ESAI / HALUAN

Buaian Mimpi dari Negeri Seberang

Tentang Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia

Riziq Syihab
Kolektif Agora

--

Foto oleh Matt Koerner di Wallhere.com, 2017.

“Kenapa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa berlari sekencang Cina dan Vietnam?” Ah, hanya sebuah pemantik kecil dalam menggeliatnya riuh sedang kami di warung kopi kecil beraroma mie instan malam itu.

Di mata kami yang masih naif dan polos itu, kumpulan angka statistik dan peringkat global “mereka” yang mengklaim dirinya sebagai masa depan dunia itu sungguh menyilaukan. Bagaimana tidak? Dengan konsistensi pertumbuhan GDP di atas 6% selama 2014–2019 (International Monetary Fund, World Economic Outlook April, 2020), yang bahkan pernah menyentuh angka 7% itu, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan GDP Indonesia yang berkisar diangka 5% dalam kurun waktu yang sama.

“Tapi, semua itu pasti ada harganya, kan?” tanya seseorang, sambil menghisap batang rokok ketiganya malam itu.

Untuk mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi fantastis seperti yang telah dicapai oleh Vietnam dan Cina, Indonesia mencoba mengadopsi berbagai kebijakan yang telah diterapkan oleh kedua negara tersebut. Salah satu kebijakan yang diduga berhasil memicu fantastisnya tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut adalah pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK)/kawasan industri di kedua negara dan Omnibus Law.

KEK adalah kawasan penanaman modal yang memanfaatkan keunggulan ekonomi dan geostrategis kawasan. Kawasan tersebut disiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Perencanaan KEK melibatkan integrasi pembangunan multisektor, mulai dari pembangunan infrastruktur jalan, bandara, pelabuhan, penyiapan energi, air bersih, permudahan perizinan, pemberian subsidi, insentif, hingga pemenuhan kebutuhan SDM melalui pembangunan SMK dengan kualifikasi lulusan sesuai dengan kebutuhan industri di KEK tersebut.

Mengacu pada RPJMN 2020–2024, pengembangan KEK diharapkan dapat meningkatkan devisa, mendorong hilirisasi industri, dan mengurangi ketergantungan impor dengan mendorong pertumbuhan titik-titik industri baru yang dekat dengan sumber daya alam. Selain itu, pengembangan KEK yang sebagian besar berada di luar Pulau Jawa juga diharapkan dapat mengurangi disparitas wilayah dan mendorong pemerataan pembangunan di luar Pulau Jawa melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan berbasis keunggulan wilayah.

Sumber: Dewan Nasional KEK Republik Indonesia, 2021.

Bagaimana dengan Vietnam dan Cina?

Istilah kawasan ekonomi khusus di Vietnam lebih dikenal dengan sebutan Key Economic Zone (KEZ). Saat ini ada 4 KEZ di Vietnam, yaitu Northern KEZ, Central KEZ, Southern KEZ, dan Mekong Delta KEZ. Pengembangan KEZ di Vietnam terfokus pada peningkatan konektivitas rantai pasok barang global, low entry cost untuk bisnis start-up, aglomerasi tenaga kerja berkemampuan, pemenuhan infrastruktur dasar, kedekatan terhadap sumber daya yang dibutuhkan, hingga penyederhanaan regulasi untuk menarik investor global.

Efektivitas penerapan dapat dilihat dari besarnya jumlah kawasan industri di Vietnam. Saat ini sudah ada 326 kawasan dengan 249 di antaranya beroperasi dan tingkat okupansi mencapai 73%. Angka ini hampir 3 kali lipat dari jumlah kawasan industri di Indonesia yang baru mencapai 121 kawasan.

Sumber: Government Portal, Overview About the Key Economic Zones, 2019.

Southern KEZ merupakan zona ekonomi yang paling besar di Vietnam. Kawasan ini telah menyumbang hingga 40% GDP Nasional. Southern KEZ dikenal sebagai kawasan yang sangat dinamis dengan variasi industri yang beragam, mulai dari usaha kecil menengah hingga usaha skala besar yang didukung oleh tenaga kerja kualitas terbaik.

Sektor utama industri di kawasan ini antara lain elektronik, perangkat lunak, TI, telekomunikasi, produksi pertanian berteknologi tinggi, dan pemrosesan, yang merupakan pendorong utama investasi di masa depan. Southern KEZ mencakup enam wilayah, termasuk Kota Ho Chi Minh yang juga dikenal sebagai pusat kegiatan finansial dan perdagangan terpenting di Vietnam.

