Belajar dari Sherlock Holmes
Induktif, Deduktif, dan Bahaya dari Generalisasi
Sebagai seorang junior urban planner (karena terlalu cepat untuk saya menghilangkan kata junior di depan titel saya), saya rasa ada baiknya kita belajar dari tokoh fiktif ternama ini. Saat meraba literatur Sherlock, saya kemudian sadar bahwa sebagai seorang perencana — yang mana menganalisis adalah makanan sehari-hari — pelajaran yang sederhana namun esensial dapat diserap dari memahami cukup satu cerita pendek ciptaan Sir Arthur Conan Doyle ini.
Setiap individu sebagai makhluk hidup pada dasarnya adalah seorang perencana. Sesimpel menentukan di mana rumah makan untuk makan siang, atau menentukan pakaian yang pantas untuk dikenakan hari ini. Decision making yang kita lakukan setiap harinya tentu didasarkan oleh analisis induktif dan deduktif sederhana dari apa yang seorang individu rasa vital pada saat itu. Pemikiran induktif merupakan sebuah proses permainan logika dalam merancang sebuah ‘ramalan’ berdasarkan pemahaman dari fakta dan bukti yang ada, sementara pemikiran deduktif, di sisi lain, adalah menentukan asumsi berdasarkan fenomena yang terjadi saat itu (Hoggart et al. 2002).
Pemikiran induktif dan deduktif sederhana ini diaplikasikan dengan sangat baik oleh Sherlock Holmes. Menyelisik pola pemikiran Sherlock, analisis dimulai dari bagaimana tokoh tersebut melakukan interpretasi terhadap cerita yang dilaporkan oleh klien-kliennya dan kemudian melakukan investigasi dan merancang strategi berdasarkan asumsi terhadap narasi yang diberikan klien. Di sini, momen di mana Sherlock menelaah setiap kalimat dan kemudian menentukan faktor-faktor apa saja yang memiliki kemungkinan yang cukup besar yang membuat cerita klien tersebut dapat terjadi adalah sebuah bentuk dari analisis deduktif. Kemudian, secara induktif, Sherlock merancang langkah-langkah berikutnya dari hasil analisis deduktif yang telah dia lakukan.
Perlu di-highlight juga bagaimana Sherlock melakukan generalisasi terhadap fakta-fakta yang dia rangkum. Kalimat-kalimat seperti “that kind of tattoo could only have been done in China” atau “stained and wrinkled knees caused by digging the tunnel” di The Red-Headed League (Doyle, 1985) adalah langkah yang berani dan tegas, namun ceroboh. Seberapa yakin dia bahwa tato tersebut hanya bisa didapatkan di Cina? Lalu, apakah celana kotor dengan tanah hanya dapat dihasilkan dari menggali?
Tidak hanya dalam satu cerita pendek saja, namun hampir dalam seluruh serial lainnya, Sherlock memberikan asumsi bersifat generalisasi di analisis induktif dan deduktifnya. Maka, bukan sebuah kejanggalan bila Sherlock, detektif yang tenar akan kepintaran analisisnya, dapat beberapa kali salah terka.
Apa yang membuat tokoh Sherlock relevan dengan seorang penyusun rencana wilayah?
Saya akan mengutip kalimat ‘dewa’ dari dosen Planologi saya, Bapak Zafir Pontoh, bahwa perencanaan adalah “past, present, and future”. Beliau mengatakan bahwa tiga hal tersebut menjadi sebuah pertimbangan fundamental dalam menentukan sebuah master plan, baik sestrategis RPJPN atau sedetail RDTR, ataupun dalam perencanaan sebuah sistem tata kelola.
