Kolaborasi / Warga

Cireundeu: Warisan Leluhur di Tengah Riuh Kota

Belajar Ilmu Hidup dari Trekking Tanpa Alas Kaki, Makan Singkong, dan Berinteraksi dengan Masyarakat Adat

Kolektif Agora
Kolektif Agora

--

Rombongan dari kota dan negara lain yang mempelajari budaya Cireundeu. Foto oleh Nefertari Pramudhita, 2019.

Pada 21 Juli 2019 lalu, Kolektif Agora berkesempatan melakukan cultural trip bersama Lokali ke komunitas adat Cireundeu. Mengusung konsep “understanding authentic local inspiration”, Lokali yang diwakili oleh Zakiy menawarkan open trip bagi siapa saja yang tertarik untuk berada lebih dekat dengan komunitas-komunitas adat yang ada di Indonesia. Selain Cireundeu, Lokali juga sudah menjalin silaturahmi dengan komunitas adat Ciptagelar dan Jatiwangi.

Premis paling menarik dari perjalanan ini dan Cireundeu sendiri adalah letaknya yang berada di Kota Cimahi, di mana jika kita bicara soal komunitas adat, kita pasti langsung memikirkan letaknya yang terpencil dan jauh dari keramaian kota. Berada di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, tempat tersebut bisa diakses menggunakan sepeda motor selama 15 menit jika kita berangkat dari pintu tol Baros. Perlu diketahui pula bahwa Cireundeu terletak di dekat bekas tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah.

Mengenal Cireundeu

Papan selamat datang di Kampung Cireundeu. Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Disambut dengan papan bertuliskan “Wilujeng Sumping di Kampung Cireundeu”, gestur adat sudah ditampilkan dari mulut jalan. Mulai dari mural corak budaya di jembatan, kompleks bangunan dengan material bambu, serta ikat kepala yang digunakan oleh pemuda di sana. Objek-objek tersebut memang membuat Kampung Cireundeu menjadi destinasi wisata adat yang menarik di Kota Cimahi dan terus berkembang hingga saat ini.

Saat masuk ke kompleks bangunan adat, pengunjung akan disambut di Balé Saréséhan yang konon merupakan bangunan pertama yang sudah berdiri sejak ratusan tahun lalu. Setelah itu, terdapat pula bangunan yang dibangun dari program pemerintah dalam usaha merevitalisasi Kampung Cireundeu, yakni Imah Panggung. Di area kompleks, kita juga bisa menemukan beberapa pemuda adat yang biasa menyambut dan berinteraksi dengan pendatang.

Kiri: Kang Yana selaku perwakilan dari komunitas adat Cireundeu. Kanan: Imah Panggung yang terletak di kompleks wisata adat Cireundeu. Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Sesampainya kami di Imah Panggung, kami disapa oleh Kang Yana selaku Ketua Kompepar (Kelompok Penggerak Pariwisata) di Kampung Cireundeu. “Sebelum masyarakat modern ada, masyarakat adat sudah lebih dahulu hidup. Tau-tau sudah bagian dari Cimahi saja. Sebelum tahun 1980-an, rumah-rumah di sini merupakan rumah panggung semua. Tapi, karena dianggap miskin, sok, imah téh gedongkeun waé! (sudah, rumah di adikan bagus saja!)”, ujar Kang Yana. Sehingga, terjadi perubahan berangsur, dari bentuk bangunan tradisional dengan material kayu dan bambu menjadi bangunan dengan pondasi beton dan lantai ubin.

Perubahan ini merupakan bentuk adaptasi Kampung Cireundeu terhadap gempuran urbanisasi dan stigma miskinyang sempat menjadi bagian dari identitas kampung ini. Selain itu, perubahan dari rumah panggung ke rumah beton adalah cara untuk mengurangi penggunaan kayu. Bagi masyarakat adat di sana, lebih baik membetonkan rumah daripada harus menebang pohon dan merusak hutan untuk rumah panggung.

Meski rumah-rumah di sana tidak lagi mempertahankan arsitektur tradisional, beberapa bangunan lain tetap didesain sedemikian rupa sehingga mampu mencerminkan adat Cireundeu. Desain ini tampak pada bangunan seperti Imah Panggung dan Balé Saréséhan yang digunakan untuk kepentingan adat dan pariwisata.

Persiapan penyambutan rombongan tamu. Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Saat kami sampai di kompleks tersebut, tampak sekelompok pemuda adat yang tengah mempersiapkan penyambutan rombongan tamu, yang setelah kami telisik adalah mahasiswa-mahasiswi Universitas Padjajaran dan universitas berbagai negara lain. Persiapan tersebut melibatkan masyarakat adat dan perwakilan pemerintah Kota Cimahi.

