LIPUTAN / WARGA

Diskusir #22: Di Sini Senang, Sana Timpang

Kerentanan HAM dalam Relasi Urban-Rural

Seruni Fauzia Lestari
Kolektif Agora

--

Pemaparan tentang contoh kerentanan HAM di daerah non-perkotaan oleh pemantik Diskusir #22, Usman Hamid. Foto dari tangkapan layar siaran Youtube, 2021.

Kolektif Agora kembali menyelenggarakan Diskusir secara daring pada hari Jumat, 6 Februari 2021. Diskusir berjudul “Di Sini Senang, Sana Timpang” ini mengangkat topik mengenai relasi urban-rural dan kerentanan hak asasi manusia (HAM).

Untuk menilik lebih dalam bahasan ini kami mengundang Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia yang membahas ketimpangan dan eksploitasi dalam relasi urban-rural, kasus pelanggaran HAM akibat proses pembangunan, dan bagaimana advokasi pelanggaran HAM dapat mengameliorasi ketimpangan pembangunan.

Sebagai pembuka, Usman menegaskan bahwa ketimpangan tak mengenal demarkasi kota dan rural karena ketimpangan dapat kita temukan di mana-mana, bahkan di kota. Usman mengajak sekaligus mempertanyakan apakah kita, sebagai warga kota, dapat merebut kembali hak kita atas kota (rights to the city), sebagaimana dikemukakan oleh David Harvey.

Sudut Pandang Mereka dan Kita: Orientasi tentang Pembangunan

Indonesia, di bawah Presiden Jokowi, diarahkan untuk mewujudkan visi Indonesia 2045, yakni menjadi negara maju dengan ekonomi kelima terbesar di dunia. Pada implementasinya, demokrasi, supremasi hukum, HAM dan keadilan sosial dikesampingkan untuk mengejar pembangunan dan target-target ekonomi. Lantas, sebetulnya pembangunan itu apa? Dan, yang juga tak kalah penting, untuk siapakah pembangunan itu?

Di Indonesia, dari Aceh hingga Blok Wabu, pembangunan infrastruktur kerap dijadikan ikon pembangunan. Hanya saja, jika ditilik lebih dalam, Harvey mengungkapkan bahwa pembangunan gedung-gedung pencakar langit di kota-kota besar itu membawa surplus bagi para pemilik gedung tersebut, tidak untuk warga kotanya. Terlebih lagi, surplus tersebut tidak dapat berhenti karena justru akan membawa kehancuran, dan agar surplus itu berkelanjutan, kapital akan terus memerlukan ruang.

Yang terjadi adalah politik perebutan kapital dan besarnya pendapatan yang dapat dihasilkan dari ekstraksi tersebutlah yang menggerakkan perekonomian makro: siapa yang memiliki kuasa dan kapital dalam suatu ruang tertentu dan mampu membangkitkan produksi serta menghasilkan pendapatan, maka dia yang akan membawa pembangunan untuk wilayah tersebut. Alih-alih melihat dampak dan manfaat yang diterima oleh masyarakat maupun daya dukung lingkungan akibat proses produksi tersebut, kuasa dan kapital dalam dimensi finansial menjadi tolak ukur pembangunan.

Ketika bicara terkait pembangunan, salah satu konsekuensi persepsi yang muncul adalah terkait ketertinggalan. Hanya saja, sebagai suatu ideal, pembangunan dan ketertinggalan bisa diartikan berbeda oleh satu orang dan yang lain, dari satu daerah ke daerah lain. Ketika masyarakat sudah merasa berkecukupan dengan hidup beriringan dengan alam, percepatan pengadaan lahan untuk pengembangan industri sawit, penambangan mineral, proyek infrastruktur strategis dan lain sebagainya malah gencar dilakukan atas nama pembangunan.

Apa tujuannya? Terdapat banyak jargon yang digunakan. Katanya, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk mewujudkan nasionalisme sumber daya, atau memenuhi kebutuhan pasar global. Apapun namanya, berkaca pada ekstraksi yang terjadi di Sierra Leone, El Salvador, Papua, serta Kalimantan, tanpa adanya unsur keadilan sosial yang mengupayakan manfaat dan kebutuhan kolektif, kuasa ekstraksi para pemilik kapital akan senantiasa mendominasi dan mengarahkan “pembangunan” kepada segelintir elemen saja.

