Liputan / Warga

Diskusir #16: Cericau Label Hijau

Ekolabel dan Tabir Kesadaran Lingkungan

Jaladri
Kolektif Agora

--

Dari kiri ke kanan: Gio (Sanggare), Tya (Sustaination), Dinda (Agora). Foto oleh Ismar Ramadhan, 2019.

Pada hari Minggu, 28 Juli 2019, Kolektif Agora mendiskusikan hal-hal yang luput dari pelabelan ramah lingkungan. Diskusir #16 kembali diadakan di MUSAT dengan tajuk “Cericau Label Hijau”. Bersama Dwi Sasetyaningtyas, pendiri Sustaination dan pebisnis produk-produk ramah lingkungan, serta Giovanny Dessy Austriningrum, peneliti isu lingkungan dan pelaku di koperasi karya Sanggaré yang mengusung keberlanjutan dan kesetaraan, kami membahas label ramah lingkungan yang akhir-akhir ini semakin ramai diperbincangkan. Beriringan dengan hal tersebut, semakin banyak pula sektor bisnis yang mengampanyekan dirinya sebagai produk berkelanjutan yang pada kenyataannya (sering kali) tidak sepenuhnya demikian.

Pada awal diskusi, Adinda Angelica yang mewakili Kolektif Agora sebagai moderator bertanya pada peserta apakah ada yang membawa sedotan stainless steel, botol tumbler, atau totebag. Hampir semua peserta diskusi membawa setidaknya satu di antara ketiga benda tersebut. Ternyata, banyak orang yang sudah terbiasa membawa produk berlabel “ramah lingkungan” di kesehariannya. Tapi, apakah itu benar ramah lingkungan?

Dedel Tabir Ekolabel

Pergeseran pilihan konsumen memperlihatkan sebenarnya banyak orang yang ingin membantu lingkungan. Ceruk pasar yang terbuka akibat bergesernya pilihan konsumen ke produk reusable tentu saja menggiurkan. Sayangnya banyak yang berjualan produk berlabel ramah lingkungan hanya demi keuntungan tanpa diawali edukasi. Ini sama bahayanya dengan menggunakan produk sekali pakai. Untuk menghindari hal ini, Sustaination mengajak orang untuk memakai dulu apa yang telah dimiliki. Jika dirasa perlu, boleh membeli membeli baru.

Before You Buy oleh Sustaination

Lalu, bagaimana cara membedakan mana perusahaan yang hanya mengikuti tren dengan yang benar peduli dengan lingkungan? Untuk mengetahuinya, kita bisa melihat rekam jejak perusahaannya. Kalau tadinya perusahaan yang dimaksud memiliki dampak buruk selama bertahun-tahun, lalu tiba-tiba menjual produk berlabel “green”, bisa jadi itu hanya gimmick marketing. Seperti misalnya waralaba makanan cepat saji yang menjual sedotan stainless steel, padahal mereka tetap berjualan seperti biasa menggunakan paper cup dan wadah makanan sekali pakai lainnya.

Konsumen sering dibebani kerusakan lingkungan karena pilihan berbelanja mereka. Padahal, sebenarnya produsen yang melanggengkan status quo dan tidak mau mengurangi keuntungannya. Contohnya, perusahaan menjual produk saset sementara masyarakat kelas bawah hanya mampu membeli produk tersebut, tapi mereka malah disalahkan sebagai yang paling banyak memproduksi sampah. Contoh lain adalah ketika supermarket kita tidak berhenti menyediakan plastik, namun plastik itu tetap terproduksi — kita tidak membeli plastik yang tersedia pun, plastik itu sudah ada. Saat kita sudah sepenuhnya beralih ke produk berkelanjutan pun kita hanya mencegah kerusakan masa depan.

Tapi, siapa yang mengurusi produk yang sudah merusak masa kini?

Obral Obrol Soal Lingkungan

Gio menjelaskan soal sistem ekonomi ekstraktivisme. Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Di sesi selanjutnya, Gio menjelaskan tentang sistem ekonomi ekstraktivisme yang sangat mementingkan produksi. Kita sering mendengar “a little effort goes a long way” tapi ternyata ini tidak bisa digunakan untuk menghadapi kerusakan lingkungan. IPCC melalui laporannya memperingatkan bahwa hanya ada 12 tahun tersisa untuk mencegah bencana iklim ekstrem karena pemanasan global. Perlu strategi yang tepat pada waktu yang terbatas ini. Jika pola konsumsi kita masih tetap seperti sekarang, bencana iklim global tidak akan bisa dihindari.

Sayangnya, gerakan lingkungan sering dilihat sebagai gerakan apolitis dan individual. Padahal, seperti gerakan lainnya, gerakan lingkungan seharusnya bisa berserikat, karena secara individu kita tidak bisa menghadapi korporasi besar dan negara sekaligus. Banyak juga gelombang protes yang datang dari orang-orang yang terdampak secara langsung seperti misalnya petani dan warga adat lokal, yang kalau dibiarkan akan sampai pada diri kita sendiri. Lalu, sebagai seorang individu dan warga, bagaimana kita harus bersikap?

