IN/TRES/PEKSI

Di Sungai Menjala Deru, Ke Badai Menenun Talun

Hikayat Alun-Alun dari Balik Fasad Pemred

Nayaka Angger
Kolektif Agora

--

Potret di atas merupakan iklim produktif Kolektif Agora dan kami tengah mengalami krisis iklim.

Jika usia bumi sejak terbentuk sampai sekarang dikonversi ke dalam 24 jam, konon kehidupan baru muncul pukul enam pagi, tumbuhan pukul sepuluh malam, dan dinosaurus binasa setengah jam menuju akhir hari. Manusia? Baru mampir menjelang 23.59.

Mukadimah: Homo narrans

Untuk sebuah spesies yang mengarungi bumi kurang dari semenit lalu, dengan kehidupan modern yang berlangsung sekelebat milisekon, manusia telah mampu mendaki puncak rantai makanan dan menobatkan diri sebagai organisme multiseluler yang adidaya. Bukan dengan jejeran taring atau fotosintesis, melainkan dengan akal.

Akal, sebagaimana tertahbiskan dalam gelar sapiens yang berarti kebijaksanaan, menjadi variabel penting dalam kejayaan spesies kita. Berdampingan dengan evolusi fisik yang mengagumkan, akumulasi informasi antarindividu dan lintasgenerasi memungkinkan kepemilikan kolektif atas wawasan serta kemampuan untuk beradaptasi dan melampaui lingkungan dalam waktu yang relatif singkat—hanya satu menit usia planet.

Namun, kebijaksanaan manusia tidak begitu saja timbul di kepala. Ada prasyarat dan karakteristik yang mendahului perwujudannya. Salah satunya, dari sekian banyak, adalah kekhasan manusia sebagai makhluk pencerita, sebagai Homo narrans. Upaya moyang kita untuk berkomunikasi, untuk bisa mengerti dan dimengerti oleh satu sama lain, mengantarkan pada sebuah kemampuan bercerita.

Bercerita memungkinkan manusia saling bekerja sama, meminimalkan konflik, meninggalkan sejarah, hingga mengaktualisasi diri, apa pun itu maksudnya. Kita bercerita dalam berbagai medium dan menceritakan berbagai hal, dari lukisan gua sampai tarian adat, dari proses berburu sampai penghormatan leluhur. Darinyalah kebijaksanaan dengan lekas bisa berbuah.

Bercerita, bagi manusia, adalah bertahan hidup dan mewariskan hidup.

Individu: Tampak Bisa, tapi Cedera

Meskipun bercerita adalah mekanisme pertahanan dan meme kebudayaan spesies, bukan berarti ia selalu rampung dicetak dalam gen tiap individunya.

Kolektif Agora, subjek sesungguhnya dari refleksi ini, awalnya diintensikan sebagai salah satu cara saya untuk bisa bercerita, untuk bertahan hidup.

Pada usia belasan, saya menyadari bahwa bercerita bukanlah sesuatu yang alami bagi saya, terutama secara lisan. Saya masuk dalam subspesies yang kerap gagal menyampaikan inti lelucon dan dingin dalam merespon kejenakaan individu lain. Saya juga dikategorikan sejenis fauna yang kesulitan mempertahankan percakapan kecil dan selalu terbata dalam mengutarakan perasaan.

Ada nestapa yang khas dari ketidakcakapan verbal seperti itu, ketika kita mengalami takut, sedih, lucu, marah, atau bahagia, tapi lalu tersendat dan tersedak waktu ingin dimuntahkan, ingin disampaikan dan dititipkan ke manusia lain.

Selepas kuliah, saya kembali menyadari bahwa perkara komunikasi ini bukan hanya mengenai bagaimana, melainkan juga apa. Kecenderungan (baca: ego) saya untuk tidak membicarakan yang dibicarakan orang lain, lagak-lagak melawan arus utama, tampaknya menjadi penyebab sekaligus akibat dari kesulitan bercerita saya.

