Esai / Gerak

Bergerak Tanpa Sesak

Pandemi dan Transportasi Publik di Jakarta

Rana Ramadary
Kolektif Agora

--

Foto oleh Aprizilio Edwardo di Unsplash, 2020.

Pada 15 Maret 2020, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan surat edaran agar kantor-kantor memberlakukan kebijakan kerja dari rumah (work from home) untuk menekan penyebaran COVID-19. Seiring dengan edaran tersebut, transportasi publik dalam naungan Provinsi DKI Jakarta melakukan penyesuaian dengan membatasi layanan transportasi publik.

Kebijakannya beragam. Secara serempak, pada Senin, 16 Maret 2020, MRT Jakarta, LRT Jakarta, dan Transjakarta hanya boleh beroperasi pukul 06.00–18.00. Masing-masing operator pun menyesuaikan. MRT Jakarta hanya memperbolehkan 60 orang dalam satu gerbong dan LRT Jakarta hanya 30 orang dalam per gerbong, kemudian Transjakarta hanya 30 orang dalam satu armada busnya.

Tujuannya jelas. Transportasi publik merupakan salah satu tempat di mana orang melakukan mobilisasi dari dan ke mana pun, sehingga peluang penyebaran COVID-19 juga besar. Selain itu, dengan asumsi kantor-kantor ini dengan benar dan taat melaksanakan aturan bekerja dari rumah, maka pengguna transportasi publik juga akan berkurang.

Alasan lain kenapa layanan transportasi publik perlu dikurangi saat ini adalah untuk menghemat anggaran. Menurunnya perjalanan yang dilakukan tentunya akan mengurangi pendapatan dari penjualan tiket, sehingga jika layanan tidak disesuaikan akan terjadi pembengkakan biaya produksi. Pengurangan layanan ini perlu dilakukan pada rute wisata atau rekreasi serta bus tambahan pada jam-jam sibuk (bukan meniadakan layanan sama sekali). Namun, kebijakan tersebut tetap perlu memperhatikan pengurangan durasi atau jumlah armada karena masih adanya pekerja industri esensial yang harus keluar rumah.

Sebuah alasan yang masuk akal, kan?

Pemberitahuan yang dilakukan pada Minggu, 15 Maret 2020 itu mendapat banyak kritik karena tidak diinformasikan dengan cepat dan efektif. Di beberapa titik transit, terjadi antrean pelanggan yang mengular karena dibatasinya jumlah pengguna di dalam armada transportasi. Physical distancing, yang kala itu masih silih berganti digaungkan dan dibedakan dengan social distancing, tidak dapat diterapkan. Hari itu adalah hari yang buruk bagi seluruh operator transportasi di DKI Jakarta.

Hidup adalah Seni Beradaptasi

Idealnya, kebijakan PSBB yang diterapkan oleh pemerintah juga beriringan dengan dilaksanakannya kebijakan kerja dari rumah. Dengan begitu, kejadian antrean maupun berebut naik kendaraan umum tidak akan terjadi. Pemberitahuan mendadak dan kebijakan yang sepertinya tidak ketat menyebabkan masih banyak sektor ekonomi yang memerlukan kehadiran fisik pekerjanya.

Ketika layanan dari Jakarta ke Bodetabek dan sebaliknya dibatasi, ada banyak pekerja yang menjerit kesulitan. Banyak kantor yang tidak memberikan insentif biaya transportasi meskipun dalam kondisi seperti ini. Dalam berbagai akun media sosial resmi penyelenggara transportasi publik, banyak yang mengeluhkan terbatasnya wilayah dan jam operasional serta mengkritik masih bandelnya pengguna transportasi publik yang menjejali satu armada.

Banyak dari pengguna transportasi publik ini tidak memiliki kendaraan pribadi. Pada akhirnya, yang dikorbankan adalah kesehatannya sendiri dan keluarganya yang tetap di rumah, serta biaya transportasi yang tinggi akibat terbatasnya layanan transportasi yang tersedia.

Dalam sebuah webinar Urban Social Forum 2020 yang bertajuk “Mobilitas Warga Kota di Masa Pandemi”, dibahas bahwa penyesuaian kebijakan pelayanan transportasi publik yang berubah-ubah menyebabkan pelanggan Transjakarta naik turun secara fluktuatif pada minggu pertama PSBB dilaksanakan hingga akhirnya angka tersebut benar-benar terjun payung. Perubahan ini sempat diisukan sebagai efek kejut yang menimbulkan makin banyaknya kritik terhadap pembuat kebijakan. Untung saja, pada akhirnya, banyak kantor yang memberlakukan kerja dari rumah.

Minggu demi minggu terlewati, hingga pada suatu hari di bulan Maret, tersebar video lengangnya Kawasan Sudirman-Senayan dari kendaraan pribadi yang membuat banyak orang terkagum melihat sepinya Jakarta saat itu. Di saat yang sama, pengguna KRL masih berjubel dalam satu gerbong. Lalu, tak lama setelahnya dilaporkan bahwa jalanan sudah mulai padat, meskipun kebijakan PSBB masih diterapkan. Makin lama, di media sosial, terlihat beberapa orang yang berkendara keluar rumah dengan alasan bosan atau jenuh seraya mengatakan, “Kok, jalanan penuh, ya? Mananya PSBB?”

Di Kawasan Sudirman-Senayan, mungkin pekerjanya memiliki kendaraan pribadi dan punya cukup privilese untuk kerja dari rumah. Namun, ramainya stasiun kereta menunjukan bahwa layanan transportasi publik belum bisa diandalkan, sedang pekerja tetap harus beraktivitas ke luar rumah.

