Liputan / Warga

bicara.ide: Sebuah Narasi Kota

Dalam acara “Designing the Daily: A City Narrative” yang menjadi bagian dari rangkaian Bandung Design Biennale 2019, bicara.ide mengajak berbagai pemerhati kota, termasuk Kolektif Agora, untuk mengeksplorasi narasi tentang Kota Bandung.

Jaladri
Kolektif Agora

--

Meizan (atas kiri) sedang menunjukkan bagaimana Keukeun membuka ruang-ruang di Kota Bandung. Foto oleh Jaladri (2019)

Keberadaan Bandung sebagai sebuah kota dalam jaringan kota kreatif tidak dapat dilepaskan dari keberagaman dan latar belakang manusia yang singgah di dalamnya. Setidaknya ada 139 perguruan tinggi di Kota Bandung yang terus memasok anak muda dari berbagai daerah di Indonesia ke kota ini — yang secara langsung atau tidak — menambah gairah dan kebaruan ke kota ini. bicara.ide mencoba menangkap ide-ide kebaruan itu dan menghadirkannya ke dalam diskusi santai antar warga kota.

bicara.ide adalah sebuah ruang diskusi untuk penambahan wawasan dan perspektif sebagai sarana elevasi pola pikir yang sudah dimiliki sebelumnya oleh masing-masing orang. Ruang diskusi ini disiapkan sebagai sarana untuk bermacam-macam orang dapat saling berbagi sudut pandang sehingga mereka dapat beranjak dari zona nyamannya dan melihat satu ide dari sisi yang berbeda.

Seto Nurseto membagikan teh beras merah untuk peserta diskusi. Foto oleh Jaladri (2019)

Disambut oleh Luthfi Muhammad dari bicara.ide, bincang kali ini diadakan di House of The Sun. Diskusi kemudian dipandu oleh Seto Nurseto, pegiat Parti Gastronomi yang juga pengajar di Departemen Antropologi Universitas Padjajaran. Diskusi diawali oleh Meizan, satu orang di belakang Keuken Bdg, sebuah festival makanan yang populer di Kota Bandung. Bukan sekadar ajang menyantap makanan, Keuken juga membuka ruang-ruang baru di kota melalui eksplorasi kuliner. Banyak tempat-tempat yang tadinya tidak pernah terpikirkan untuk dibuat festival, teraktivasi oleh Keukeun dan menarik banyak orang dari berbagai latar belakang yang memiliki minat pada makanan.

Di sisi lain, Thufeil banyak bercerita bagaimana melalui sketsa, Bandung Sketchwalk telah mendokumentasikan berbagai suasana di Kota Bandung. Tidak seperti Keuken Bdg yang membuka ruang-ruang yang luas sebagai sarana festival, Bandung Sketchwalk justru membuka ruang-ruang mikro yang tadinya sering luput dari keseharian warga kota. Melalui sketsa, detail-detail kecil yang personal diabadikan ke dalam sebuah gambar.

Nayaka Angger berbagi tentang Kolektif Agora. Foto oleh Dinda Primazeira (2019)

Kolektif Agora kali ini menempatkan diri sebagai platform penciptaan pengetahuan bersama terkait wacana perkotaan. Nayaka Angger banyak bertutur mengenai bagaimana Agora melalui pendekatan kolektif yang nondogmatis berusaha untuk menggali narasi-narasi dan pengetahuan yang sebenarnya sudah ada, tapi tersebar dan berceceran di antara warga kota. Kolektif Agora menghadirkan konteks pada narasi dan pengetahuan yang sudah dikumpulkan untuk dikomunikasikan kepada warga kota yang belum terpapar oleh narasi dan pengetahuan tersebut. Dari sini, diharapkan munculnya berbagai kemungkinan dan membuka pilihan-pilihan baru dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari.

Peserta diskusi yang antusias menyimak pemaparan dari Dini Hadilla. Foto oleh Dinda Primazeira (2019)

Perbincangan berlanjut bersama Dini Hadilla, seorang dosen di Departemen Arsitektur Universitas Lampung. Sebagai dosen, Dini sering kali mengajar di luar kelas. Bioskop hingga kuburan menjadi ruang belajar bagi para mahasiswanya. Dini merasa penting sekali untuk mahasiswa arsitektur memahami ruang. Karena itu, mahasiswa tidak hanya mempelajari ruang di dalam kelas, tetapi mengalaminya langsung selama proses pembelajaran.

Minatnya pada arkeologi arsitektur dan bangunan vernakular, membuat Dini mendalami vernadoc. Vernadoc adalah metodologi dalam mendokumentasikan bangunan arsitektur vernakular melalui teknik menggambar yang khusus yang menghasilkan kualitas gambar yang presisi dan bernilai tinggi. Melalui vernadoc, bangunan-bangunan yang kita lihat ketinggalan zaman menjadi muncul keindahannya dan memperlihatkan kualitas estetis yang seharusnya. Vernadoc diharapkan membangun kesadaran tentang pentingnya nilai sejarah, nilai budaya, dan tidak hanya tersimpan dalam pigura berdebu tetapi bisa dikunjungi dan dialami oleh orang-orang di masa kini.

Rujak ditahan sampai akhir acara untuk dinikmati bersama-sama. Foto oleh Jaladri (2019)

Selanjutnya, diskusi banyak diisi oleh perbincangan yang cair. Makanan dan minuman yang hadir semakin menghangatkan suasana halaman belakang House of The Sun. Perbincangan di antaranya diisi dengan permasalahan bagaimana warga kota memberi warna terhadap kota sampai tentang bagaimana berjalan kaki memanusiakan kita sebagai manusia.

Delicious Rot, pameran karya Parti Gastronomi. Foto oleh Jaladri (2019)

Di sisi lain House of The Sun, ada ruang untuk pameran karya Parti Gastronomi. Melalui pameran bertajuk “Delicious Rot” ini, kita bisa mengikuti editorial, fotografi, dan dokumenter yang menawarkan pandangan yang beragam dan kompleks pada metode makanan fermentasi dari delapan kota berbeda di Indonesia (Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Samarinda, Purwokerto, Semarang dan Manado). Pameran Delicious Rot dapat dikunjungi mulai jam 4 sore pada tanggal 12 Oktober 2019 hingga 26 Oktober 2019.

Diskusi bersama bicara.ide ditutup dengan foto bersama. Foto Oleh Jaladri (2019)

--

--