Northern KEZ adalah kawasan dengan jumlah sumber daya alam terbesar, dengan komposisi industri yang sebagian besar terdiri dari bidang manufaktur dan industri berat lainnya. Wilayah ini memiliki pasokan tenaga kerja yang cukup dengan pendidikan yang berkualitas. Namun, tantangan pengembangan wilayah ini adalah biaya sewa yang mahal serta tingkat korupsi yang tinggi.

Central KEZ adalah kawasan yang sedang mengalami fenomena urbanisasi sehingga dapat mendorong berkembangnya pasar energi, otomotif, konstruksi, dan ritel untuk mengimbangi tingkat urbanisasi yang ada. Namun, di sisi lain, sulit untuk menarik tenaga kerja berkualitas tinggi ke wilayah ini karena masih terbelakangnya kondisi infrastruktur yang ada jika dibandingkan dengan kondisi pada Vietnam bagian utara dan selatan

Mekong Delta KEZ adalah kawasan yang terletak di muara Sungai Mekong. Kondisi geografis ini menyebabkan tanah pada kawasan ini subur dan cocok untuk industri pertanian dan budidaya perairan dengan ditunjang kedekatan geografis terhadap Teluk Thailand yang merupakan kawasan budidaya perairan, sehingga dapat mendorong aktivitas perdagangan komoditas di kawasan tersebut.

Seperti di Indonesia, upah minimum di Vietnam menggunakan sistem berjenjang yang dibagi berdasarkan wilayah administrasi yang berkisar antara USD 125 hingga USD 180 per bulan. Nilai ini jika diakumulasikan ke rupiah adalah sekitar Rp1.8000.000 hingga Rp2.600.000 per bulan.

Wilayah administrasi besar seperti Kota Hanoi dan Ho Chi Minh memberikan upah minimum yang lebih tinggi dibandingkan wilayah semi-urban seperti Vinh Phuc, Phu Tho, dan Bac Giang. Adapun gaji rata-rata pekerja dan manajer industri bervariasi antara USD 500 hingga USD 2.000, yang mana ditentukan oleh jenis industri dan tingkat keahlian.

Sumber: World Development Report 2009: Reshaping Economic Geography.

Pertumbuhan ekonomi Cina yang luar biasa dimulai pada tahun 1978 dengan penerapan kebijakan Open Door Policy yang memungkinkan terjadinya liberalisasi parsial faktor-faktor produksi dan mengizinkan akumulasi modal swasta dan perusahaan, yang sebagian besar dilarang sebelumnya. Kebijakan ini diikuti oleh gelombang besar investasi dan perluasan cepat basis infrastruktur Cina (misalnya real estate, utilitas, transportasi, dan komunikasi).

Sejak 1980, KEK Cina atau yang lebih dikenal dengan istilah “Special Economic Zone” (SEZ) memulai perannya dalam integrasi Cina ke dalam putaran ekonomi global yang akhirnya akan mempercepat pembangunan ekonominya. Inisiasi kawasan ini bertujuan untuk menarik investasi asing dan teknologi (banyak melalui pengaturan usaha patungan), menyediakan lapangan kerja, memanfaatkan sumber daya dan impor, dan mendukung pembentukan modal. Berikut adalah insentif yang ditawarkan kepada investor asing:

  • Tenaga kerja. Sebagai salah satu daya tarik terbesar Cina bagi investor, tenaga kerja di Cina relatif murah dan berjumlah masif, serta siap untuk ditempatkan di SEZ. Perusahaan asing juga memiliki hak untuk mempekerjakan dan memecat tenaga kerja, perbedaan besar dari sistem perusahaan publik atau kolektif seumur hidup Cina yang berlaku saat itu.
  • Guna lahan. Secara fisik, SEZ dikembangkan sebagai entitas terencana dengan infrastruktur dan akses ke infrastruktur perpindahan barang dan orang sehingga suku cadang dan bahan mentah dapat dengan mudah dibawa untuk diproses dan dikirim ke pasar luar negeri. Tingkat perlindungan properti pribadi juga signifikan, karena hingga 2004, tidak ada perlindungan konstitusional atas properti pribadi di luar SEZ.
  • Insentif pajak. Cina menawarkan pengurangan tarif pajak penghasilan terhadap badan usaha, termasuk pembebasan pajak penghasilan untuk warga negara asing yang bekerja di SEZ. Tidak ada bea masuk yang dibebankan pada bahan dan suku cadang impor selama mereka diekspor kembali.