Kiri: Zakiy menceritakan tentang pariwisata di Kampung Cireundeu. Kanan: perkenalan dengan Kang Yana di Imah Panggung. Foto oleh Nefertari Pramudhita (kiri) dan Dinda Primazeira (kanan), 2019.

Kami pun duduk bersama Kang Yana di Imah Panggung untuk saling berkenalan dan mendapat gambaran mengenai Kampung Cireundeu. Beliau menganggap bahwa pada dasarnya, penggunaan istilah “kampung adat” adalah untuk memudahkan identifikasi suatu komunitas adat yang hidup dan menetap di suatu permukiman. Komunitas adat Cireundeu sendiri sebetulnya terdiri dari masyarakat adat dan lembaga adat. Mereka hidup melebur dengan masyarakat biasa (bukan adat) nyaris tanpa batas.

Briefing sebelum trekking ke Puncak Salam. Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Puncak Salam: Kaki Telanjang, Tata Ruang Tradisional, dan Pluralisme

Setelah berkenalan dan berbincang sejenak, kami meminta izin untuk melanjutkan agenda pada hari itu, yakni trekking ke Puncak Salam yang merupakan objek wisata alam paling mahsyur di kawasan Cireundeu. Kang Yana memberikan sedikit nasihat untuk saling menjaga diri, teman-teman, dan lingkungan selama melakukan perjalanan. “Setiap manusia akan mendapatkan konsekuensi dari apa yang dilakukannya. Apapun yang dialami, dilihat, dan didengar sepanjang perjalanan, lebih baik dikembalikan pada diri sendiri. Misalnya terkena duri, maka harap introspeksi diri saja.”, ujar Kang Yana.

Merasakan tanah Cireundeu tanpa alas kaki. Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Berjalan tanpa alas kaki atau dalam istilah sunda “ngadampal” merupakan suatu keharusan yang harus kami jalani jika ingin melakukan perjalanan ke Puncak Salam. Kang Yana dan Zakiy memberikan kami kesempatan untuk terlebih dahulu melakukan perjalanan tanpa memberitahu alasan mengapa tidak boleh menggunakan alas kaki.

Kiri: papan penunjuk arah menuju Puncak Salam. Kanan: menapaki jalur pendakian Puncak Salam. Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Perjalanan ke Puncak Salam dimulai dengan melewati permukiman hingga menemukan penunjuk jalan menuju Gunung Puncak Salam. Meskipun begitu, akses menuju Puncak Salam bisa dilalui dari jalan lain dan biasanya pengunjung yang mengakses jalan tersebut tidak mematuhi peraturan untuk melepas alas kaki. Hal ini diakui Zakiy memang menjadi masalah. Meski tidak dipungut biaya sepeser pun untuk naik ke Puncak Salam, baiknya, menurut Zakiy, siapapun yang ingin trekking harusnya meminta izin dulu pada kelompok adat.

Pengalaman mendaki Puncak Salam tanpa menggunakan alas kaki mendorong kami untuk memfungsikan seluruh pancaindra. Tidak ada perantara antara diri sendiri dan alam; bersentuhan langsung dengan tanah, batu, duri, dedaunan, hingga panas dan dingin, semuanya terasa sangat riil. Kedekatan kami dengan lingkungan terasa lebih intim — bersentuhan langsung dengan ladang hingga hutan, hingga menyimak bisik daun dan suara-suara hewan.

Puncak Salam merupakan bagian dari geografi adat Cireundeu, sehingga wajar terdapat sikap dan aturan yang harus dipatuhi selama melakukan perjalanan. Kesadaran dalam menjaga lingkungan juga dicerminkan dengan tidak membuang sampah sembarangan di area Puncak Salam. Sangat disayangkan, kami masih menemui banyak sampah botol minuman dan makanan kemasan. Kami pun teringat titipan dari Kang Yana untuk mengutip sampah yang kami temukan di sepanjang jalan.

