Ide / Gerak

Delusi Jalan Bebas Hambatan

Sebuah Tulisan yang Menjadi Hilir dari Kenyinyiran Saya di Twitter

Fahmi
Kolektif Agora

--

Sumber: Arsip Penulis, 2019.

Sudah hampir empat tahun ini saya sering bolak-balik antara dua kota, yakni Jakarta dan Bandung. Mungkin, jika kepergian saya hanya untuk berlibur, saya masih menobatkan diri saya hanya sekadar wisatawan lokal biasa, yang berkunjung ke Bandung untuk berbelanja di Cihampelas, atau sebaliknya, ke Jakarta sekadar untuk mencicipi beraneka wahana di Dunia Fantasi.

Hal yang sangat mungkin, jika status yang disemat masih sekadar wisatawan, kita tidak terlalu dipusingkan dengan hal-hal yang terjadi selama perjalanan, semisal jalan yang macet atau fenomena-fenomena menyebalkan khas perkotaan lainnya yang masih kita anggap sebagai hal wajar dan harus dibayar untuk memuaskan dahaga berwisata.

Sayangnya, kali ini saya sudah tidak lagi di tahap itu. Saya dihadapkan untuk menjadi individu yang hidup di dua kota tadi dan diharuskan untuk menikmati jalur penghubungnya: Cipularang.

Tendensi kali ini cukup besar tertuju pada jalur Cipularang karena delusi yang mulai kelihatan batang hidungnya. Padahal, dulu jalur ini digadang-gadang sebagai jalur yang mempersingkat waktu tempuh Jakarta-Bandung maupun sebaliknya — walau benar saya rasa adanya, karena sempat ada waktu di mana saya bisa menempuh Bandung-Jakarta hanya dalam waktu tiga jam, walau hal itu sekaligus “membunuh” jalur yang sebelumnya lazim dipakai untuk menempuh perjalanan Jakarta-Bandung (jalur Puncak-Cianjur-Padalarang/Jonggol-Cianjur-Padalarang).

Sekarang, saya kira semua sudah habis masanya. Belakangan ini, setiap saya menggunakan jalan yang dinobatkan sebagai jalan bebas hambatan tersebut, saya dipaksa menikmati berbagai hambatan yang sifatnya daily routine tanpa adanya accident yang bersifat urgen. Saya menyebut fenomena tersebut sebagai “anekdot urban”, kelucuan kota yang terpaksa saya nikmati dan saya tertawakan sebagai hiburan otak selama di perjalanan.

Nyinyir Bermodalkan Logika

Jauh hari sebelum tulisan ini terbit, ternyata sudah ada portal media online yang memuat kegelisahan pengguna Cipularang, mereka sepakat bahwa: “Tol Cipularang Sudah Enggak Asyik, Jakarta-Bandung Bisa 6 Jam!

”Dari itu, kali ini saya ingin berdayakan logika saya dengan landasan data dan fakta yang sudah ada sebagai surat terbuka yang nantinya mungkin bisa kita diskusikan bersama pun kalian kritisi adanya.”

Fakta yang paling mendasar adalah tentang konsesi jalan tol. Berbicara terkait pembiayaan jalan tol memang cukup rumit. Namun, pada intinya, jika jalan tol (berbayar) masa konsesinya telah habis, maka memungkinkan untuk dirubah menjadi jalan nasional (tidak berbayar). Hal tersebut diatur dalam PP Nomor 15 Tahun 2005. Akan tetapi, Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 yang tercantum pada PP Nomor 30 Tahun 2017 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, tidak menjamin jalan tol akan digratiskan meski masa konsesinya selesai. Saat ini, konsensi dengan pihak swasta terkait kadang menjadi misteri, sehingga masyarakat tidak tahu kapan konsensi berakhir (Hana, 2018). Kesimpulannya, kapan kita harus terus membayar tanpa kejelasan konsesi, ditambah keadaan jalan yang statusnya berbayar serasa jalan tidak berbayar karena banyaknya hambatan yang bersifat daily routine macam kasus Cipularang ini?

Fakta selanjutnya adalah tentang banyaknya proyek yang sedang dilakukan di sejumlah titik Tol Cipularang, semisal pembangunan Tol Layang Jakarta-Cikampek, proyek LRT, hingga kereta cepat (KCIC). Saya rasa, proyek tersebut harus bertanggung jawab atas kemacetan dan berbagai hambatan yang terjadi, dengan logika volume kendaraan yang sama, sementara ruas jalan yang terus menyempit akibat aktivitas proyek. Hal ini tentu akan menyebabkan kemacetan serta menghambat pergerakan yang ada.

