Liputan

Bicara Kotor Limbah Perkotaan

Laporan Diskusir #10: Dibuang Sayang

A. Angelica
Kolektif Agora

--

Foto oleh Sangkara Nararya (Bandung, 2018)

Aktivitas masyarakat perkotaan yang heterogen menghasilkan ragam jenis limbah dalam jumlah yang tak terkira tiap harinya. Apa pun sampahnya, dari mana pun sumbernya, dengan sistem pengelolaan limbah kota di Indonesia kini, ujungnya hanya satu—itu pun masih banyak yang belum tahu, alih-alih peduli.

Melalui Diskusir #10 bertajuk “Dibuang Sayang” yang diselenggarakan pada Senin, 27 Agustus 2018 silam, Kolektif Agora mencoba menyorot persoalan yang telah lama tertimbun di halaman belakang perkotaan ini. Diskusi kali ini dimoderasi oleh Syarifatul Ulya dengan mengundang para pegiat lingkungan di Kota Bandung yang menaruh perhatian khusus pada limbah, yakni Anilawati Nurwakhidin yang mewakili YPBB Bandung, Gede Surya Marteda yang merupakan program manager Bandung Cleanaction, dan Nabilah Kushaflyki sebagai founder dari Sadari Sedari. Malam itu, Spasial menjadi ramai dengan obrolan sampah serapah yang diperkaya oleh pandangan dan pengalaman para pemantik.

Ketiga pemantik mengawali sesi diskusi dengan memberi sedikit gambaran pada peserta mengenai realita limbah di perkotaan. Sampah memang pemandangan yang tidak asing dan kerap kita jumpai sebagai masyarakat kota. Akan tetapi, tidak banyak yang mengetahui bahwa masifnya sampah yang dihasilkan di Indonesia kini cukup untuk membuat lima puluh dua Candi Borobudur tiap minggunya, sebagaimana yang dilansir oleh Gede. Nabilah menambahkan bahwa besarnya volume sampah yang dihasilkan sekarang disebabkan oleh gaya hidup masyarakat kota yang lebih memilih hal-hal mudah dan instan — misal, melalui penggunaan peralatan sekali pakai.

Pada kenyataannya, pengelolaan limbah di Indonesia masih jauh dari baik. Sampah yang terkumpul pada akhirnya hanya akan tertimbun dan menggunung di tempat-tempat pembuangan akhir. Belum lagi dengan semakin beragamnya jenis sampah yang menambah persoalan baru.

Anil menuturkan bahwa jargon “jagalah kebersihanyang sedari dulu ditanamkan memang bertujuan untuk mengajak masyarakat agar membuang sampah pada tempatnya. Namun, belum ada upaya untuk menggalakkan pengelolaan sampah yang telah terkumpul ataupun memilah sampah dari hulu.

Para pemantik kemudian berbagi mengenai pengalaman mereka sendiri dalam menanggapi isu ini. Melalui Sadari Sedari, Nabilah bersama dengan teman-temannya ingin meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap industri fast fashion yang menghasilkan dampak lingkungan besar. Sadari Sedari berperan sebagai penghubung dalam menjual baju-baju bekas layak pakai, yang mana hasil penjualannya disalurkan kepada anak-anak asuh yang membutuhkan. Tak berhenti di sana, rangkaian acara yang diselenggarakan Sadari Sedari seperti garage sale juga mencoba menerapkan dan mengenalkan gaya hidup zero waste kepada masyarakat.

Anil memaparkan bahwa meski YPBB bukan merupakan lembaga yang bergerak khusus pada isu sampah dan limbah, isu tersebut memang menjadi salah satu yang banyak dibahas sejak tahun 2006. Melalui program #ZeroWaste, YPBB mengadakan pelatihan dan lokakarya bagi individu, lembaga, dan komunitas agar dapat memilah sampah dari rumah dengan tujuan akhir menerapkan sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan.