Pepohonan bambu di hutan baladahan. Foto oleh Nefertari Pramudhita, 2019.

eperti yang sudah disinggung sebelumnya, komunitas adat Cireundeu memiliki sistem zonasi hutan tersendiri yang bersinggungan dengan usaha budidaya pertanian dan konservasi lingkungan. Sepanjang jalan, Zakiy sempat menceritakan hal ini kepada kami. Hutan yang ada di sekitar permukiman di sana dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama ialah hutan baladahan sebagai hutan garapan atau olahan, di mana masyarakat dapat mengolah lahan untuk bertani. Bagian kedua ialah hutan tutupan, yang merupakan kawasan yang dijaga sebagai lahan cadangan jika suatu saat butuh dimanfaatkan oleh masyarakat. Ketiga, terdapat hutan larangan yang sama sekali tidak bisa diakses kegunaannya — bahkan mengambil daun pun tidak diperbolehkan. Hutan larangan tidak secara tepat terletak di Gunung Puncak Salam melainkan di gunung lain.

Beristirahat di perjalanan menuju Puncak Salam. Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Salah satu teman dari Agora tidak berekspektasi akan melakukan trekking semacam ini, apalagi tanpa alas kaki. Bagi yang tidak biasa, perjalanan ini tentu akan menguras tenaga. “Masih jauh enggak ini?” adalah pertanyaan yang senantiasa muncul. Bolak-balik kami melakukan istirahat, mencari tempat yang teduh dan meneguk air mineral. Tak jarang Zakiy mengajak kami berbincang untuk membuat kami lepas dari penat.

Jalur semakin curam saat kami memasuki hutan tutupan, yang juga merupakan daerah di mana Puncak Salam berada. Setelah berjalan selama kurang lebih 45 menit, kami disambut barisan pepohonan pinus yang menandakan kami sudah dekat dengan puncak. Beda dengan jalur sebelumnya, daerah ini sudah dilengkapi tangga sederhana dan tali pegangan. Di akhir jalur, kami juga menemukan pondok peristirahatan di mana kami sempat beristirahat.

Beristirahat sambil berdiskusi di pondok peristirahatan Puncak Salam. Foto oleh Nefertari Pramudhita, 2019.
Kiri: instalasi bambu di Puncak Salam. Kanan: beristirahat sambil berdiskusi di Puncak Salam. Foto oleh Dinda Primazeira (kiri) dan Nefertari Pramudhita (kanan), 2019.

Setelah menerka kapan cahaya matahari sedikit redup, kami akhirnya berjalan menuju puncak, di mana hampir tidak ada pepohonan, hanya ladang rumput yang cukup tinggi. Ada pula semacam instalasi dari bambu, tampaknya sebagai peninggalan dari komunitas adat dan penanda kalau pendatang sudah berada di puncak. Zakiy pun mulai menunjuk ke berbagai penjuru, menerangkan mana Bandung, mana Cimahi, mana Padalarang, dan seterusnya. Tak lupa, ia menunjuk ke bukit lain yang dekat dengan Puncak Salam, sembari menjelaskan kalau itulah hutan larangan. Di kaki bukitnya, tetapi, tampak sedang ada proses pematangan lahan yang disinyalir merupakan kompleks perumahan baru.

Pemandangan dari Puncak Salam. Foto oleh Nefertari Pramudhita, 2019.

Dari atas, kami baru bisa benar-benar menempatkan komunitas adat Cireundeu dalam konstelasi wilayah di sekitarnya. Ia benar-benar dekat dengan pelbagai bentuk pembangunan dan “kemajuan” kota. Tapi, alangkah uniknya, masih ada nilai-nilai leluhur yang dijunjung, dengan segala manifestasi budayanya, hanya 15 menit dari pusat keramaian Kota Cimahi.

Permukiman yang tampak saat berjalan menuju kompleks wisata Cireundeu. Foto oleh Nefertari Pramudhita, 2019.

Setelah cukup lama menikmati hembusan angin (meski matahari siang itu cukup terik), kami memutuskan beranjak kembali ke pondok peristirahatan dekat barisan pinus. Di sana, sebelum kami kembali turun, kami melakukan refleksi atas perjalanan yang sudah dilakukan. Berjalan tanpa alas kaki adalah salah satu pertanyaan besar yang membuat kami penasaran. Setelah mengemukakan berbagai jawaban dari perspektif masing-masing. Meski tidak mencapai kesimpulan yang pasti, kami sama-sama orang kota yang jarang berinteraksi dengan alam — trekking tanpa alas kaki setidaknya memberikan kami kesempatan kembali merasakan (secara harfiah) apa yang ditawarkan oleh lestarinya alam.

Patung Ganesha di areal kampung adat Cireundeu. Foto oleh Nefertari Pramudhita, 2019.

Pentas Angklung dan Makan Beras Singkong

Proses pengolahan singkong menjadi rasi (beras singkong) Foto oleh Nefertari Pramudhita (kiri) dan Dinda Primazeira (kanan), 2019.

