Liputan / Warga

Diskusir #21: Alun-Alun Kota Mati

Merayakan Tiga Tahun Berkelimun

Jaladri
Kolektif Agora

--

Satu-satunya foto bersama Agora dan Nekropolis, diambil di M-Bloc, Jakarta, sebelum pemberlakuan PSBB. Foto oleh Alvaryan Maulana, 2020.

Membuat judul Diskusir selalu menjadi hal yang menyenangkan. Dalam kesempatan ini, kombinasi nama dari dua entitas yang terlibat sudah lebih dari cukup untuk membentuk tajuk yang apik.

Jika cukup peka memperhatikan aktivitas Kolektif Agora, mungkin kamu sudah familiar dengan “sahabat jauh” kami, Nekropolis. Selain sama-sama membahas isu perkotaan, sama-sama aktif di media sosial, dan sama-sama mempublikasikan artikel di Medium, kami juga sama perihal usia. Tahun ini, Kolektif Agora dan Nekropolis sama-sama menginjakkan kaki di usia tiga tahun.

Setelah cukup lama diwacanakan, akhirnya Kolektif Agora dan Nekropolis sempat jua mewujudkan refleksi diri yang tertunda sejak lama.⁠ Selama tiga tahun bergeliat sebagai kolektif, banyak hal yang kami alami dan bisa kami bagikan. Diskusir kali ini menjadi check point yang memeriksa bagaimana kami berproses.

Meski lahir dari keresahan yang (mungkin) sama, kami berjalan dengan cara dan strategi yang berbeda. Tantangan, peluang, hingga kondisi internal kolektif masing-masing, menjelma menjadi ujud dan wujud yang nampak pada hari ini.

Kamar Bersalin

Kolektif Agora sempat lahir di bulan April 2017 dengan nama lain. Sempat kosong dari aktivitas selama beberapa lama, lalu kembali hadir pada bulan Oktober di tahun yang sama. Nayaka Angger memaparkan bagaimana nama “Agora” terbentuk dari inspirasi alun-alun Yunani kuno. NR Indriansyah kemudian mengusulkan menambah kata “kolektif” agar bisa lebih spesifik di mesin pencarian dan tidak tertukar dengan komunitas bernama Agora lainnya.

“Nekropolis” adalah istilah untuk kuburan besar atau secara harfiah berarti kota mati. Inisiatif untuk membuat ruang baru lahir karena ada banyak sudut pandang yang tidak didapatkan di kampus. Nekropolis merasa bahwa kota mereka hanya diisi oleh segerombolan orang-orang yang sudah “mati”, karenanya diambillah nama tersebut.

Awal yang gelap tidak lagi menjadi soal. Rasa-rasanya, justru muncul kehidupan baru di Nekropolis. Banyak pertemuan dan ide mulai berkembang dalam kolektif ini. Nekropolis bukan lagi kota mati, tetapi ruang di mana hal-hal baru bisa lahir dan tumbuh.

Kolektif Agora memiliki perasaan yang senada dengan Nekropolis. Dulu, diskusi-diskusi Kolektif Agora banyak digawangi oleh para mahasiswa perencanaan kota. Ketika masih mahasiswa, Agora merasa bahwa keilmuan ini sangat luas. Semakin banyak pertemuan dan diskusi dengan banyak orang, semakin disadari ternyata ilmu-ilmu yang diajarkan di kampus mudah sekali kedaluwarsa.

Kutipan dari Jane Jacobs yang dulu gemar sekali digunakan oleh Kolektif Agora, sekarang rasanya tidak lagi relevan. Kami di Kolektif Agora menjadi lebih mawas pada peran masing-masing untuk memproduksi sesuatu. Tidak semua orang bisa hadir setiap waktu, dan semuanya pun relatif pada situasi dan kondisinya masing-masing.

Kolektif Agora percaya bahwa setiap risalah akan menemukan pembacanya. Pada awal perjalanan, pembaca dan peminat diskusi kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa. Sepanjang perjalanan, meski audiens Agora meluas, warga kota (kawan-kawan yang menjadi audiens Kolektif Agora) yang hadir sejak awal, ikut bertumbuh bersama-sama Kolektif Agora. Dari awalnya mereka yang mahasiswa, sampai sekarang mereka menjadi pekerja, pola pikir dan perspektifnya pun ikut berubah.

Jadi, kalau bicara siapa kawan yang dicari, Agora tidak pernah mencari. Agora hanya menyajikan risalah dan orang-orang datang dengan sendirinya.

Mengintip Dapur Kami

Kolektif Agora berawal dari ruang diskusi. Awalnya diskusi itu didokumentasikan dalam tulisan, baru kemudian dipercantik di Instagram. Namun, kemudian bentuk-bentuk itu berubah. Kadang tulisan dulu baru Diskusir, kadang bikin infografis dulu baru tulisan, dan lain sebagainya.

Jika awalnya “isi” dulu yang dibuatkan “bentuk”-nya, seperti ide yang kemudian didiskusikan, sekarang bentuk-bentuk baru bermunculan sebelum isinya ada. Jika dulu belum tahu isinya mau ditaruh di gelas mana, kini justru banyak gelas yang bisa Agora isi.

Agora biasanya memulai urun ide dengan rapat redaksi. Di sini, terjadi sesi curah pendapat. Kalau dibuat alur berpikirnya, bisa tergambarkan melalui bagan di bawah ini.

Bagan dibuat oleg tim Satuan Kerja Riset Kolektif Agora, 2018.

