Kolom

Depok: Kota dengan Tempat Tidur Massal

Kolektif Agora
Kolektif Agora
Published in
6 min readJul 4, 2018

--

Oleh: Muhammad Yudha Pratama

Foto diambil dari https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Depok_Skyline.jpg

Sebagai sebuah nama, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Depok memiliki sejarah panjang yang mengagumkan. Namun, sebagai kota, usia Depok masih sangat belia, yaitu baru 19 tahun. Ini tidak sebanding dengan tugas besar yang harus diembannya karena tergabung bersama Bekasi, Bogor, dan Tangerang dalam mendukung keberhasilan konsep megapolitan Jakarta. Salah satu tugas besar tersebut adalah memaksimalkan potensi pertumbuhan jumlah penduduk yang signifikan setiap tahunnya akibat dari proses pergerakan massa dari pusat kota seperti Jakarta ke daerah pinggiran kota. Pergerakan massa yang dilakukan oleh suburban ini menciptakan kelompok masyarakat baru yang super hybrid.

Lantas, apa dampak dari keberadaan kelompok masyarakat super hybrid ini terhadap laju perkembangan Kota Depok sendiri, mengingat bahwa kelompok masyarakat suburban ini memiliki karakteristik dengan mobilitas yang tinggi?

Hal ini mengarahkan saya pada kecurigaan sebab-akibat mengenai “seberapa sering Kota Depok dibicarakan oleh warganya?” Ini adalah langkah pertama yang sederhana sebelum lebih jauh membahas masalah-masalah apa saja yang dihadapi Kota Depok atau juga sebelum menyalahkan pihak mana yang perlu bertanggung jawab atas terciptanya masalah-masalah tersebut dan siapa yang harus membenahinya.

Banyak metode yang dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahui seberapa sering kota dibicarakan oleh warganya, mulai dari metode formal seperti ruang kritik yang diciptakan warganya, demonstrasi dalam merespon segala kebijakan pemerintah terkait, atau public hearing antara pemerintah dan warganya. Ada pula metode informal seperti menghitung jumlah hashtag di berbagai linimasa yang dipublikasikan warganet Kota Depok. Namun, yang terpenting dari semua ini adalah suara warga mengenai kotanya yang dapat menjadi indikator tentang paradigma kepedulian warga kota terhadap kotanya sendiri.

Depok adalah kota dengan tingkat heterogenitas yang tinggi. Keberagaman ini mencakup ras, agama, golongan, dan juga kepentingan. Adapun kesamaan hal yang dapat menyamaratakan mereka adalah mayoritas warga Depok yang didominasi oleh kelas pekerja yang bekerja di sektor formal. Hal tersebut mengarahkan terciptanya ruang gerak yang luas bagi mereka. Sayangnya, ruang gerak ini terjadi tidak hanya sebatas di lingkup Kota Depok saja, melainkan melintasi batas geografis daerah-daerah sekitarnya, khususnya Jakarta.

Dari situ, dapat dipahami bahwa secara kehadiran, diri mereka telah terbagi secara temporal dan spasial. Artinya, pagi hingga sore hari telah mereka habiskan di tempat kerja yang lokasinya berada di luar kota Depok. Kecil kemungkinan bagi mereka untuk memikirkan perihal kotanya (kota yang mereka tinggali) di aktivitas mereka yang berada di luar kota Depok. Kehadiran mereka secara utuh hanya terjadi pada malam hari ketika energi mereka sudah terkuras habis setelah seharian bekerja.

Sebenarnya, masih ada sisa waktu untuk mereka memikirkan kotanya ketika mereka memiliki hari libur selama dua hari di penghujung minggu. Tapi, sebagaimana karakteristik kelas pekerja dan relasi mereka terhadap kota, mereka akan memilih menghibahkan diri untuk mereka sendiri dan kepada orang-orang yang mereka cintai. Mereka akan membela diri dengan logika: “Sudah cukup waktuku yang selama lima hari diserap oleh kota, maka dua hari ini aku hadirkan diriku untuk diriku sendiri.” Maka, kapan mereka — warga Kota Depok — memiliki kesempatan untuk berpikir, bahkan bicara mengenai kotanya? Dari sini, kita bisa merendahkan hati untuk menerima kenyataan bahwa kelas pekerja sebagai golongan yang mendominasi kependudukan di Kota Depok harus mengeliminasi diri mereka dari urusan kotanya.