Sesampainya kembali di Imah Panggung, kami ditawarkan untuk makan siang. Sambil menunggu hidangan disajikan, kami menyaksikan rombongan tamu yang sudah datang, yang tampaknya mereka baru saja diberikan pemaparan dan demonstrasi pengolahan singkong. Selain dijadikan pengganti nasi yang berasal dari padi, beras yang sudah diolah juga dapat dijadikan panganan lain seperti egg roll, yang pada siang itu ditunjukkan proses masaknya oleh ibu-ibu di sana.

Makan siang yang disajikan untuk kami, lengkap dengan “nasi” singkong dan lauk pauknya. Foto oleh Nefertari Pramudhita, 2019.
Proses pembuatan egg roll dengan tepung singkong. Foto oleh Nefertari Pramudhita (kiri) dan Dinda Primazeira (kanan), 2019.

Setelah menyantap makan siang, kami berkesempatan untuk mengobrol dengan Pak Elivas, salah satu perwakilan dari pemerintah Kota Cimahi yang juga dosen di Universitas Parahyangan. Beliau sudah beberapa lama terlibat dalam penelitian dan pengembangan masyarakat di Cireundeu. Kami pun sempat berdiskusi terkait masalah lahan di kawasan tersebut. Menurutnya, memang terdapat gap antara sistem kepemilikan lahan yang diakui negara dengan adat tradisional Cireundeu. Dengan perkembangan pasar lahan serta pengembangan proyek infrastruktur dan permukiman, tidak jarang ada yang “mengingkari” hakikat adatnya dengan menjual tanah yang dimiliki, padahal terdapat ikatan yang kuat antara masyarakat dengan lahan dan alam di sekitarnya.

Rombongan dari kota dan negara lain sedang mempelajari cara menganyam janur. Foto oleh Nefertari Pramudhita, 2019.

Kami juga diceritakan soal pendekatan pariwisata di Cireundeu. Menurut Pak Elivas, pemuda adat yang terlibat dalam kegiatan pariwisata di sini selalu mendorong pengunjung yang datang untuk secara aktif belajar budaya Cireundeu. Contohnya, pada siang itu, mahasiswa-mahasiswi yang diidentifikasi sebagai pendiam dan kurang aktif diberikan kesempatan untuk belajar memainkan angklung, sedangkan yang lain belajar menganyam janur. Di akhir sesi workshop, peserta yang sudah belajar angklung akan mementaskan satu lagu adat yang sudah mereka pelajari di depan yang lain.

Keriuhan rombongan saat penampilan angklung dari sebagian peserta rombongan. Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.
Penampilan angklung oleh sebagian peserta rombongan, hasil berlatih dengan pemuda adat Cireundeu. Foto oleh Nefertari Pramudhita, 2019.

Sehabis berdiskusi dengan Pak Elivas, kami ditawari Zakiy untuk melihat-lihat koperasi yang dikembangkan oleh ibu-ibu di Cireundeu. Tampil dengan sederhana, koperasi tersebut terletak di dalam kompleks bangunan di sana yang juga merupakan rumah pribadi salah seorang warga. Kami juga baru tahu lagi kalau singkong dapat diolah menjadi makanan lain, seperti dendeng dari kulit singkong dan bahkan mi instan. Keunikan dan testimoni Zakiy atas nikmatnya oleh-oleh khas tersebut membuat kami tergoda untuk membelinya. Sang ibu yang berjaga pada saat itu juga turut menceritakan berbagai proses membuat olahan tersebut. Kami pun teringat dengan ucapan Kang Yana, “Kalau mau beli produk olahan singkong, langsung datang ke sini, ke Cireundeu. Agar enggak cuma beli, tapi kita ngobrol dan belajar juga.”

Dari kiri ke kanan: Gissma (Agora), Zakiy (Lokali), Pak Elivas, dan Naufal (Agora), sedang berdiskusi terkait dinamika yang dihadapi Cireundeu. Foto oleh Nefertari Pramudhita, 2019.

Wacana Pariwisata Adat dan Gempuran Urbanisasi

Menjelang sore, sebelum pulang, kami menyempatkan kembali bertemu dengan Kang Yana. Sambil duduk melingkar, kami menceritakan kegiatan yang sudah kami lakukan dari pagi sampai siang hari di sana. Kang Yana mengatakan bahwa segala hal yang kami lalui hari ini adalah bentuk pembelajaran melalui interaksi dengan alam dan masyarakat di Cireundeu. Dalam ajaran leluhurnya, alam berperan penting dalam memberikan keberlanjutan dan keseimbangan hidup. Alam sendiri punya caranya sendiri dalam menegur dan menasihati kita — sehingga berjalan tanpa alas kaki di hutan adalah bentuk kita dapat berintrospeksi tentang hidup kita sendiri, apa kesalahan kita, serta bagaimana kita menghadapi kesulitan.

