Liputan / (Pra)Sarana

Diskusir #17: Khayal Material

Menguak Asa Di Balik Bahan Bangunan Alternatif

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

--

Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Pada Senin (21/10) sore, Kolektif Agora kembali menyelenggarakan acara Diskusir ke-17. Bersama Anisa Azizah, co-founder Tech Prom Lab dan Fauziyyah Sofiyah, pegiat ASF-BDG, kami berusaha menggali lebih dalam mengenai penggunaan materi alternatif pada pengadaan papan saat ini.

Material Alternatif Sebagai Inovasi

Diskusir dibuka oleh moderator kami, Jaladri, dengan perkenalan pemantik dan beberapa pertanyaan pembuka mengenai material alternatif. Anisa menjelaskan mengenai Tech Prom Lab sebagai perusahaan riset. Oleh karena itu, permasalahan yang juga diceritakan olehnya merupakan permasalahan “memasyarakatkan riset”.

Foto oleh Sangkara Nararya, 2019.

Namun, kita semua mungkin setuju jika inovasi terjadi ketika hasil riset mendapat tempat di dalam pasar. Dalam konteks inovasi material, hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Tantangan-tantangan yang dihadapi pada pengembangan materi alternatif menurut Anisa adalah investasi, ketidakpastian teknologi, dan ketidakpastian pasar.

Pengembangan inovasi material, ketika dibandingkan dengan inovasi digital, tidaklah menarik bagi investor. Pasalnya, pengembangan inovasi material memakan jauh lebih banyak waktu (lima sampai lima belas tahun) ketika dibandingkan dengan pengembangan inovasi digital yang hanya memakan waktu paling lama dua tahun. Hal ini juga tentunya berpengaruh kepada ongkos penelitian yang sangat tinggi.

Semua kesulitan ini kemudian tidak diiringi dengan kemudahan komersialisasi, yang mana membuat investasi untuk pengembangan inovasi material sulit untuk didapatkan dan pengembangannya pun kian terhambat.

Materi Alternatif Sebagai Upaya Pemberdayaan

Selanjutnya, Fauziyyah menjelaskan bahwa bahan bangunan alternatif adalah salah satu upaya dalam membuat arsitektur lebih terjangkau untuk semua — karena memberikan ruang hidup yang memadai dan bermartabat adalah dasar bagi setiap manusia dan komunitasnya.

Seperti yang kita tahu, global warming kian mengancam masa depan kita, dan salah satu yang memainkan peran besar pada terjadinya hal tersebut adalah pembangunan dan konstruksi. Penggunaan material yang saat ini sedang mainstream bukan sesuatu yang juga dapat disalahkan, karena memang material ini lebih mudah diakses dan secara umum membuat proses pembangunan menjadi lebih efisien.

Namun, penggunaan material seperti itu pun bukan tanpa celah. Menurut Fauziyyah, mungkin kita perlu untuk kembali melihat kembali kearifan lokal tentang material untuk bisa menggunakan ide yang telah diberikan oleh leluhur kita. Mengakali dari mulai peraturan ruang hingga keterbatasan sumber daya, material alternatif kemudian dapat memberikan kesempatan eksplorasi desain.

Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Fauziyyah memberikan beberapa contoh penggunaan material alternatif seperti bambu yang menjadi bahan andalan ASF dalam proyek-proyeknya. Pembangunan PAUD Nur Hikmat, Tasikmalaya, menjadi salah satu contoh penggunaan bambu untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan. Hal ini didukung pula dari letak PAUD yang dekat dengan banyaknya pepohonan bambu.

Tidak diregulasi dengan baik, material alternatif juga menjadi sebuah celah dalam pembangunan dengan berbagai keterbatasan. Fauziyyah memberikan contoh pembangunan Balai Bambu Mawar di Kampung Pakucen, Yogyakarta. Karena keterbatasan lahan dan dana, warga memutuskan menggunakan material bambu sebagai solusinya. Dengan menggunakan material bambu, maka bangunan dapat dikategorikan sebagai bangunan nonpermanen sehingga pembangunan yang berada di atas sungai pun tidak menjadi masalah.

Selain merupakan sebuah upaya dalam melakukan pembangunan yang lebih terjangkau, material alternatif juga memberikan beberapa kelebihan. Fauziyyah kembali mengangkat bambu sebagai contoh. Material ini ternyata juga mampu memberikan ketahanan terhadap bangunan dari gempa.

Namun, hal ini menjadi masalah karena material alternatif masih dianggap asing dan rumit bagi masyarakat umum. Oleh karena itu, upaya untuk menyebarkan material alternatif adalah juga dengan melibatkan masyarakat dalam konstruksinya.

Material Alternatif dan Pengarusutamaan

Kemudian, menjadi sebuah pertanyaan yang mendasar, apakah sebenarnya bahan bangunan alternatif akan tetap selamanya menjadi alternatif, ketika hal tersebut menjadi lebih mainstream? Tidakkah akan terjadi masalah-masalah baru dari pengarusutamaannya?

Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Anisa menyatakan bahwa, material alternatif merupakan jawaban dari permasalahan saat ini. Ketika menjadi mainstream, memang mungkin terdapat permasalahan baru yang diciptakan oleh yang dahulunya alternatif.

“Alternatif” mungkin bisa dilihat sebagai sebuah fase ketimbang label yang diberikan kepada bahan bangunan yang dianggap baru dan belum lazim untuk digunakan. Memberikan jawaban akan permasalahan saat ini belum tentu membuat kita bebas dari permasalahan di masa depan.

“Keberlanjutan” dalam industri material mungkin kemudian menjadi jargon yang sangat subjektif. Menurut Zaki, salah satu peserta diskusi, bahan bangunan yang sustainable telah bergeser pemahamannya dari yang sebelumnya menjadi kuat tak tergoyahkan menjadi sebuah materi yang mudah di daur ulang, namun tetap cukup kuat dalam jangka waktu tertentu. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, seberapa adaptifkah bahan alternatif yang ditawarkan dalam memenuhi kebutuhan dari keberlanjutan yang juga bergeser mazhabnya?

Andrea dari ASF-BDG juga mengatakan bahwa terdapat peran pemerintah yang tidak dapat kita abaikan di dalam membicarakan material alternatif. Banyak sumber daya alam yang tidak dapat diolah karena statusnya yang dilindungi. Sedangkan, mereka membutuhkan materi untuk kebutuhan papan mereka. Sehingga, permasalahan tentang ruang produksi lebih relevan untuk dibahas secara hukum ketimbang dari sisi SDA.

Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

Permasalahan yang sama juga diceritakan oleh Anisa. Pore Block yang merupakan produk dari perusahannya, merupakan material beton yang berpori dan dapat meloloskan air. Namun, kelebihan ini menjadi sebuah masalah pada pengadaan standar. Standar Nasional Indonesia (SNI) saat ini tidak mengakomodasi material beton berpori, karena salah satu penilaian dalam material beton adalah tidak meloloskan air.

Dalam pengembangan material alternatif, yang menjadi sebuah kekhasan untuk tetap menjadi sustainable adalah: lokasi, sumber daya manusia, serta alat yang digunakan. Bahan bangunan yang berkelanjutan mungkin akan bisa bertahan ketika terjadi difusi teknologi. Mungkin, secara bisnis, hal ini tidak akan sustainable, tapi secara riset terdapat banyak hal yang kemudian harus diselesaikan.

Karena, material alternatif mungkin merupakan masa depan kita semua, bukan?

Foto oleh Dinda Primazeira, 2019.

--

--

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

Mainly interested in the city and the choices people make in it