Kalimat tersebut cukup terpatri dalam benak saya, sehingga ketika mencermati literatur Sherlock dan mengaitkannya dengan dunia perencanaan, saya pun merasa analisis Sherlock dan analisis seorang perencana bernaung di bawah kalimat yang sederhana namun holistik tersebut. Elementernya, past, atau masa lampau, bermakna menaruh ‘sejarah’ sebagai pertimbangan dalam menentukan masa depan atau future, berdasarkan sumber daya yang ada di present time. Saya memandang past sebagai sumber analisis deduktif dan future sebagai hasil dari analisis induktif, sementara present sebagai momen dimana perencana mengambil asumsi dan kemudian menentukan kebijakan.
Generalisasi nomotetik yang Sherlock lakukan dalam spektrum present, sepenuhnya merupakan asumsi rasional berdasarkan hasil dari observasi tunggal dan pengetahuan yang ia serap. Hal ini serupa dengan seorang perencana, yang mengambil keputusan berdasarkan rasionalitas yang telah terbentuk dari pendidikan, dunia praktik, dan sumber pengetahuan lainnya. Perbedaannya mungkin ada pada seberapa besar teori dan/atau sains bermain dalam pengambilan keputusan. Hal itu yang membuat kebijakan yang keluar dari perencana kota dan wilayah menjadi kebijakan yang idealnya sudah melewati kajian yang komprehensif dan menyeluruh.
Bahaya dari generalisasi bertumpu pada kecerobohan seorang dalam mengambil asumsi tanpa melakukan studi mendalam di setiap ‘kasus’ yang pastinya memiliki ciri tersendiri. Peri ini dapat dipahami dari munculnya konsep postmodernism sebagai kritik terhadap modernism dalam filsuf yang menekankan bahwa tidak ada definisi yang ‘tepat’ atau ‘sama’ di setiap tutur (Jameson 1991). Premis tersebut mendukung frase bahwa perencanaan bersifat kontekstual, yang secara solid tidak saya perdebatkan. Sehingga, generalisasi menjadi fatal ketika yang dipertaruhkan dalam pengambilan keputusan menyangkut kepentingan orang banyak.
Sejatinya, sebuah rencana tidak akan ada yang dapat memenuhi keinginan semua pihak yang bersangkutan. Walaupun begitu, ‘kerugian’ dapat diminimalisasi dan diantisipasi dengan menaruh input data yang relevan, namun efektif dan efisien sebagai modal untuk melakukan analisis empiris.
Sherlock Holmes memiliki pengetahuan yang jauh di atas rata-rata, sehingga ia mampu mengambil langkah dengan minim eror (minim, karena saya tetap menganggap kasus Moriarty sebagai outlier). Sherlock mengumpulkan dan merangkum data dan evidence sedetail mungkin yang dapat memperkuat verdict-nya kelak, dan inilah yang dapat perencana tiru dalam membuat asumsi.
Kita sendiri sadar bahwa kekhilafan perencanaan di Indonesia tidak hanya terletak pada hilir Rencana Tata Ruang yang sekedar formalitas, tapi juga di hulu, yakni ketidakandalan dari pembuat rencana itu sendiri. Perencana mungkin dapat menggeneralisasi sebuah kemungkinan sebagai ‘ide’ atau ‘referensi’, namun untuk mengambil sebuah kebijakan, diperlukan reasoning yang kuat dengan analisis yang tepat. Banyaknya fungsi lahan komersial di Jakarta mungkin memberikan efek yang baik terhadap ekonomi, namun bukan berarti Surabaya harus memperbanyak lahan komersial juga walaupun keduanya sama-sama metropolis, bukan?
Referensi
- Doyle, A. C. (1981) ‘The Red-headed League’ in The Penguin Complete Sherlock Holmes. Penguin: Harmondsworth.
- Hoggart, K, Lees, LC & Davies, AR (2002) ‘Researching Human Geography’. London: Arnold.
- Jameson, F. (1991) ‘Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism’. Duke University Press.
- Marshall, J. (1985) ‘Geography as a Scientific Enterprise’ in The Future of Geography, ed. R.J.J. Johnston. London: Metheun, pp. 113–29.