Namun, kali ini saya tidak ingin jauh membahas proyek-proyek tersebut, juga tidak ingin mendebat ketiga proyek tersebut. Pertanyaan mendasarnya: adakah upaya evaluasi kebijakan terkait antisipasi terjadinya penumpukan kendaraan, semisal mengatur jam operasional truk-truk besar, atau regulasi kendaraan pribadi yang boleh memasuki jalan tol berdasarkan kebutuhan (seperti aturan three in one)? Yang saya takutkan, jika keadaan ini tidak dilakukan penanganan, maka terbentuklah opini masyarakat bahwa Cipularang sudah tidak layak pakai dan kita harus memiliki kereta cepat Bandung-Jakarta, tanpa berpikir panjang akan dampaknya yang ternyata menimbulkan banyak perdebatan.

“…proyek tersebut harus bertanggung jawab atas kemacetan dan berbagai hambatan yang terjadi, dengan logika volume kendaraan yang sama, sementara ruas jalan yang terus menyempit akibat aktivitas proyek.”

Lanjut mengulas data, kali ini sudah 568 km jalan tol baru yang telah beroperasi. Sementara, hingga akhir 2019 ditargetkan sepanjang 1.851 km jalan tol baru terselesaikan. Data tersebut dibarengi dengan data perkembangan kendaraan bermotor di Indonesia tiap tahunnya yang terus meningkat. Badan Pusat Statistik pada tahun 2017 mencatat sebanyak 15.493.068 unit mobil penumpang melumat aspal jalan raya di Indonesia, dan jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang totalnya berjumlah 14.850.666 unit.

Sumber: bps.go.id, 2019, dengan olahan penulis.
Sumber: bps.go.id

Berbicara terkait penambahan kapasitas jalan sejatinya akan berdampak pada lahirnya lalu lintas baru, yang mengarah pada kemacetan baru dengan volume lalu lintas yang lebih tinggi (Litman, 2001). Lalu, sebuah penelitian di California menyebut bahwa tambahan kapasitas jalan tidak banyak mengurangi kemacetan karena keadaan lalu lintas yang besar, dengan setiap 1% penambahan panjang jalan dalam satu mil jalur akan pula menambah peningkatan kendaraan sebesar 0,9% per lima tahun (Hanson, 1995).

Dengan demikian, mungkin Cipularang memang sudah habis masa waktunya untuk berjaya. Faktanya, kemacetan sudah mulai di mana-mana, tapi apa sudah ada inisiatif mitigasinya? Atau, bisa jadi ini memang sudah takdirnya, sehingga mari kita berdoa agar tidak kena macet, atau cerdiklah mencuri waktu plus mencari jalan tikus saat berkendara.

Kemungkinan-kemungkinan dari Macet di Jalan

Dikutip dalam sebuah artikel yang berjudul “How Traffic Congestion Affects Economic Growth, bahwa sebuah kemacetan ternyata memiliki dua kemungkinan. Pertama, kemacetan mungkin baik karena merupakan indikator dari sifat kota yang aktif dan bersemangat. Kedua, kemacetan mungkin buruk sejauh itu memiliki arti bahwa akses terhambat, pengiriman barang tidak dapat berjalan dengan cepat, hingga orang-orang akan membenci kehidupan.

Dengan dasar pengalaman yang saya alami, saya merasa kemacetan Cipularang menjurus pada kemungkinan kedua, di mana saya mulai resah setiap kali sadar akan melalui jalur tersebut. Di samping itu, logika nakal saya (walau belum saya buktikan lewat penelitian) membayangkan bahwa setiap jalan tol yang dibangun tanpa melakukan perencanaan transportasi yang matang merupakan senjata bunuh diri yang pelurunya adalah waktu, dengan asumsi bahwa pengiriman barang hingga angkutan publik (bus) akan terbunuh dengan sendirinya dikarenakan biaya bahan bakar yang dikeluarkan harus lebih banyak selama dalam kemacetan, ditambah tidak adanya kontrol untuk kepemilikan kendaraan. Akhirnya, hal ini makin menambah kecenderungan orang menggunakan mobil pribadi, lalu hal itu makin membunuh angkutan publik (bus) karena penggunanya semakin sedikit.

Pada akhirnya, tulisan ini adalah bentuk refleksi untuk diri sendiri yang sifatnya sangat layak untuk dikritisi. Lain daripada itu, saat narasi tentang pembangunan infrastruktur yang sedang hangat dijual sebagai topik kampanye, saya mengambil peluang untuk mempertanyakan semua kemungkinan ke depannya secara terbuka, didasari oleh hal-hal yang mengganjal di kepala.

Jakarta, 14 Februari 2019

Fahmi Idris Sudrajat
Pengguna Baraya Travel Bandung-Jakarta

ReferensiHana, L. (2018, January 3). Kapitalisme: Pengaburan Batas Akhir Kontrak Jalan Toll di Jabodetabek. An1mage Jurnal Studi Kultural, 3(1), 47–50.Litman, Todd. (2004). Generated Traffic and Induced Travel: Implications for Transport Planning. Institute of Transportation Engineers Journal. 71. 38–47.

--

--