Kolom

Dari Demo Pengemudi Ojek sampai Kelahi Sopir Kopaja

Kolektif Agora
Kolektif Agora
Published in
5 min readJul 19, 2018

--

Oleh: Intan Zariska Daniyanti

“Saya tenang, kamu senang.” (Foto oleh: Nefertari Pramudhita, 2018)

Baru-baru ini, ketika tengah di perjalanan berangkat menuju ke kantor, saya menemui pemandangan yang tak biasa. Pagi itu, saya melewati Gedung Sate yang ramai riuh dipenuhi oleh segerombolan berseragam hijau, hitam biru, dan hijau putih. Rupanya, sedang ada aksi demonstrasi pengemudi Grab, Gojek, dan Uber di Kantor Gubernur Jawa Barat. Sehari atau dua hari sebelumnya memang ada rumor bahwa pengemudi angkot juga berdemo.

Transportasi daring seperti Grab, Gojek, atau Uber dilarang beroperasi di hari tersebut. Katanya, yang beroperasi di hari itu pasti kena sweeping dan langsung diberhentikan. Alhasil, pada hari yang sama saya pribadi sebagai pengguna transportasi daring agak kesulitan mendapatkan driver yang bisa menjemput saya. Saat akhirnya ada yang bersedia menjemput saya, sang driver bilang kepada saya, “Susah ya, Mbak, dapat driver-nya? Soalnya lagi dilarang beroperasi, ini juga kucing-kucingan. Kalau gak narik mau makan apa…”

Saya hanya menjawab, “Ya, Mas, tadi agak susah,” kemudian disambung dengan “Oh, begitu ya mas…”

Ketika melewati Gedung Sate, saya sempat kepo dan melihat ke sekeliling jalanan dari jendela Trans Metro Bandung (bus yang saya naiki). Saya melihat wajah abang-abang driver Gojek, Grab, dan Uber yang sedang melakukan unjuk rasa. Jumlahnya lumayan banyak juga kalau dibandingkan dengan kemarin lusa ketika angkot mogok dan demo bisa saja sebanding banyaknya.

Saya jadi teringat kegiatan saya dan beberapa teman Riset Indie mengadakan sebuah eksperimen sosial bernama Angkot Day pada bulan September 2013. Kami iseng membuat sebuah prototype yang mana dalam satu hari, trayek angkot rute 01 yaitu Kelapa-Dago digratiskan seharian penuh. Tujuannya, kami ingin orang-orang menggunakan sarana transportasi publik karena kami menilai kemacetan di Kota Bandung sudah sangat parah karena jumlah kendaraan dan ruas jalan tidak seimbang. Kemudian, orang juga enggan tentunya menggunakan angkot karena relatif tidak tertib dan tidak nyaman.

Saat itu, kami juga menyebarkan kuesioner dan mengajak ngobrol penumpang dan sopir angkot selama perjalanan berlangsung. Hemat saya dan teman-teman Riset Indie pada kala itu, masih ada secercah harapan untuk membuat orang-orang mau menggunakan transportasi publik, asalkan sopirnya tertib serta angkotnya nyaman dan aman.

Beberapa kesimpulan yang kami tarik dari eksperimen sosial Angkot Day adalah pengguna enggan menggunakan angkot karena tarif yang tidak konsisten, angkot ngetem terlalu lama, dan terkadang sopir yang ugal-ugalan. Dari sisi sopir angkot, kami mendapat insight bahwa penumpang kurang ramah dan memperlakukan sopir secara tidak menyenangkan karena penumpang yang “ketus”.

Pada 2017, saya pribadi melakukan eksperimen iseng. Saya mencoba naik angkot lagi selama seminggu penuh berkegiatan di Bandung. Keadaan sungguh jauh berbeda dengan sebelumnya. Sopir angkot malah semakin ketus kepada penumpang, menyetir seenaknya, merokok, saya diturunkan mendadak, tarif yang tidak jelas patokannya, hingga di salah satu angkot yang saya naiki tiba-tiba ada kecoanya.

Sungguh mengecewakan.

Namun, kejadian itu membuat saya termenung. Mungkin tingkat kesulitan hidup abang-abang sopir angkot lebih sulit dari saya atau bahkan kita semua yang membaca tulisan ini. Namun, apakah mereka tidak menyadari bahwa perlakuannya kepada penumpanglah yang justru membuat orang enggan menggunakan angkot lagi?

