DIJUAL! Apartemen Kota Depok

Sebuah Senandika atas Perubahan Cepat Wajah Kota

Kolektif Agora
Kolektif Agora
6 min readJan 9, 2018

--

Oleh: Fahmi Idris

Kota Depok dari ketinggian. (Sumber: instagram.com/k_fotografi)

Sudah menjadi sesuatu yang pasti jika sebuah kota melakukan pembangunan demi keberlangsungan hidup warganya. Dengan dalih memberikan kenyamanan sampai meningkatkan perekonomian, para pemangku kebijakan berlomba-lomba menyajikan rangkaian program yang bertajuk pembangunan kota. Jargon kemakmuran serta kecantikan kota yang tidak jarang diadopsi dari kota-kota Eropa yang sudah berlabel City of Light menjadi mahar untuk semua warganya.

Seperti yang sedang terjadi di Kota Depok, dengan serangkaian pembangunan infrastruktur yang masif khususnya terjadi di sektor hunian vertikal, gedung-gedung pusat perbelanjaan dan perkantoran, hingga hektaran kawasan hunian terpadu yang terus digalakkan oleh para pengembang. Tak ayal, kini Depok menjelma menjadi kota “metropolis” dengan segala ingar-bingar lampu perkotaan serta gedung tinggi pencakar langit yang tumbuh subur, bak jamur di musim hujan.

Namun, ada baiknya kita perlu mengkaji lebih jauh akan apa yang didapat setelah perubahan yang begitu cepat.

Hakikat Depok Raya

Membicarakan Kota Depok tidak bisa lepas dari pengaruh Kota Jakarta, seperti yang kita ketahui bahwa Depok adalah salah satu kota yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota negara. Dalam konteks sejarah, Depok termasuk ke dalam pengembangan wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (JABODETABEK) seperti yang tertulis dalam Instruksi Presiden Nomor 13/1976 bahwa salah satu tujuan pengembangan wilayah Jabodetabek dimaksud untuk meringankan tekanan penduduk di dalam wilayah Daerah Khusus lbukota Jakarta, sehingga kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya berkembang secara serasi dan lebih mencerminkan peri kehidupan nasional Bangsa Indonesia. Selain itu, Depok juga diproyeksikan sebagai salah satu pusat pertumbuhan baru yang berada di sekitar Jakarta.

Jika ditinjau dari teori lokasi, Depok merupakan suburban di mana Jakarta yang menjadi titik pusatnya. Dengan karakteristik tersebut diasumsikan bahwa semua kota yang berbatasan langsung dengan Jakarta memiliki peranan untuk keberlangsungan Kota Jakarta itu sendiri. Tri Wahyuning dalam bukunya yang berjudul Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950–1990an, menjelaskan dalam RTRW Jabotabek tahun 1986, fungsi kota Depok adalah sebagai daerah resapan air, pusat perdagangan dan jasa pusat pemukiman, serta sebagai pusat pelayanan kegiatan pertanian dan agroindustri.

Pertanyaannya, apakah hakikat tersebut sudah selaras dengan realita yang ada? Lalu, apa saja dampak dari pembangunan hunian vertikal yang merajalela?

Fallacy Metropolis Universalis

Perkembangan teknologi dan informasi memungkinkan makin mudahnya kita mendapat berbagai influence dari seluruh penjuru dunia, termasuk seni membangun kota. Seperti yang sedang tren akhir-akhir ini, di mana kota-kota khususnya di Indonesia sedang giat mempercantik diri dengan berbagai upaya yang dilakukan. Dari berbenah masalah penyediaan taman, hingga membangun gedung-gedung tinggi yang memberi suasana gemerlap khas kota metropolitan. Mungkin saat ini kita terlalu berkaca pada kemegahan Rockefeller Center yang dikolaborasikan dengan Central Park yang ada di New York.

Fenomena ini bagi saya merupakan sebuah anekdot, di mana kota makin berlomba-lomba menyajikan suasana metropolitan yang tidak jarang merubah tatanan hingga kearifan demi seonggok citra yang sepertinya tidak sebanding dengan apa yang dikorbankan. Hal ini juga membentuk sebuah opini publik bahwa indikasi kota yang maju adalah kota yang karakteristik pembangunannya serumpun dengan kota semisal New York dan Singapura.

