ESAI / WARGA

Cerita tentang Taman

Dinar Ramadhani
Kolektif Agora
Published in
5 min readOct 4, 2021

--

Di dalam komplek, orang-orang bisa menikmati waktu bermain dan duduk-duduk di taman. Di luarnya, orang-orang diusir karena juga bermain dan duduk-duduk di tanah lapang. Ini adalah sedikit cerita tentang taman, orang-orang komplek, dan orang-orang kampung sekitar.

Sore itu tidak seperti biasanya. Ladang rumput ilalang di sepanjang jalan depan rumah kami telah dibabat sepetak demi sepetak. Sebagian dilapisi dengan paving untuk jalur sepeda dan taman bermain. Taman yang belum jadi itu menarik anak-anak untuk bermain aduk pasir atau sekadar bersepeda di jalur yang belum rata. Seperti offroad, katanya.

Pagi ini, tetiba kami mendapati ada perosotan dan trampolin bertengger manis di taman yang baru jadi kemarin sore itu. Sontak, anak-anak yang semula bermain di blok masing-masing, jadi berkumpul di taman baru ini. Mainan itu milik Bu Dokter yang tinggal juga di seberang taman. Anaknya yang beranjak besar tak lagi menggunakannya di rumah.

Pekan depannya, truk datang dan menurunkan ayunan serta mainan putar berwarna hijau terang. Ternyata mainan itu adalah sumbangan dari tetangga tepat di sebelah rumah kami. Anak terkecilnya berumur belasan tahun dan baru belajar naik sepeda. Meski mereka jarang sekali terlihat keluar rumah, aku duga mereka juga turut senang melihat keceriaan anak-anak di taman itu.

Hanya butuh waktu sehari untuk membuat taman baru itu menjadi layaknya pasar sore. Esoknya, pengunjung berlipat ganda. Gerobak siomai, jamu, dan roti kerap berhenti di tepi taman karena panggilan pengunjung taman: tak lagi hanya anak-anak komplek, tetapi juga anak-anak dari kampung sebelah yang jumlahnya tak kalah banyak dengan anak-anak komplek. Meskipun memiliki gerbang dan dijaga oleh banyak satpam yang berkeliling, komplek ini tidak melarang siapa saja masuk ke lingkungannya.

Belakangan, ibu-ibu dan pengasuh anak-anak komplek mulai resah. Anak komplek menjadi kesulitan bermain karena banyak anak luar komplek yang ikut main di taman bermain. “Anak kampung sebelah”, begitu sebutannya. Perbedaan perilaku dalam pergaulan juga menjadi sorotan.

Tidak sedikit anak luar yang menggunakan bahasa yang kurang sopan saat melitas. Anak komplek pun tak kalah angkuhnya. “Iyalah, biarin aja. Uang lima belas ribu buat dia paling banyak banget. Itu sih jajan aku sekali,” kata anak komplek yang sempat tertangkap oleh telingaku.

Sudah beberapa kali memang hal seperti ini terjadi. Dulu, saat sedang musim angin, saat taman itu masihlah padang ilalang yang baru saja dipangkas, warga kampung sebelah beramai-ramai datang saat sore, membentangkan benang dan layangannya. Bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, hingga anak-anak saling membantu untuk menerbangkan layangan aneka bentuk.

Anak komplek yang kebanyakan belum remaja hanya bermain di jalan-jalan, bermain sepak bola, dan bersepeda. Beberapa yang lain mencoba juga menerbangkan layangan bersama ayahnya, tapi kalah saing dengan layangan anak kampung sebelah yang layangannya sudah membubung tinggi.

Selintas, terbesit di benak saya satu istilah yang kini sering digunakan dalam konteks kota masa kini dan ke depan: inklusif. Tentu saja yang tersaji di depan rumah kami ini bukanlah wujud dari taman yang inklusif. Taman itu saja sudah bukan merupakan barang publik, memang. Ia adalah bagian dari lingkungan gated community yang sifatnya bisa dibilang semi-privat. Artinya, warga komplek “memiliki” fasilitas di dalam lingkungan komplek tersebut.