Apa-apa yang saya serap dan pelajari selama menjadi mahasiswa akhirnya mengambil porsi besar dari apa yang bisa saya ceritakan. Masalahnya dari sini adalah bahwa apa itu ternyata bukanlah sesuatu yang umum. Apa ini seperti klaster wawasan hasil pertalian sejumlah perkara yang acak dan bersengkarut: kombinasi dari jurusan S1 yang kebanyakan orang tua tidak tahu artinya, organisasi aksi-riset yang entah bagaimana dilabeli haram, pengalaman lapangan yang tak seberapa, buah magang di gudang, buku-buku yang tidak ada di Gramedia, jurnal-jurnal fotokopian, juga pemahaman isu yang setengah-setengah hasil belajar dari kawan di sembarang tempat.

Apa ini belum bernama. Tidak diketahui isinya, tidak diketahui cara mengomunikasikannya. Hampir separuh isi kepala tidak bisa diceritakan, hampir separuh diri gagal diaktualisasikan.

Zaman dahulu ketika waktu masih banyak dan tanggung jawab masih sedikit.

Kambrat: Menjala Deru

Jika belum mampu menemukan kata dan cara untuk menceritakannya, cara yang tersisa ketika itu adalah untuk menamai dan mereka cipta langgam tuturnya sendiri.

Dan Kolektif Agora adalah nama dan cara itu, suplemen untuk apa dan bagaimana saya bercerita, untuk berada.

Lewat serangkaian interaksi yang hampir sepenuhnya takdir, Agora dimulai oleh dua orang lain yang memiliki masalah serupa, tetapi tegas berbeda dengan coraknya tersendiri. Naufal Rofi dengan bara ideologi dan kepiawaian belajarnya, Alvaryan Maulana dengan pembacaan fenomena dan kedalaman wawasannya. Ditambah saya dengan Adobe Illustrator dan KBBI, kami bertiga memulai perjalanan ini.

Bagi yang mengenal Kolektif Agora sebagai pembaca, mungkin perjalanan kami tampak sebagai suatu ziarah epistemik wawasan urban, atau laboratorium ekspresi kewargaan alternatif, atau ikhtiar heroik untuk kota yang lebih baik. Tentu, saya rasa itu tidak bisa dikatakan salah. Namun, yang mungkin tak tampak di permukaan laman Instagram adalah bahwa Kolektif Agora merupakan sebuah perjalanan mencari kawan.

Ber-Agora, sebagaimana kami menyebutnya, bisa dibilang sebuah pelayaran di sungai-sungai metaforis yang deras menderu, di jeram manusia dan informasi yang marah dan meluap, di gulungan arus-arus politik dan eksistensi diri, di ruang antara hulu intensi dan hilir reaksi.

Kami menebar jaring dan melepaskan kail, berusaha menjala deru dan menangkap kambrat baru: orang-orang yang butuh Agora dan dibutuhkan Agora. Seiring waktu, perahu kami mulai sempit dan perlu diperbaharui agar dapat tetap berlayar dengan baik. Tentu kami sering limbung, tapi belum pernah sempat tenggelam.

Tidak hanya kawan sebagai anggota, tetapi kami juga menemukan kawan sebagai kolega, sebagai mentor, sebagai lawan bicara, sebagai rival, sebagai audiens, sebagai pendukung, sebagai sebuah ekosistem galangan yang purna dan pondok-pondok labuh yang bisa dipanggil rumah.

Belum pernah foto yang betul-betul lengkap, seperti para cucu kepada neneknya.

Bentuk: Menenun Talun

Yang kadang terjala dari deru, selain Mas Jala-deru atau kenalan baru, adalah pengetahuan. Dalam tiga tahun Agora berkegiatan, kami sedikit banyak mulai mengakumulasi kebijaksanaan. Kebijaksanaan untuk mengetahui mana yang sekiranya bijak, untuk mengetahui di mana bisa mempelajari sesuatu, untuk menemukan kepada siapa bisa bertanya, untuk mencari cara yang tepat dalam mengemukakan sesuatu.

Menyunting artikel penulis kawakan, menyusun ToR diskusi dan MoU kemitraan, mengelola korespondensi dengan audiens, memilih kuas dalam ilustrasi infografik, menganalisis data yang berantakan, membuat kotak donasi, memilih gaya dalam sesi foto bersama, menjelajahi kota bertemu orang pintar, mempertahankan basa-basi sebelum acara dimulai, mendiskusikan perspektif editorial, mengatalogkan bahan bacaan, menertawakan tenggat yang lewat dua minggu, sampai mengikhlaskan kelakuan kawan yang menabur remah parafin—harusnya garam—di sekitar kemah dan masak mi di dalam teko listrik; begitu banyak hal yang sudah kami lakukan dan pelajari.

