IDE / WARGA

Berseluncur di Kota: Tentang Spasialitas Taman Skate dan Rekreasi di Ruang Modern

Oleh: Muhammad Adib Al-Fikri*

Kolektif Agora
Kolektif Agora
Published in
4 min readOct 10, 2023

--

Foto oleh Robson Hatsukami Morgan di Unsplash.

Kota, setidaknya ketika ditelaah lewat aspek sosial-budaya, merupakan representasi dari kegiatan warganya. Keinginan warga untuk memajukan kota juga berkenaan dengan sejauh apa “modernitas” kota dapat dilihat. Interaksi antar kegiatan riil dan aspirasi ini menjadi penting, apalagi jika kita mengimani bahwa kota merupakan wujud konstruksi sosial.

Kelindan antara warga dan kotanya membentuk rutinitas, kebiasaan, pertemuan berulang, rasa bangga, identitas, kekerasan, kemacetan, polusi, kejahatan, peluang ekonomi, penyingkiran dan penggusuran — beberapa di antara banyak kemungkinan yang bisa terjadi. “Menjadi kota” kemudian semacam klasifikasi kultural tersendiri.

Saya tinggal di salah satu kota besar di Indonesia. Perubahannya tak secepat kota lain, tapi bagi pendatang dan penetap, hal-halnya mungkin tetap terasa. Banyak jalanan sudah diperlebar dan dibangun di atas jalan lain (maksudnya jalan layang). Ruang rekreasi warga juga bertambah, misalnya taman-taman hijau dan juga ruang-ruang dengan tujuan spesifik.

Salah satunya adalah taman skate atau tempat bermain papan seluncur, yang kali ini menjadi fokus tulisan saya. Eksplorasi singkat terhadap taman-taman ini membuka perspektif baru, yakni bagaimana warga dapat menyalurkan bakatnya di tempat-tempat seperti ini.

Kita dapat memulai diskusi ini lewat pemahaman bahwa, dalam masyarakat, terdapat sistem diskursus yang tak stabil, di mana ragam identitas sosial-politik mampu menggambarkan kategori-kategori kultural yang terbuka dan kontingen. Ruang hadir sebagai sesuatu yang tak netral, tapi diimbuhi proses-proses sosial.

Taman skate dan kegiatan di dalamnya merupakan hal baru di kota saya. Secara ideal, tujuan taman ini adalah untuk memperkenalkan aktivitas papan seluncur kepada publik. Taman skate dapat menjadi tempat yang kental dengan kedekatan emosional dan nilai lokal. Elemen-elemen ini muncul dari interaksi antar orang-orang dengan usia, etnisitas, gender, dan kelas sosial yang berbeda.

Taman skate berawal dari keinginan para pegiat papan seluncur yang menginginkan ruang rekreasi khusus dan terbuka untuk semua kalangan. Awalnya, ruang-ruang kota di luar taman ini adalah arena bermain mereka. Tapi, perlawanan dari pihak berwajib sepertinya tak akan pernah berakhir.

Ketersediaan ruang ini memunculkan hasrat baru yang dimanifestasikan secara spasial. Semakin hegemonis wacana yang dibentuk, semakin wacana tersebut dipandang “normal” dan “diterima masyarakat”. Para skateboarders membentuk wacana ini secara terus-menerus, lewat praktik spasial, dalam ruang taman skate.

Praktik spasial dapat diartikan sebagai sebuah praktik yang diproduksi agar suatu ruang kemudian membentuk rutinitas dan kebiasaan. Ruang jadi struktur yang tak tetap, dan diisi oleh interaksi, koneksi, dan berdampak pada kebiasaan yang dilakukan warga. Praktik sosial jadi semacam “negosiasi” wacana yang terjadi dalam ruang-ruang kota.

Dalam bukunya berjudul The Production of Space, Henri Lefebvre menjelaskan bahwa praktik warga terus-menerus terjadi di kota, sehingga warga sendiri mencipta konsepsi pengetahuan yang berguna untuk memaknai dan menggubah ruang sebagaimana keinginannya. Praktik spasial adalah bentuk apropriasi berupa tindakan fisik dan konkret. Tulisnya, “These terms of everyday discourse serve to distinguish, but not isolate, particular spaces, and in general to describe a social space.”

Spasialitas dalam kota ditentukan oleh negosiasi dan wacana yang dipertukarkan terus menerus. Simbol dan makna saling berkelindan dan membuat warga — dalam kasus ini para penikmat permainan seluncur — merasakan praktik dan kemudian menentukan spasialitas macam apa yang muncul. Bisa dikatakan bahwa ini adalah bentuk partisipasi aktif yang membentuk dominasi dalam sebuah ruang — kertas kosong yang kemudian dituliskan oleh berbagai praktik tubuh manusia.

Pada akhirnya, taman skate pun tak luput dari proses pembaharuan terus-menerus. Untuk saat ini, para pemain skateboard masih berselancar di antara rintangan-rintangan yang ada, baik secara harfiah maupun berupa tantangan wacana. Rutinitas ini didorong oleh hasrat individu dan kolektif mereka, serta ketersediaan ruang-ruang yang memungkinkan praktik spasial mereka.

*Muhammad Adib Al-Fikri adalah seorang pengajar Bahasa Arab di sekolah Islam di daerah Bekasi, penulis lepas, dan baru menyelesaikan pendidikan magister kajian budaya di FIB UNPAD.

Referensi:

1. Barker, D. C. (2007). Cultural Studies: Theory and Practice. Britania Raya: SAGE Publications.

2. Chiu, C. (2009). Contestation and Conformity:Street and Park Skateboarding in New York City Public Space. Space and Culture, 12(1), 25–42. https://doi.org/10.1177/1206331208325598

3. Glenney, B., & O’Connor, P. (2019). Skateparks as hybrid elements of the city. Journal of Urban Design, 24, 1–16. https://doi.org/10.1080/13574809.2019.1568189

4. Howell, O. (2008). Skatepark as Neoliberal Playground:Urban Governance, Recreation Space, and the Cultivation of Personal Responsibility. Space and Culture, 11(4), 475–496. https://doi.org/10.1177/1206331208320488

5. Jaelani, J. (2020). Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban.

6. Lefebvre, H. (1992). The Production of Space. Wiley. https://books.google.co.id/books?id=SIXcnIoa4MwC

7. Weller, S. (2006). Skateboarding Alone? Making Social Capital Discourse Relevant to Teenagers’ Lives. Journal of Youth Studies, 9(5), 557–574. https://doi.org/10.1080/13676260600805705

--

--