Meskipun tidak semua sopir angkot tingkah lakunya buruk, sayangnya, pengalaman-pengalaman yang saya (dan orang lain) alami membuat pandangan umum terhadap angkot juga menjadi negatif. Sebenarnya, masih banyak juga sopir angkot yang saya temui ramah dan mengetahui aturan guna menjaga kenyamanan penumpang, tetapi jumlahnya sangat minim dan saya sangat menyayangkan itu.

Awalnya, saya tidak mau ambil pusing dengan semua hal di atas. Namun, ternyata demo transportasi online maupun konvensional tidak berhenti sampai di situ. Hingga saat ini, saya masih menggunakan transportasi online, dan dalam beberapa kasus, sang pengemudi masih kucing-kucingan dengan transportasi konvensional. Saya juga sangat susah mendapatkan driver ketika memesan transportasi online dari rumah. Katanya, zona rumah saya adalah zona merah sehingga transportasi online tidak berani untuk menjemput.

Tak jarang juga saya mendengar cerita dari driver yang saya tumpangi bahwa koleganya digebukin karena ketahuan mengantar penumpang ke daerah yang mereka sebut dengan istilah zona merah. Akan tetapi, menurut hemat saya, sopir angkot ataupun transportasi konvensional tidak usah takut untuk kehilangan penumpangnya. Di era digital ini, transportasi online mungkin memang lebih diminati bagi kalangan milenial seperti saya. Namun, ada juga kalangan tertentu yang sepertinya akan terus menggunakan transportasi konvensional, seperti orang tua yang mengantarkan anaknya ke sekolah menggunakan angkot atau lansia yang hanya paham menggunakan angkot.

Lain cerita di Jakarta, beberapa waktu kemarin saya sempat berkunjung ke ibu kota untuk menonton band favorit menggelar konser. Saya menggunakan transportasi online dari Stasiun Gambir ke daerah SCBD. Ketika saya melewati taman di daerah Ragunan (kalau saya tidak salah ingat), ojek yang saya naiki tiba-tiba berhenti di pinggir jalan lalu membunyikan klakson kendaraannya berulang-ulang. Saya bertanya ada apa, lalu si sopir menunjukkan sebuah pemandangan yang saya sangat tidak biasa lihat.

Ada dua bus Kopaja, dan di pinggir jalan terlihat dua pemuda yang sedang berkelahi. Keduanya adalah kondektur Kopaja yang sedang berkelahi, dan yang lebih miris lagi adalah banyak orang di sekitar mereka. Namun, tidak ada satupun yang mencoba melerai atau ingin terlibat dalam perkelahian itu. Mereka seolah tidak mau ambil pusing dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya selama itu tidak mengganggu aktivitas dan kepentingan mereka. Saya sempat melihat ekspresi muka dua pemuda yang sedang berkelahi tersebut ruwet.

Ketika saya bercerita kejadian tadi ke teman saya, dia hanya menanggapi dengan santai dan berkata hal itu sudah biasa terjadi di Jakarta. Kejadian itu mengingatkan saya ketika saya melihat pemandangan di mana pengemudi transportasi online dan sopir-sopir angkot sedang melakukan demo.

Namun, muncul pertanyaan dan rasa dilematis di benak saya: bukankah kita semua makhluk sosial? Kita semua sama-sama mencari nafkah, dan bukannya rezeki sudah ada yang mengatur? Mengapa harus berebut dan berkelahi, seolah kita tidak punya Tuhan? Bukannya manusia tidak bisa melepaskan hakikatnya sebagai makhluk sosial?

Hal yang saya alami, pemandangan-pemandangan yang saya lihat, dan apa yang saya rasa adalah kejadian yang mungkin juga dialami oleh orang-orang kebanyakan setiap harinya. Apakah tingkat kesulitan hidup berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang? Apakah orang yang tingkat kesulitan hidupnya berat membuat orang menjadi lebih buas dan hilang kepekaan manusianya terhadap apa-apa yang terjadi di lingkungan sosialnya?

Pertanyaan terakhir ini mungkin terlalu klise, tetapi, apakah mungkin kejadian-kejadian tersebut bisa kita biarkan terjadi begitu saja tanpa kita bertindak apa-apa?

Intan Zariska Daniyanti
Relation and Content Writer,
Kuassa
daniya@kuassa.com
instagram.com/creepyc0ol

--

--