Pada tahun 1992 sudah terdapat 60 SEZ di Cina, termasuk 5 SEZ awal, 15 kota pelabuhan pesisir, 8 kota pelabuhan sungai, 19 kota pedalaman, dan 13 kota perbatasan. Lama-kelamaan jumlah tersebut berkembang. Pada tahun 2005, SEZ di Cina mencapai 210 zona pembangunan nasional dan 1.346 zona pembangunan provinsi yang terkonsentrasi di wilayah pesisir. Salah satu dasar pengembangan di wilayah pesisir adalah aksesibilitas ke pasar global melalui pelabuhan dan bandara.

Untuk mengimbangi fenomena ini, mulai tahun 2013, pemerintah Cina memulai strategi investasi infrastruktur darat lewat pembangunan koridor jalan, rel, dan pipa di seluruh wilayahnya yang dikenal sebagai proyek OBOR (One Road One Belt), yang pada tahun 2017 menjadi BRI (Belt and Road Initiative) untuk lebih mencerminkan realitas geografis proyek.

Kembali ke Indonesia

Saat ini, kebijakan KEK di Indonesia sedang diadaptasi dan terus didorong oleh pemerintah, yang tergambar dari komitmen pemerintah yang mencantumkan KEK dalam RPJMN 2015–2019 hingga saat ini. Namun, jika pemerintah tetap menerapkan KEK seperti di Vietnam dan Cina, akan ada beberapa hambatan besar dalam pelaksanaannya seperti kebijakan dalam penyediaan tenaga kerja murah, pemberian insentif kepada investor hingga permudahan perizinan yang tentunya akan menimbulkan pro-kontra jika tidak direncanakan dengan matang.

Sebagai contoh, saat ini beberapa masalah sudah muncul. Misalnya, dugaan masalah pelanggaran HAM di KEK Mandalika, protes tentang kenaikan upah minimum yang terjadi setiap tahunnya, protes RUU Cipta Kerja, hingga masih rendahnya konversi investasi dari KEK yang telah beroperasi di Indonesia.

Jika mengacu kepada beberapa referensi dari para ahli, pengembangan KEK idealnya merupakan sebuah pengembangan wilayah secara strategis dan terukur dalam mengintegrasikan sebuah wilayah terhadap sumber daya alam, sistem perkotaan, produksi industri, dan perdagangan global. Sehingga, pembangunan infrastruktur skala besar seperti jaringan kereta api, jalan tol, komunikasi, air bersih, pelabuhan, sumber daya energi dan lain sebagainya bisa memberikan dampak ekonomi yang optimal.

Tentu usaha tersebut perlu didukung dengan keberadaan teknologi mutakhir yang dapat meningkatkan jumlah produksi dan seringkali membutuhkan tenaga kerja yang murah. Karenanya, perencanaan atas KEK tidak dapat dilakukan sembarangan karena pelaksanaannya membutuhkan investasi besar pada infrastruktur dasar dan pemberian insentif untuk menarik investor masuk ke dalam zona yang telah disediakan. Meskipun demikian, operasional industri dilokasi KEK tetap perlu pengawasan karena cukup rentan terhadap kegiatan eksploitasi anak, perempuan, serta pelanggaran atas hak pekerja secara umum.

Di sisi lain, dengan kondisi geografis kepulauan, pembangunan infrastruktur fisik penunjang KEK di satu pulau tidak dapat secara langsung memberikan dampak terhadap KEK dan kota di pulau lainnya (bagi negara yang memiliki daratan induk seperti Cina dan Vietnam, pembangunan infrastruktur KEK pada akhirnya akan menopang kebutuhan KEK lainnya).

Implikasi yang ditimbulkan adalah biaya pengembangan KEK menjadi lebih mahal, karena setiap pulaunya akan membutuhkan infrastruktur penunjang yang baru. Hal ini jelas perlu dicermati oleh pemerintah, agar ke depannya pengembangan KEK dapat efisien, bebas konflik, memeratakan pembangunan, serta dapat mendorong kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

“Di negara bercorak demokrasi seperti kita, jelas tidak mudah meniru kebijakan Cina dan Vietnam. Hahaha.” tutupnya, sembari membayar mie goreng telur malam itu.

--

--