Editorial

Berjalan Lebih Jauh, Menyelam Lebih Dalam

Kendaraan Pribadi dan Makna Jarak Masa Kini

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

--

Foto oleh Sangkara Nararya, 2018.

Selama ini, sebagai seorang mahasiswa perencanaan, saya percaya bahwa semua manusia adalah rasional — mengambil keputusan dengan berusaha meminimalkan pengeluaran untuk mendapatkan sebesar-besarnya keuntungan. Hal ini saya percayai termanifestasi dalam perilaku perjalanan, yakni dengan meminimalkan jarak perjalanan yang dilakukan untuk mendapatkan barang yang sama atau lebih baik.

Asumsi yang saya percayai ini menjadikan pengambilan keputusan terkait lokasi menjadi sangat mudah. Jika ingin membuka toko kopi yang sukses, maka mendekatlah dengan pasarnya — kampus misalnya. Namun, ternyata asumsi ini jelas tidak mendeskripsikan kenyataan dengan sempurna. Buktinya, banyak toko kopi dekat kampus saya yang malah tutup. Justru, malah terdapat beberapa toko kopi yang lokasinya relatif lebih jauh namun lebih diminati oleh masyarakat kampus. Kenapa? Bukankah kopi yang diinginkan?

Hasil mengobrol dengan teman-teman saya yang sering jalan-jalan mencari kopi membawa saya pada sebuah kesimpulan tentang preferensi tersebut, “Selama masih bisa dijangkau dengan motor selama 10-15 menit, semua toko kopi sama saja. Maka saya akan memilih toko favorit saya.”

Apakah sekarang ternyata jarak sudah tidak lagi jadi faktor penentu?

Kendaraan dan Persepsi Jarak

Untuk lebih baik memahami fenomena ini terdapat dua hal yang ingin saya bahas dari pernyataan sebelumnya: (1) motor, sebagai bentuk dari perkembangan teknologi transportasi, dan (2) semua toko kopi sama saja, sebagai persepsi terhadap jarak.

Dalam 200 tahun, kendaraan telah berevolusi dari sekadar roda menjadi tolakan medan magnet, dari delman yang ditarik kuda hingga kereta super cepat, dari yang hanya dapat dimiliki oleh mereka yang berpunya menjadi sebuah kelaziman di setiap golongan masyarakat. Dan setiap perkembangan teknologi ini terus meningkatkan jarak tempuh perjalanan harian.

Saat ini, akses terhadap kendaraan begitu mudah. Hal ini dapat terlihat dari jumlah kendaraan yang lalu lalang di jalan sekarang. Hampir semua orang bisa memiliki kendaraan bermotor. Bahkan, dalam banyak kasus, memiliki kendaraan tidak lagi menjadi pilihan, melainkan kebutuhan.

Mudahnya akses terhadap kendaraan memberikan perubahan pada cara kita bergerak; menjadi lebih jauh, dengan lebih cepat. Hal ini menciptakan sebuah kesetimbangan baru dalam bergerak. Mungkin, sebelumnya kita hanya mampu berjalan 700 meter. Sekarang, kita dapat berkendara 7 km tanpa ragu. Dan keduanya ditempuh dalam waktu yang sama!

Kemampuan ini diperkuat dengan kenyataan bahwa biaya untuk menempuh jarak tersebut adalah “limit menuju tidak ada”! Bayangkan, motor matic keluaran terbaru memiliki efisiensi 30-40 km/liter, yang dapat dikonversi sekitar 195-260 rupiah per kilometer dengan penggunaan bensin RON 90 produksi Pertamina. Dengan tingkat efisiensi ini, saya bisa pergi sejauh lebih dari 10 km dengan harga yang nyaris sama dengan air minum botolan yang biasa saya beli sebelum berjalan kaki.

Tidak hanya menjadikan perjalanan jauh ditempuh dengan lebih cepat, kendaraan juga mengubah persepsi terhadap jarak. Hal ini membawa kita pada toleransi terhadap panjang perjalanan. Persepsi “cukup dekat” kita telah berubah dari 700 meter berjalan kaki menjadi 7 km berkendara motor. Dalam rentang jarak “cukup dekat” tersebut, kita menganggap semua toko kopi indifferent — sama saja. Maka, kita akan memilih sesuai preferensi kita terhadap hal lain selain jarak. Selanjutnya kita akan memilih toko favorit kita dengan berbagai alasan; mungkin karena kopinya, jaringan wifi-nya, pilihan musiknya, atau kenyamanan tempatnya.

Masalahnya?

Perubahan persepsi terhadap jarak akibat teknologi ini, membuat kita jadi bergerak lebih jauh untuk mengkonsumsi hal yang sama. Jika terdengar seperti inflasi, memang ini adalah sebuah bentuk “inflasi perjalanan”. Dan semua ini berkat motor, atau kendaraan bermotor lebih tepatnya. Inflasi jenis ini mungkin tidak terasa di rekening bank, namun dampaknya berada di lingkungan. Bergerak lebih jauh, membakar bahan bakar yang lebih banyak. Lebih banyak bahan bakar yang digunakan maka lebih besar polusi yang dihasilkan. Semua ini untuk mengonsumsi hal yang sama!

Hal ini tidak hanya terjadi pada mereka yang memiliki kendaraan. Dengan adanya layanan delivery makanan, mereka yang tidak memiliki kendaraan, tidak melakukan perjalanan, dan hanya ingin menikmati makanan di rumah sesungguhnya juga memberikan sumbangan pada inflasi ini. Dengan restoran yang menerapkan ongkos yang rata (flat rate) atau belakangan layanan ojek online yang menawarkan diskon pada layanan antar makanannya, elastisitas pilihan terhadap jarak menjadi turun. Pilihan restoran mungkin bukan lagi fungsi terhadap jarak — bahkan mungkin jarak tidak lagi jadi pertimbangan. Mirisnya, seringkali layanan ini digunakan untuk jenis makanan yang mungkin terdapat tepat di depan rumah.

Namun, fenomena ini tidak hanya tentang lingkungan. Di masa depan, ketika teknologi semakin maju dan semua permasalahan teknis tentang polusi tidak lagi menjadi masalah, ketergantungan kita terhadap kendaraan akan tetap ada. Karena, panjang perjalanan tidak lagi jadi faktor utama pemilihan tujuan, sehingga menjadi tidak logis untuk terus membangun di lokasi yang mahal harganya. Pembangunan akan menjadi terpencar mencari lokasi yang harga lahannya lebih murah. Apalagi untuk mereka yang sudah sangat yakin bahwa target pasarnya akan bersukarela menempuh jarak yang “sedikit” lebih jauh untuk mendapatkan pelayanan mereka. Kondisi ini bahkan dapat diperburuk karena perkembangan ini seringkali tidak diikuti dengan perkembangan sistem transportasi yang mendukungnya.

Semakin menjauhnya fasilitas-fasilitas tersebut membuat kita tidak dapat mengaksesnya tanpa kendaraan pribadi — membawa kita menyelam lebih dalam pada ketergantungan kendaraan pribadi. Dan perlu diingat bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan memiliki kendaraan pribadi, entah masalah ekonomi atau fisiknya yang memaksa. Hal ini tidak hanya buruk bagi lingkungan, namun juga tidak adil!

Maka, sebelum mengendarai kendaraan untuk berjalan lebih jauh, ingatlah bahwa pilihan ini — untuk membawa kendaraan pribadi — juga membawa kita menyelam lebih dalam pada ketergantungan.

#notetoself

--

--

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

Mainly interested in the city and the choices people make in it