Wawasan mengenai isu perkotaan tentu sudah menumpuk—meski belum semua sudah terarsipkan dan terendapkan dengan baik—tetapi pengetahuan yang implisit atau tacit knowledge juga tak kalah banyak. Melalui amalgam antara keduanya inilah kami menemukan bentuk, dan terus-terusan membentuk, Kolektif Agora.

Bicara bentuk adalah bicara sesuatu yang akan terus berubah ketika ditanyakan bulan ini dan bulan depan, sebab Kolektif Agora dimulai dari isi. Dari apa para penggagasnya, lalu bersama-sama dicarikan bentuk untuk bagaimana-nya. Tulisan di Medium dan post warna-warni di Instagram hanyalah salah satu bungkus yang paling konsisten dari bentuk umum yang masih urung ajek. Di dalamnya terkandung konsiderasi dan argumentasi dari akumulasi pengetahuan-pengetahuan tadi, yang perlahan mulai bernama, yang masih menunggu untuk diejawantahkan dan diceritakan kepada orang lain. Namun, bercerita dan didengarkan adalah dua hal yang tidak 100% berkorelasi, terlebih di masa penuh kebisingan ini.

Kami sempat takut bahwa komplotan ini lebih seperti new media kelas menengah yang eksklusif dan sarat bias di ruang gema ketimbang wadah eksplorasi narasi isu urban blablabla yang kami janjikan di profil itu. Dunia adalah tempat yang keras, dan internet lebih keras lagi. Media sosial, sebagai platform utama kami, bukanlah sebuah taman di mana orang-orang datang untuk piknik, menyapa satu sama lain, dan menikmati angin sepoi. Tidak, tidak ada angin sepoi, yang ada badai penghakiman, kemarahan, dan ketidakpedulian. Semua orang berebut perhatian dan menjajakan kebenaran.

Meski begitu, Kolektif Agora sama sekali tidak berbeda dari penghuni daring lainnya. Kami juga menenun talun kisah yang ingin kami kehendaki, satu benang data perlahan dijalin ke benang kata lainnya, merajut aneka kriya pengetahuan dan berharap ada yang mau melihat-lihat dan membeli dan mengenakannya dan menceritakannya ke tetangga. Seperti menjual kaus kaki katun di kolam renang.

Kadang saya tidak yakin bahwa ini adalah bentuk yang benar, proses yang tepat, kalimat yang pantas, peran yang pas, atau jalan yang semestinya. Tapi saya percaya bahwa tiap risalah akan menemukan pembacanya. Dan selama masih ada satu orang saja yang membaca cerita kami, maka masih ada satu hidup yang menjadi tandem eksistensi kami.

Punya tempat untuk tiduran, bikin kopi, diskusi, kerja, atau sekadar bercanda betul-betul perlu disyukuri.

Epilog

Ada satu draf tulisan saya yang belum sempat rampung. Isinya adalah daftar hal-hal di balik layar seperti kenapa Agora tidak pernah mengeluarkan sikap atau kenapa kami belum mengompensasi anggota. Masih menumpuk tanggung jawab saya yang belum ditunaikan sebagai hulubalang kolektif ini, yang dalam tahun-tahun selanjutnya akan terus bertambah.

Jujur saja saya tidak berniat juga menyelesaikannya. Ada hasrat yang kontradiktif untuk terus berutang kewajiban kepada Kolektif Agora supaya saya selalu punya tagihan untuk dibayar, selalu punya tugas untuk dikerjakan, hal untuk dipelajari, orang baru untuk ditemui, pencapaian untuk dinantikan, teman untuk dibersamai, dan tempat untuk kembali.

Setelah 316 konten, 154 artikel, 43 kegiatan, 20 keluarga baru, dan tiga tahun perjalanan berliku Kolektif Agora, izinkan saya untuk berterima kasih kepada semua yang telah membantu kami ada dan masih ada.

Terima kasih.

--

--