Dengan hak-hak demokrasi, sebenarnya sah saja jika ada yang tidak bersepakat atas apa yang terlanjur menjadi opini publik seperti yang telah dipaparkan di atas. Tapi saat ini sangat disayangkan, di mana jika ada yang bertentangan atas sebuah opini publik yang terlanjur besar, khususnya sektor pembangunan malah dicap sebagai “kaum katro”. Menurut saya, keadaan tersebut malah menghasilkan pembangunan yang cenderung membosankan, karena dimatikannya suara kritis “kaum katro” oleh opini publik yang terlanjur besar yang diciptakan oleh orang yang menganggap dirinya sebagai “kaum urban”.

Seperti yang kita ketahui, pembangunan harus mengedepankan aspek keadilan, baik bersifat adil untuk saat ini maupun adil untuk masa mendatang. Untuk kasus tersebut, kita harus menelaah lebih dalam akan implementasinya. Karena pada kenyatannya, jika ada yang menolak, mengritik, bahkan dirugikan dalam sebuah pembangunan, justru ia malah diserang secara ad hominem dengan dalih tidak siap menerima perkembangan dan kemajuan zaman.

Balik Mengulas Dosa, Kota, dan Kenangan

“Gajah di pelupuk mata tak tampak, tapi semut di sebrang lautan tampak”

Sejatinya tulisan ini dibuat untuk menghindari tabiat dari pepatah tersebut, karena kebetulan saya adalah pemuda asli perbatasan Depok dan Jakarta, dengan perpaduan antara administratif yang berdomisili di Jakarta serta kehidupan sosial yang cenderung lebih banyak terjadi di Depok Raya. Dengan berbekal pengalaman serta keresahan pribadi, saya coba menarasikan apa yang telah berubah dan yang saat ini sedang terjadi menjadi tiga bagian, dan mungkin ini adalah definisi lain yang saya yakini dari lagu Silampukau yang berjudul Dosa, Kota, dan Kenangan.

Sebelum masuk ke tiga bagian tersebut, saya akan menyajikan penalaran pribadi berbentuk visual atas apa yang di korbankan dan apa yang dihasilkan pasca pembangunan masif hunian vertikal berdasarkan data yang didapat dari beberapa sumber.

Ilustrasi dampak yang terjadi atas pembangunan masif hunian vertikal di kota Depok. (Sumber: Ilustrasi Pribadi)

Pada bagian pertama ini, saya akan menarasikan kekhawatiran atas dampak dari pembangunan masif hunian vertikal serta menjamurnya properti “ampas” terhadap lingkungan yang merupakan tempat saya hidup dan dibesarkan. Ilustrasi di atas tentu sangat jelas menunjukkan bahwa setiap gedung/unit apartemen yang dibangun akan mengorbankan sebagian lahan, baik lahan persawahan, maupun pemukiman. Padahal, peruntukan awal Kota Depok adalah untuk menciptakan daerah resapan serta penyediaan jasa pertanian dan agroindustri, yang dibarengi oleh jasa perdagangan dan hunian yang ditujukan untuk menunjang perkembangan kota Jakarta.

Faktanya, bukan pertanian yang tumbuh subur ataupun agroindustri yang berkembang, melainkan yang dipanen hanyalah ratusan bahkan ribuan unit properti baru setiap tahunnya. Mungkin itulah yang menyebabkan pertumbuhan penduduk di Depok meningkat pesat, dan lucunya kejadian peningkatan jumlah penduduk ini dianggap pemerintah setempat sebagai masalah terkini, karena dampak dari peningkatan penduduk ini disinyalir akan mendatangkan permasalahan sosial baru seperti sampah sampai pengangguran.

Hmmm… sangat tidak berkaca pada hukum kausalitas, bukan?

Untuk saat ini, dampak yang paling terasa parah adalah kemacetan, dan semua harus tahu bahwa Kota Depok memiliki “prestasi” baru yakni menduduki posisi ke-5 sebagai kota termacet di Indonesia menurut data Direktorat BTPS Perhubungan Darat. Dengan kondisi seperti ini, tidak heran jika beberapa tahun ke depan Depok mungkin akan mendapatkan “prestasi” baru semisal banjir hingga peningkatan polusi udara.