Di saat kelas pekerja telah mengeliminasi suara mereka dari perbincangan mengenai Kota Depok, masih terdapat golongan lain yang sebenarnya cukup potensial dan sangat bisa diperhitungkan kehadirannya. Mereka ialah warga kota yang masuk dalam golongan usia muda, yang seringkali menciptakan perspektif baru dalam melihat peristiwa kota yang tengah berlangsung, dan ini senada dengan corak ideologi kota yang bersifat modern.

Golongan muda ini memiliki karakter inovatif yang tidak hanya dibatasi gagasan konseptual, melainkan inovatif dalam gerakan penciptaannya. Gabungan kerja lintas disiplin ini juga senada dengan konteks laju pembangunan kota di dunia saat ini yang membuka ruang yang cukup besar bagi munculnya wacana kreatif yang disumbangkan oleh kalangan pemuda dan profesional kota. Para pemangku kebijakan kota bisa menjadikan industri kreatif sebagai prioritas, sebab selain dinilai mampu memicu perkembangan budaya, industri kreatif juga mampu meregenerasi perkotaan serta merangsang pertumbuhan ekonomi.

Sebagai pembanding, beberapa kota di Indonesia telah melakukan reorientasi atas identitas yang mereka miliki menjadi sesuatu yang anyar untuk dirinya sendiri melalui pemunculan jargon, logo, warna, atau lainnya yang lebih eye-catching atau marketable. Perubahan semacam ini dilakukan berdasarkan upaya kota-kota tersebut untuk meng-upgrade situasi dan kondisi yang telah berubah secara cepat dengan melibatkan golongan kreatif sebagai mitra kerja mereka.

Kolaborasi antara pemerintah Kota Depok dengan golongan kreatif ini seharusnya dapat menghasilkan buah pikir yang solutif. Selain itu, golongan kreatif ini juga memiliki kelebihan, yakni ketersedian waktu yang penuh dalam melihat laju pembangunan kotanya secara lebih komprehensif. Independensi mereka sejatinya juga memiliki pengaruh besar terhadap lingkup yang sangat luas bagi warga kota Depok, mengingat gerakan golongan ini belum tercampur agenda politik yang dimoderatori kepentingan pihak yang biasanya hanya mengarah pada keuntungan segelintir golongan.

Sampai saat ini, saya belum mengetahui ada atau tidaknya kerja lintas disiplin tersebut. Jika belum, berarti hanya ada dua sebab yang mungkin. Pertama, pemerintah Kota Depok belum membuka medium, ruang, serta relasi terkait kepada warganya dikarenakan belum betul-betul mengerti tentang konsep manajerial kota modern yang sedang ngetren saat ini, sehingga managerial kota yang dikelola masih terkesan jadul. Tidak salah jika portal media daring seperti Tirto.id melabelkan “Depok, Desa yang Gagal Menjadi Kota’”sebagai headline mereka pada edisi 29 Januari 2018.

Salah satu contohnya adalah minimnya keberadaan taman kota di Depok. Bagi masyarakat commuter, salah satu fungsi taman adalah tempat istirahat sementara dari proses perjalanan mereka yang cepat. Namun, sayangnya, konsep tersebut belum bisa difasilitasi dengan baik oleh pemerintah Kota Depok. Entah kesengajaan atau politik ruang, tata ruang kota seperti ini (minim taman kota) terkesan membiarkan warganya agar terus bergerak dan tidak memberikan kesempatan untuk rehat sejenak memikirkan kotanya.

Kedua, gerakan kreatif yang sedang dibicarakan ini ternyata memang belum diciptakan oleh golongan pemudanya. Saya menduga, istilah “pekerja” mungkin bukan sekedar kategori usia semata, melainkan mindset warganya. Hal tersebut kemudian menciptakan warga Depok sebagai warga dengan mentalitas pekerja. Maka, untuk berbicara mengenai Kota Depok, kita lagi-lagi kembali pada alasan sebelumnya, mereka tidak memiliki waktu.