Rasa kepemilikan warga gated community terhadap lingkungannya memanglah besar (Blakely and Synder, 1997). Fasilitas internal, keamanan, kenyamanan, dan kesamaan status dan nilai ekonomi-sosial, privasi, dan prestise dan eksklusivitas menjadi alasan mereka untuk tinggal di dalam lingkungan berpagar ini (Low, 2003 dan Nazmy, 2016). Maka, tak heran kalau mereka merasa terusik dengan banyaknya anak kampung sebelah yang juga turut menggunakan taman tersebut.

Gated community ini juga mengurangi jumlah ruang terbuka publik di lingkungan sekitarnya (Calthrope, 1993 dan Ghonimi et al., 2011). Jika berkeliling sedikit lebih jauh ke daerah sekitar komplek perumahan, tidak ada ruang terbuka publik yang cukup lapang untuk dijadikan area bermain anak dan rekreasi warga.

Pernah suatu waktu, tanah lapang milik pengembang di dekat situ ramai oleh anak-anak dan warga yang bermain layangan. Setelah dilihat lebih saksama, anak-anak dan warga ini merupakan warga kampung sekitar. Keramaian ini bahkan bertahan sampai malam, dan menarik penjaja makanan dan minuman berhenti di sepanjang jalan untuk melayani pembeli yang sampai-sampai membawa tikar di atas rumput. Sepanjang jalan di tanah lapang itu mendadak semarak di kala sore hingga menjelang malam.

Ketika kami ikut menikmati suasana tanah lapang yang ramai itu pekan berikutnya, mobil satpol PP datang berkeliling sambil menertibkan. Penjual keliling yang parkir di sepanjang jalan dibubarkan. Melalui pengeras suaranya, para petugas berseragam ini menyerukan pula untuk membubarkan keramaian, seraya mengingatkan untuk tetap memakai masker. Keesokan harinya, kami mendapati spanduk yang bertuliskan untuk tidak beraktivitas di tanah lapang di sepanjang jalan itu lagi.

“Tertanda, pengembang.”

Di satu sisi, gated community memang mampu menyediakan ruang publik bagi warga di lingkungannya. Di sisi lainnya, ruang publik itu hanya terbatas untuk kalangan tertentu. Warga di luar pagar hanya mendapat sedikit sekali dari tanah lapang yang tersisa, itu pun kalau belum diakuisisi pengembang di kemudian hari.

Seruan untuk tinggal di rumah selama pandemi tentu tak mudah, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR) yang cenderung memiliki rumah sempit. Mereka yang biasa berkegiatan dan bergaul di luar rumah, justru memiliki ruang publik yang aksesnya lebih minim.

Dibandingkan dengan kelas menengah,esa sebetulnya kebutuhan ruang publik untuk MBR bisa jadi lebih besar. Kelas menengah ke atas biasa untuk berkegiatan dan bergaul dari dalam rumah dengan akses internet dan segala gawai sebagai obatnya. Sementara bagi MBR, yang sepetak rumahnya bisa dihuni lebih dari satu kepala keluarga dengan akses internet dan gawai yang belum tentu ada, tentu tak mudah.

Tulisan ini adalah sedikit cuplikan tentang penguasaan lahan oleh sektor privat yang ternyata tidak hanya menimbulkan ketimpangan penyediaan perumahan layak, tetapi juga ruang terbuka di skala neighbourhood. Jika kita mengejar sebuah capaian kota inklusif, tampaknya masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, satu per satu.

ReferensiBlakely EJ, Snyder MG, editors. (1997). ‘Fortress America: gated communities in the United States’. Brookings Institution Press: Washington DC, USA.Calthorpe, P. (1993). The Next American Metropolis: Ecology, community and the American dream. Princeton Architectural Press: New York, USA.E. Nazmy, S. Fahmi, E. Sayed. (2016). 'Residents’ satisfaction at gated communities in Egypt.' Int. J. Sci. Eng. Res. 7 1185–1196.<http://www.ijser.org>.Ghonimi, I., Khairy, M.F., & Soilman, M. (2010).'Against The Great Divide between Theory and Practice: Gated Communities versus Urban Liveability.'S.M. Low. (2003). 'Behind the Gates: the New American Dream.' Routledge, London.

--

--