Lantas ketika hal itu terjadi, apakah kita masih menganggap itu adalah ujian dari Tuhan? Hehehe…

Di bagian kedua, saya akan membahas keadaan sosial yang terjadi akibat pembangunan yang bagi saya terlalu cepat di kota ini. Jika ditinjau secara kasat mata, mungkin yang terlihat berubah hanyalah bentuk fisik. Namun lebih jauh dari itu, saya yang bisa dibilang sebagai akamsi (penduduk asli setempat yang masih bertahan) merasakan banyak perubahan sosial yang terjadi begitu cepat, dimulai dari hal sederhana semisal tempat yang sewaktu saya kecil bisa dikunjungi secara cuma-cuma berubah menjadi lokasi segmented yang hanya bisa diakses oleh sebagian orang saja.

Kasus yang menurut saya sangat memprihatinkan adalah sebagian penduduk asli yang harus dihadapkan dengan pilihan tetap tinggal dengan segala keterbatasan atau menjual lahan yang dimiliki lalu pergi mencari peruntungan baru untuk melanjutkan kehidupan. Hal sederhana namun ironis yang saya rasakan dari fenomena ini adalah hilangnya beberapa teman yang pergi entah ke mana rimbanya, lalu digantikan oleh orang baru yang mendiami kamar betumpuk berbentuk gedung yang penghuninya tak pernah saya kenal serta tak jarang mereka datang hanya dengan status “sewa” tanpa tahu rangkaian peristiwa yang telah terjadi di baliknya.

Apakah ini yang dinamakan persaingan kota? Lalu, apakah saya beserta keluarga akan menjadi korban selanjutnya?

Pembangunan apartemen dan gedung perkantoran di bilangan margonda kota Depok. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Masuk ke bagian terakhir yakni bagian ketiga, adalah secuil harapan untuk yang “dititipkan kekuasaan oleh yang Maha Kuasa” agar lebih berhati-hati dalam “menata”, serta lebih teliti menyikapi dampak yang akan dan telah terjadi di baliknya. Alih-alih ingin memperindah kota secara kasat mata, jangan sampai menistakan akar rumput kehidupan sebelumnya dengan segala rangkaian pembangunan yang terjadi begitu cepat, begitu masif, begitu ambisius.

Lalu pertanyaanya, apakah pembangunan di Depok sudah tepat sasaran? Atau jangan-jangan hanya tepat pasaran.

Daftar Pustaka

Arifianto, Bambang (2017). Tinggal 113 Hektare, Sawah di Depok Banyak Dikuasai Perusahaan Properti. http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2017/10/04/tinggal-113-hektare-sawah-di-depok-banyak-dikuasai-perusahaan-properti-410862 (Tanggal akses 25 Desember 2017).

Hamdi, Imam (2017). Setahun Terakhir, Penduduk Depok Bertambah 47 Ribu. https://metro.tempo.co/read/839185/setahun-terakhir-penduduk-depok-bertambah-47-ribu (Tanggal akses 25 Desember 2017).

Handayani, Meida (2017). Buffer Zone di Depok Berkurang, Walikota Ajak Kelola

Situ. www.depoknews.id/buffer-zone-di-depok-berkurang-walikota-ajak-warga-kelola-situ/ (Tanggal akses 25 Desember 2017).

Laksono, Eko (2013). Metropolis Universalis. Jakarta : Gramedia.

M. Irsyam, Tri Wahyuning (2017). Berkembang dalam Bayang-bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950–1990an. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hal. 143.

Republik Indonesia. 1976. Intruksi Presiden No 13 Tentang Pengembangan Wilayah

Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (JABOTABEK). https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/InPres_13_1976.pdf (Tanggal akses 20 Desember 2017).

Yuwanto, Endro (2016). Apartemen di Depok Belum Tepat Sasaran. http://www.republika.co.id/berita/koran/urbana/16/03/17/o46h4820-apartemen-di-depok-belum-tepat-sasaran (Tanggal akses 25 Desember 2017).

--

--