Suara warga kota saat ini tidak hanya berstatus sebagai aspirasi dalam memenuhi haknya sebagai masyarakat sipil. Suara warga kota, khususnya warga Kota Depok saat ini, boleh dikatakan menempati posisi sebagai media alternatif dalam membantu pemerintah kota yang bingung bagaimana mengelola permasalahan kota yang kompleks. Diamnya warga kota dapat menjelaskan sendiri tentang adanya egoisme warga kota kepada kotanya. Seperti saat warga Depok yang ‘menerima’ begitu saja kemacetan panjang berjam-jam (padahal jarak tempuhnya tidak seberapa), sedangkan pemerintah Kota Depok sendiri seakan dibuat tak berdaya menghadapi masalah tersebut. Maka, apa yang terjadi pada jalanan tak pelak justru menimbulkan masalah-masalah sosial lainnya, atau bisa jadi kemacetan Depok dapat berdampak pada masalah “pribadi” saat mereka menerima untuk “Menjadi Tua di Margonda” (merujuk kembali Tirto.id edisi 29 Januari 2018). Meskipun terkesan paradoks, tapi itulah kenyataannya. Keringnya suara warga Kota Depok terhadap kotanya bisa disamakan dengan gersangnya melintasi jalan raya Margonda Depok.

Depok hanya tempat tidur massal yang teramat besar, tempat warganya menghabiskan malam dengan menutup mata, lalu terbangun dan buru-buru meninggalkannya. Maka, tidak perlu disesalkan kalau kota ini terlalu hening. Sebagaimana tempat tidur: menyediakanmu tempat untuk rebah dan berpikir tenang. Ingat, Jakarta dan perjalanan sudah menyerap dirimu berkeping-keping, semua dimulai dari fajar hingga petang.

It’s time to sleep. Ust!

Tentang penulis :

Sudah tujuh tahun dia pergi meninggalkan kota ini, Kota Depok. Tidak benar-benar meninggalkan sebenarnya, karena ada beberapa kepulangan dia (mungkin 2 sampai 3 kali setiap tahunnya). Sampai di kepulangannya tahun ini, dia merasa bingung. Kota mana yang sebenarnya patut untuk dikatakan sebagai tempat untuk pulang, karena waktu seakan mengambil jarak lebih jauh dirinya dari kota ini. Kota yang dia sempat diami selama belasan tahun. Sampai dia sendiri merasa yakin kalau dia telah menjadi orang asing di kampung halamannya sendiri. Jika mengambil istilah dari cerpen atau novel ‘dia’ di sini telah menjadi orang ketiga ketika menulis tulisan ini.

Any respon? Text me on judas.pratama@gmail.com

Referensi

[1] https://metro.tempo.co/read/527999/69-juta-perjalanan-setiap-hari-menuju-jakarta diakses pada tanggal 20 April 2018 pukul 23.40 WIB

[2] https://theconversation.com/create-to-regenerate-cities-tap-into-talent-for-urban-renewal-63992 diakses pada tanggal 21 April 2018 pukul 22.34 WIB

[3] Seperti rebranding yang dilakukan pemerintah provisi DI. Yogyakarta dengan memunculkan logo baru pada tahun 2015, dari logo sebelumnya yang memiliki tagline ‘Jogja Never Ending Asia’, berubah menjadi ‘Jogja Istimewa’. Atau Wali Kota Bandung pada tahun 2014 memunculkan jargon tandingan menjadi ‘Bandung Juara’ dari jargon resminya ‘Bandung Bermartabat’.

[4] https://tirto.id/depok-desa-yang-gagal-menjadi-kota-cDWC diakses pada tanggal 22 April 2018 pukul 21.24 WIB

[5] https://tirto.id/menjadi-tua-di-margonda-cDWX diakses pada tanggal 22 April 2018 pukul 22.50 WIB

--

--