Prinsip Agora adalah kolaboratif fardu kifayah; “Kita akan ngerjain, kalau belum ada yang ngerjain.” Agora tidak akan berusaha mencaplok peran-peran yang sudah terisi. Jadi, jika ditanya apakah ingin menjadi besar seperti entitas ini atau itu, Agora tidak ada rencana untuk melakukan hal-hal yang sudah dilakukan orang lain.

Muncul pertanyaan dari peserta: apakah dari Agora membuka peluang untuk bentuk advokasi (masyarakat) secara langsung? Jawaban pendeknya: tidak. Tetapi, secara garis besar, Agora berperan untuk hal itu meski tidak turun secara langsung. Agora sengaja menarik garis-garis batas yang dilakukan atas beberapa pertimbangan yang spesifik pada kondisinya masing-masing.

Mengambil gaya yang berbeda, untuk menjaga kultur berorganisasi, Nekropolis bukan hanya tidak memiliki struktur yang hierarkis, tetapi juga tidak punya role yang pasti. Karena ketidakterbatasan peran ini, Nekropolis menjadi sangat eksploratif dalam memilih peran, membuat dinamikanya menjadi manis dan tidak membosankan.

Ada waktu-waktu di mana Nekropolis berkumpul. Ada obrolan per bulan dan setiap tiga bulan. Nekropolis tidak terbiasa memiliki rencana jangka menengah atau panjang seperti enam bulanan atau satu tahunan, meski ada saja obrolan-obrolan kecil atau kesepakatan-kesepakatan kecil yang muncul dari kegiatan rutin bulanan itu.

Sementara itu, selain ada dorongan internal, ada dorongan eksternal juga. Jadi kalau ada yang suka mendorong-dorong Nekropolis untuk membuat sesuatu, dorongan itu bekerja.

Nekropolis sendiri memiliki kebutuhan internal untuk menampilkan hal-hal yang tidak populer agar mendapatkan exposure yang layak. Misalnya, soal segregasi. Sebenarnya, banyak pihak lain yang membahas topik tersebut lebih mendalam. Tetapi, Nekropolis merasa cukup penting untuk orang-orang ngeh secara kolektif pada hal-hal yang kerap luput itu. Rasanya puas ketika kemudian banyak yang membagikan pengetahuan Nekropolis yang sebenarnya trivial tadi.

Di sisi lain, Nekropolis menemukan dalam “aktivisme” kota ini, ada orang-orang yang mendapuk dirinya sebagai aktivis. Nekropolis melihat bahwa praktik-praktik seperti ini justru menjadi gatekeeping yang membuat orang-orang yang merasa awam sungkan untuk hadir.

Padahal, banyak sekali akumulasi pengetahuan yang Nekropolis dapat dari orang-orang “awam” itu. Nekropolis selalu mengusahakan bagaimana membuat pengetahuan soal perkotaan dapat diakses oleh orang-orang yang awam seperti kami. Banyak narasi-narasi alternatif yang sebenarnya penting untuk didengar. Saking pentingnya, Nekropolis seringkali mempertanyakan, apa perlu narasi alternatif seperti ini dijadikan arus utama.

Bercengkrama di Ruang Tamu

Banyak pertanyaan yang datang dari tamu-tamu yang hadir di ruang virtual kali ini, salah satunya perihal regenerasi. Nekropolis dan Kolektif Agora bukanlah organisasi mahasiswa yang harus diregenerasi setiap tahun. Anggota kami tetap ada dan berlipat ganda. Meski ada ketakutan-ketakutan tersendiri pada kemunduran organisasi karena kepergian seseorang, ruang-ruang di sini adalah ruang bertumbuh semua orang.

Di Kolektif Agora, semua orang bisa mengendapkan wawasannya di tempatnya masing-masing di luar kolektif. Setelah itu, dipersilakan kembali lagi membawa hasil fermentasi pengetahuannya ke dalam kolektif.

Kalau ditanya “kerja” di Kolektif Agora itu full time atau part time, berkolektif di Agora bukanlah kegiatan part time atau full time, tetapi lifetime. Kamu boleh pergi kapan saja, kamu juga boleh hadir selamanya. Kalau mau vakum dulu karena lagi tugas akhir misalnya, tidak apa-apa, nanti ke sini lagi kalau sudah luang.

Jika ditanya apa yang ingin dicapai, Kolektif Agora sebagai platform mungkin melihat terlebih dahulu hal-hal yang bisa dihitung secara statistik seperti jumlah pembaca, pengguna yang berdiskusi di kolom komentar Instagram, jumlah peserta diskusir, dan lain sebagainya. Tetapi, Angger secara pribadi merasa ajakan kolaborasi oleh orang lain merupakan suatu pencapaian yang menyenangkan. Ketika diajak kolaborasi, Agora merasa bahwa kami dianggap ada sebagai aktor yang memiliki peran di ruang ini.

Husna bersepakat dengan Angger. Dampak terpantiknya orang-orang untuk melakukan sesuatu karena isu atau bentuk yang Nekropolis buat, itu sudah jadi reward untuk Nekropolis. Walau seringnya tidak terpetakan dengan baik, apalagi hingga terasa resiprokal, aksi-aksi yang muncul secara organik ini sangatlah menyenangkan.

Nekropolis dan Kolektif Agora pun berharap kami tidak hanya sekadar ada, tetapi menjadi.

Kerumunan kami di ruang virtual Diskusir #21, 2020.

Diskusir #21 hadir atas bantuan platform dari Kotakita.org (lagi). Terima kasih banyak!

--

--