Mungkin, dengan lengangnya Kawasan Sudirman-Senayan tersebut, kebijakan PSBB tampak berjalan lancar. Mungkin juga, jika dengan taat melakukan PSBB atau tidak keluar kendaraan, alasan keluar rumah karena bosan adalah hal yang wajar dan masih tidak membahayakan orang lain. Namun, yang berbahaya adalah berpikiran bahwa jalanan ramai karena merasa pengguna jalan lain, yang menggunakan motor atau transportasi publik, tidak mengindahkan aturan PSBB.

Padahal, sangat mungkin yang terjadi adalah ketimpangan terhadap akses transportasi yang andal dan adaptif.

Ada Banyak Kehidupan yang Perlu Disambung Napasnya

Pilihan hidup seringkali dihadapkan dengan faktor ekonomi. Dalam hal ini, banyak orang yang dihadapkan pada pilihan tidak atau memiliki kendaraan pribadi, pun pilihan tidak atau menggunakan transportasi publik. Keduanya memengaruhi pengeluaran biaya mobilisasi sehari-hari. Perlu diingat, tidak semua orang bisa memiliki kendaraan pribadi, tapi semua orang (harus) bisa menggunakan transportasi publik.

Aplikasi Transit melakukan survei pelanggannya di Amerika Serikat dalam masa pandemi untuk mengetahui lebih jauh tentang karakteristik orang yang melakukan perjalanan. Aplikasi ini digunakan untuk mengetahui jadwal perjalanan transportasi publik, apalagi dengan perubahan layanan yang terus bergulir. Surveinya menunjukkan bahwa mobilisasi banyak dilakukan oleh pekerja industri esensial, dengan dengan yang tertinggi adalah dari industri makanan dan minuman (yang bahkan lebih besar daripada pekerja industri kesehatan).

Sumber: Transit, 2020.

Pekerja yang masih beraktivitas di luar ruangan kala pandemi ini memiliki pendapatan rendah. Transit menyebut bahwa hanya 9% dari penggunanya yang memiliki kendaraan pribadi, dengan 6% memilikinya tapi tidak menggunakannya, dan sisanya sekitar 85% penggunanya adalah pelanggan transportasi publik.

Sumber: twitter.com/rrandres, 2020

Isu sulitnya transportasi publik yang andal ini dihadapi oleh banyak negara. Bagi pekerja industri esensial, seperti tenaga medis, layanan kebersihan, teknisi listrik, atau karyawan toko kelontong, yang biasanya memiliki tingkat pendapatan menengah ke bawah, terbatasnya layanan transportasi publik ini seperti ujian tambahan. Riskannya pekerjaan mereka menuntut untuk berhadapan dengan banyak orang, ditambah dengan pikiran cara bergerak dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya dalam layanan yang terbatas.

Teringat sebuah kutipan dari Enrique Penalosa, mantan Gubernur Bogota, Kolombia, yang terkenal sebagai transit-friendly governor:

“A developed country is not a place where the poor have cars. It’s where the rich use public transportation.”

Kutipan ini tumbuh menjadi pertanyaan: dalam kondisi seperti ini, apakah sebaiknya butuh kendaraan pribadi untuk bergerak sendiri tanpa transportasi publik yang juga terbatas layanannya? Pandemi yang tidak akan hilang dalam sekejap ini butuh segera ditindaklanjuti. The rich mungkin akan lebih aman karena menggunakan kendaraan pribadi, sedangkan the poor akan makin sulit bergerak karena pilihan mobilisasi makin terbatas.

“That’s what keeps us motivated during this strange and prolonged fever dream: Public transit is what makes “essential work” possible.” Jarret Walker, “In a Pandemic, We’re All ‘Transit Dependent’”.

Menyediakan layanan transportasi publik yang aksesibel dan adaptif gunanya bukan sekadar untuk melayani orang sebagai individu yang sedang bergerak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja, tapi melayani orang sebagai bagian dari komunitas. Siklus kehidupan bisa berjalan jika tiap orang hadir dan berkegiatan sesuai dengan tanggung jawabnya, dan penyesuaian pun akhirnya perlu dilakukan di sana sini. Mana mungkin kita tetap bisa belanja kebutuhan harian secara daring dari rumah jika karyawan yang melakukan pembungkusan dan distribusi barang kesulitan ke tempat kerjanya? (Tentu saja mungkin, karena dunia ini cukup tega).

Dengan isu hangat New Normal atau Normal yang Baru, layanan transportasi publik harus siap kembali menghadapi lonjakan pelanggan. Bayangkan jika kapasitas armada atau gerbong masih dibatasi hingga setengah kondisi normal, tapi jumlah armada atau jadwal keberangkatan keretanya belum mumpuni: ini bisa jadi efek kejut episode kedua, kan?

Kesiapan kebersihan harus semakin dikuatkan. Dengan kondisi pelanggan yang menurun drastis seperti saat ini saja, pembersihan dilakukan berkali-kali karena jumlah orang yang melakukan mobilisasi masih cukup banyak, apalagi ketika nanti sudah berjalan kebijakan Normal yang Baru.

Sebagai bagian dari masyarakat yang mungkin harus bekerja di luar rumah dan perlu menggunakan transportasi publik, diperlukan kesadaran untuk tetap mawas diri dalam berkegiatan. Bergantung pada otoritas dan kebijakan saja tidak akan cukup. Jangan lupa sematkan doa bagi pemangku kebijakan agar menyediakan layanan transportasi umum yang adaptif, kan, katanya mau mendorong perputaran roda ekonomi. Betul tidak? He he.

--

--

Rana Ramadary
Kolektif Agora

Si gemar gawai prakarya yang sedang belajar menulis.