima deret rumah, hanya aku yang berkesempatan untuk berkarir di Kota Bekasi. Sisanya kebanyakan berkarir di Jakarta atau kota lainnya seperti Tangerang atau Depok. Apakah ini (karir di kota yang lebih besar dan adanya kebutuhan komuter harian) yang membuat Kota Bekasi mendapatkan harga KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang tinggi?

Masyarakat Kota Bekasi mencari nafkah di luar Kota Bekasi untuk kemudian dibelanjakan dan menjadi tambahan kapital di Kota Bekasi. Ini membuat roda perekonomian di Kota Bekasi berputar lebih stabil dari kota-kota di Jakarta. Maka, UMR Kota Bekasi pun anteng bertengger di atas.

Semua itu dapat terjadi karena jiwa “patriot” warga Bekasi yang bahu membahu berdesakan di kereta setiap pagi untuk melakukan commuting dari dan ke ibu kota. Ketika bicara karir, masyarakat berdalih: katanya kesempatan lebih banyak ada di ibu kota. Meski yang kutahu, di masa ini, kesempatan bisa kita ciptakan sendiri. Sungguh berbudi pekerti luhur. Sudahlah menyelamatkan kota, warga Bekasi juga tidak sombong melalui narasi yang rendah hati. Patriotik.

Kereta belum jalan juga. Kami bergelut dengan pikiran masing-masing, sembari berharap kami masih punya air minum untuk bergunjing tentang teman-teman kami yang satu-persatu meninggalkan kami ke biduk rumah tangga. Aku pun kembali ke pikiranku.

Foto oleh Geiga, 2019.

Aku mendapat kemungkinan kedua, yaitu identitas. Dua kemungkinan ini bisa jadi adalah pedal kanan dan kiri yang beriringan mengayuh roda perekonomian di Kota Bekasi. Identitas Bekasi adalah kita di media sosial. Kita melihat dan meniru apa saja yang kiranya membuat kita disukai banyak orang. Tidak perlu menjadi diri sendiri. Selama trendi dan mengikuti apa yang ramai di publik, lakukan saja. Toh, semua suka, kan?

Sejak aku lahir, aku tidak bisa menggambarkan Bekasi melalui satu simbol atau ciri khas, tapi di situlah keunggulannya. Bekasi bisa jadi apa saja yang masyarakatnya suka. Ingin menjadi kota hijau? Oke, mari kita anggarkan untuk Adipura. Setidaknya, Bekasi harus bisa meraihnya sekali. Apa? Bandung punya gimik ruang pejalan kaki? Tenang, ayo kita beri ruang pejalan kaki dekat ruang terbuka hijau. Kalau bisa di tengah kota, jangan di kabupaten, agar terlihat. Apa? Jakarta punya JPO bagus? Besok sudah terpasang di tengah kota. Tolong dipotret dan unggah di Instagram. Kamu pasti bangga Bekasi punya gimik kota replika.

Dalam diskusi saya dengan Mantjah, seorang podcaster asli Bekasi, dalam salah satu episode podcast Architalks, beliau berharap Bekasi memiliki identitas kota yang kuat. Tapi, sebenarnya aku kurang setuju. Coba tengok Bandung. September lalu, Bandung meluncurkan logo Hari Jadi Kota Bandung. Logonya banyak menuai kritik negatif dari masyarakat. Bandung, dengan ekosistem industri kreatif yang cukup bugar, meluncurkan mahakarya visual yang… entah akan saya sebut apa.

Bayangkan jika Bekasi berinisiasi membuat identitas. Siapa pula yang akan mengerjakannya? Karena, semua sumber daya manusianya sedang dalam program pengabdian masyarakat di perusahaan-perusahaan agensi kreatif di kota lain. “Nomor yang Anda tuju, sedang mengabdi di kota lain. Mohon hubungi kembali ketika Anda sudah membangun wadah yang mamadai… Tut tut tut.” Bekasi tetaplah menjadi Bekasi dengan segala kegiatan perbadutannya.

Akhir kata, sedikit menyadur kalimat Arthur Fleck,

“Ada yang bilang, Bekasi lahir dari tragedi. Tapi kurasa, Bekasi akan lahir sebagai komedi.”

--

--