Berbeda dengan Gede, yang menjelaskan bahwa CleanAction adalah program kolaborasi lintas profesi untuk menyelesaikan masalah lingkungan seperti limbah, sampah, dan polusi tidak bisa diselesaikan oleh satu sektor saja. Contoh kegiatan dari CleanAction adalah Gerakan Pungut Sampah yang wajib diadakan tiap hari Senin, Rabu, dan Jumat di tempat-tempat seperti sekolah-sekolah dan lembaga pemerintahan. Lebih jauh lagi tentang kolaborasi, Gede menyinggung empat pilar kolaborasi terkait pengelolaan sampah yakni pemerintah melalui kebijakan, social entrepreneur atau komunitas, entrepreneur atau bisnis, dan media. Yang dilakukan oleh ketiga pemantik pun tak lepas dari kolaborasi dengan berbagai pihak.

Tidak bisa menunggu sekian banyak orang untuk sadar, (usaha) harus didorong mulai dari orang yang sudah sadar.

— Anilawati Nurwakhidin, YPBB

Namun, untuk benar-benar mewujudkan perubahan, terdapat lima aspek terkait pengelolaan sampah yang harus dipikirkan secara holistik. Lima aspek tersebut antara lain regulasi, teknologi, anggaran, kelembagaan, dan peran serta masyarakat. Sejauh ini, peran serta masyarakat sudah mulai terlihat meningkat dengan bermunculannya bank sampah di lingkungan-lingkungan, serta berkembangnya lembaga-lembaga yang menggerakkan dan mengadvokasi pengelolaan sampah.

Regulasi terkait pengelolaan limbah sudah banyak, hanya saja penegakan peraturannya belum optimal. Kelembagaan dan pola anggaran di Indonesia sendiri belum mampu mendukung penegakan dari regulasi tersebut. Kelembagaan pengelolaan sampah belum terlalu jelas, dan belum banyak pula anggaran yang dialihkan kepada pengelolaan limbah. Dalam hal ini, pemerintah harus memiliki political will untuk melaksanakannya.

Diskusi berlanjut dengan sesi tanya jawab dimana peserta dan pemantik membahas lebih dalam mengenai metode-metode pengelolaan sampah yang baik, khususnya yang dapat diupayakan oleh kita sebagai individu dan anggota masyarakat untuk langsung bertindak atau mendorong usaha kolektif yang lebih besar.

Muncul juga pertanyaan mengenai adanya resistensi pemerintah untuk menggunakan insinerator. Anil menanggapinya dengan menyebutkan banyaknya metode alternatif untuk mengelola limbah dengan baik sekaligus mendorong pendayagunaan sumber daya manusia, ketimbang penggunaan insinerator yang berpotensi menimbulkan berbagai risiko apabila tidak dikelola secara baik.

Pemantik sepakat bahwa masyarakat sebenarnya tahu di mana mereka sekarang berdiri dalam hal limbah dan sampah, yang menjadi tantangan ialah memunculkan kesadaran, keinginan, dan partisipasi dari masyarakat untuk mengubah perilakunya menjadi lebih baik. Ketiga pemantik juga menerjemahkan gagasan mereka ke dalam bentuk yang mudah dimengerti dan bisa langsung dilakukan oleh masyarakat. Hanya saja, kadang masyarakat belum sepenuhnya paham akan apa yang mereka lakukan dan dampaknya, sehingga sulit untuk di-sustain atau dilanjutkan sendiri.

Upaya yang telah diinisiasi berbagai pihak kini sudah baik, tiap individu hanya perlu untuk memacu diri untuk berbuat lebih. Mulai dari diri sendiri, dari yang sederhana, dan dari sekarang untuk dapat melakukan perubahan. Gunakan takaran masing-masing di awal, cukup pastikan ada perubahan yang terjadi. Pasalnya, bumi tidak butuh kita, tapi kita butuh bumi. Akhir kata, sebelum asal dibuang, semoga kita dapat memikirkan apa yang disayang.

Bandung, Indonesia
Jumat, 7 September 2018

Adinda Angelica
Campaign Manager
Kolektif Agora

--

--

A. Angelica
Kolektif Agora

“Raise your words, not your voice. It is rain that grows flowers, not thunder.”