Sesi tanya jawab. Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Di sesi diskusi, salah satu peserta bernama Annisa yang bergelut di bisnis pengolahan bahan bangunan dari limbah batu bara, menanyakan apakah utilizing waste itu berkelanjutan? Tyas (Sustaination) menjawab bahwa ini mirip seperti dilema incinerator. Ada banyak jenis utilizing waste, sehingga pertanyaannya yang seperti apa dulu? Incinerator sampah organik yang diolah menjadi biogas itu lebih irit tenaga daripada incinerator sampah campuran. Selain itu, incinerator juga memiliki efek samping karena memiliki kebutuhan sampah sebagai bahan bakar, sehingga pada jangka panjang menjadi tidak berkelanjutan karena orang menjadi nyaman untuk memproduksi sampah terus menerus.

Selanjutnya, peserta lain bernama Alfi bertanya bagaimana dengan CSR yang didanai perusahaan yang sebenarnya memiliki dampak buruk terhadap lingkungan? Gio melihat CSR perusahaan yang memiliki emisi karbon berlebih tapi tetap ber-business as usual hanyalah sarana “cuci dosa”.

Misalnya, salah satu produk air kemasan mengumumkan penggunaan kemasan botol yang berasal dari 100% hasil daur ulang, yang sebetulnya pada sisi lain juga turut menjadi penyebab utama krisis air bersih di beberapa daerah. Beberapa produk plastik yang pernah mengampanyekan dirinya sebagai plastik biodegradable pun pada kenyataannya tidak sepenuhnya dapat terurai secara alami di tanah. Juga terdapat beberapa industri fesyen yang menggunakan label keberlanjutan, tetapi tetap secara konsisten memberikan sugesti kepada masyarakat agar membeli produk pakaian baru tiap musim. Perilaku bisnis ini dikenal dengan istilah greenwashing.

WALHI memiliki alat penilaian agar tidak menerima donor dari perusahaan seperti itu. Kita tidak boleh menormalisasi sarana cuci dosa seperti itu dan terus meminta pertanggungjawaban perusahaan atas kerusakan lingkungan yang mereka lakukan. Maraknya greenwashing dan penyematan ekolabel menjebak kita dalam pusaran konsumerisme gaya anyar bertajuk “eco”, “green”, atau “sustainable” yang berkemungkinan besar menjadi gratifikasi instan bagi warga untuk merasa telah berperan dalam penyelamatan lingkungan.

Peserta lain yang ikut bertanya. Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Mae, salah seorang peserta lain, berbagi mengenai pengalamannya mengolah dari apa yang dia punya. Dia merasa lebih nyaman saat berpindah ke gaya hidup minim sampah ini. Tapi, sayangnya, saat ia mencoba untuk berbelanja, ia terpaksa membeli produk dengan kemasan karena bulk store masih sedikit jumlahnya di Indonesia, terbatas di kota-kota besar, dan harganya relatif mahal.

Tyas menjelaskan bahwa salah satu miskonsepsi yang terjadi adalah zero waste itu mahal. Kalau dengan gaya hidup zero waste malah jadi mahal, berarti kita melakukan zero waste dengan salah. Zero waste is come back to culture, maka bulk store terbaik adalah pasar tradisional. Jika di zaman nenek kita belanja pakai tas rotan, beli makan pakai rantang, ya kembalilah kita ke sana.

Label Baru untuk Masa Depan

Produk reusable, seperti istilahnya, dirancang untuk digunakan berkali-kali. Kalau hanya digunakan sekali atau dua kali, justru berdampak lebih buruk dari sedotan biasa. Misalnya, untuk memproduksi satu sedotan stainless yang berasal dari bahan tambang, perlu energi yang lebih banyak dari produksi satu sedotan plastik. Produk alternatif plastik yang kita miliki perlu digunakan ratusan bahkan ribuan kali untuk menjadikan kebermanfaatannya melebihi dampak lingkungan hasil produksinya.

Narasi enviromental justice jarang dibicarakan di tataran politis, karena penyokong dana politik adalah orang-orang yang memiliki dampak lingkungan terbesar di negara ini. Saat kejadian pemerintah diminta untuk membuka siapa saja pemegang HGU, pemerintah tidak mau karena nanti masyarakat luas dapat mengetahui siapa saja yang memiliki kuasa atas ekonomi ekstraktif di Indonesia.

Diskusir kali ini sedikit membuka kesadaran bahwa perubahan iklim adalah dampak dari krisis global yang mengakar pada permasalahan sistem ekonomi dan kerusakan lingkungan. Kita perlu menyadari bahwa persoalan lingkungan tidak berhenti di sampah, tetapi juga berakar dari permasalahan sosial dan politik yang terjadi. Isu lingkungan yang tumpang tindih ini memerlukan keterlibatan berbagai sektor untuk terus mendorong pemerintah dan memaksa perusahaan-perusahaan besar bertanggungjawab pada kerusakan lingkungan yang mereka lakukan.

Serangkaian fenomena ini menjadi sebuah momentum yang tepat untuk membicarakan lebih lanjut mengenai isu lingkungan yang sebenarnya. Kita perlu membangun refleksi pada tataran individu mengenai tindakan taktis yang dapat diupayakan demi menjaga lingkungan untuk tetap lestari. Kita harus melihat persoalan dari hulu ke hilir sehingga gerakan lingkungan tidak berhenti di membeli sedotan besi saja.

--

--