Berdiskusi dengan Kang Yana. Foto oleh Nefertari Pramudhita, 2019.

Kami pun sempat berdiskusi terkait asal-usul konsumsi singkong. Ditanam sendiri oleh masyarakat di sekitar permukiman mereka, singkong sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat Cireundeu sejak jaman penjajahan Belanda, tepatnya tahun 1918. Tradisi makan singkong pada mulanya merupakan aksi protes terhadap sistem tanam paksa. Pada saat itu, masyarakat adat Cireundeu berhenti menanam padi dan beralih ke singkong sebagai upaya menjaga ketahanan pangan. Alasan lainnya adalah singkong merupakan tanaman yang dapat ditanam kapan saja dan mudah untuk dibudidayakan.

Tradisi ini tadinya sempat jadi bagian dari cap miskin dan terpinggirkan dari masyarakat luar terhadap Cireundeu. Namun, utamanya semenjak kejadian naas meledaknya TPA Leuwigajah di tahun 2005, masyarakat berangsur-angsur “tersadarkan” bahwa mereka tetap harus mempertahankan budaya mereka, sehingga sampai saat ini, budaya mengolah dan mengonsumsi singkong menjadi nilai tambah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata.

Di satu sisi, urbanisasi dan perkembangan kota yang tidak dapat tertahan memang masih mengancam keberlanjutan kegiatan pariwisata juga kehidupan adat masyarakat. Kang Yana mengakui bahwa masih banyak orang yang tidak bisa membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak — yang terlihat dari berbagai fenomena seperti trekking menggunakan alas kaki serta dinamika masyarakat yang mulai berpindah keyakinan dan gaya hidup.

Kang Yana sedang menceritakan sejarah dan proses perkembangan Kampung Cireundeu. Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Dari apa yang kami rasakan melalui berbagai kegiatan di Cireundeu, termasuk dari cerita Kang Yana, kami menyimpulkan bahwa pariwisata menjadi salah satu cara bertahan bagi mereka yang cenderung “berbeda” atau “minoritas”. Di tengah gempuran urbanisasi, selain dampak ekonomi yang dapat digunakan untuk kembali mengembangkan infrastruktur dan kegiatan baru, pariwisata yang diiringi konservasi budaya juga memberikan pengalaman dan pembelajaran bagi pelakunya sendiri.

Kang Yana sempat menyelipkan cerita bagaimana budaya mengonsumsi singkong dianggap sebagai alternatif dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan oleh pemerintah. Akibatnya, teman-teman di Cireundeu sering diajak berkeliling Indonesia untuk mengedukasi kelompok masyarakat lain dalam melakukan diversifikasi pangan. Dari sana, mereka juga mengetahui bagaimana budaya berkembang di tempat lain. Bahkan, sempat terjadi pertukaran ilmu di mana masyarakat Cireundeu diajarkan menyablon pakaian. “Nih, ini hasil dari orang Jakarta yang pernah datang untuk mengajarkan cara sablon pakaian”, tunjuk Kang Yana ke kaos yang dia pakai saat itu.

Terakhir, kami juga baru merasakan manfaat Lokali sebagai penyedia jasa cultural trip seperti ini. Tanpa adanya jembatan penghubung seperti Lokali, mustahil rasanya kita bisa mengetahui lebih dalam eksistensi dari masyarakat adat di berbagai penjuru Indonesia. Terlebih lagi, dengan akumulasi pengetahuan mereka, kita dapat belajar tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat berkunjung, sehingga semakin memantapkan peran entitas seperti Lokali dalam konstelasi pariwisata dan komunitas adat di Indonesia.

Kolektif Agora berfoto bersama dengan Kang Yana. Foto oleh Nefertari Pramudhita, 2019.

Esai foto ini merupakan hasil kerja sama Kolektif Agora dengan Lokali. Kami ingin berterima kasih kepada Zakiy Zulkarnaen dari Lokali yang sudah menawarkan kesempatan berharga ini dan menemani perjalanan kami selama di sana.

Tim Penyusun: Naufal Rofi, Nadia Gissma, Dinda Primazeira, Nefertari Pramudhita, Jaladri, dan Adinda Angelica.

--

--