Bagaimana persepsi pembangunan (dan ketertinggalan) ini bisa muncul? Dalam konteks spasial, kerap kali proses pembangunan menghisap sumber daya yang ada di daerah rural tanpa adanya partisipasi, konsultasi, maupun perlindungan warga setempat. Usman mengatakan bahwa hal ini terjadi karena wilayah dipandang secara terra incognita, yakni sebagai aset yang tidak dimiliki oleh siapapun dan dapat digunakan untuk produksi dan mendapatkan profit, tanpa melihat bahwa ada manusia yang hidup secara kolektif dan beriringan dengan alam.

Orientasi pembangunan wilayah yang ekstraktif ini tak luput dari militerisasi dalam pengamanan kapital. Mengingat kembali zaman Orde Baru yang developmentalis, militer pada era tersebut berperan sebagai alat pembangunan dan bukan berpihak pada perlindungan rakyat.

Alhasil, ketimpangan tersebut berungsur menjadi penyingkiran terpaksa yang mengatasnamakan pembangunan. Kriminalisasi bagi yang melawan pun kerap terjadi dan banyak diantaranya berujung tragis, termasuk kasus Budi Pego, Salim Kancil, Murdani, dan Golfrid Siregar.

Sesi diskusi diwarnai dengan membahas pembangunan dari beragam konteks, yakni konteks pembangunan di wilayah pertambangan, kawasan Ibu Kota Negara, daerah rural dan kota, Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, hingga daerah ekspansi kelapa sawit dan pembangunan food estate.

Bagaimana pun pembangunan tersebut dimanifestasikan di Indonesia, paradigma yang muncul tetap serupa: obsesi pada geografi kapital, bukan geografi manusia. Kota, sebagaimana ditekankan oleh Usman, menjadi lokus untuk menimbun kapital, bukan untuk memupuk kehidupan.

Pemaparan tentang realitas kota hari ini. Foto dari tangkapan layar siaran Youtube, 2021.

Ketimpangan Di Sini dan Di Sana

Sebagai dampak dari paradigma pembangunan yang semakin berorientasi pada target-target ekonomi dan kapital, kian hari, kehidupan warga kota kian terdampak oleh adanya pembangunan dan urbanisasi. Kasus di Tamansari, Bandung, menurut Usman, menjadi cerminan betapa warga kota setempat tergusur atas nama pembangunan, seperti halnya terjadi di berbagai kota di Indonesia.

Meski demikian, kerentanan tersebut muncul tidak hanya bagi warga kota, tapi juga warga di kawasan perdesaan. Dengan demikian, dapat dikatakan ketimpangan terjadi di kota dan di daerah rural. Usman menegaskan bahwa walau di “sini” (kota) senang, di “sini” pun timpang, seperti halnya di “sana” terjadi ketimpangan.

Ketimpangan di perkotaan dikupas dengan melihat dari pengalaman pribadi Usman di Jakarta. Kilas balik ke Februari 2020, Usman menjadi pengurus lingkungan di daerah rumahnya untuk menata lahan kosong, mencegah banjir, dan mengupayakan penurunan volume pengeras suara masjid. Menurutnya, orientasi pembangunan di Jakarta yang lahannya sudah lama dikuasai pengembang, ditambah dengan keterbatasan sumber daya di tingkat lokal pemerintahan, menghadirkan pengalaman yang unik.

Segregasi masyarakat kian terjadi dengan maraknya pembangunan komplek-komplek perumahan elit yang mencap daerah sekitarnya sebagai kawasan dengan kerawanan yang lebih tinggi. Terlebih lagi, bias kelas menengah dihadapkan pada realita polarisasi identitas politik yang masih kental dan kerap dipermainkan.

Dalam pengalamannya menurunkan volume pengeras suara masjid, Usman menemukan ketimpangan yang ada di sekitar tempat ia tinggal. Polarisasi identitas politik mewarnai ketimpangan tersebut dan turut memperkeruh marginalisasi warga, seperti yang juga terjadi pada kasus Meiliana di Sumatera Utara. Tapi, pada akhirnya, jalan keluar dapat ditemukan melalui komunikasi yang baik.

Sebagai cuplikan kecil dari kompleksitas pembangunan di Jakarta, pengalaman-pengalaman Usman mengerucut pada kesimpulan bahwa hak atas kota dan kota itu sendiri adalah untuk warga. Akan tetapi, seringkali, hak tersebut justru luput diperjuangkan.

Bahkan, menggerakkan birokrasi kota juga tidak mudah, bahkan cenderung hanya yang punya kuasa atas kotalah yang bisa melakukan hal tersebut. Karena, dalam pengalamannya, membawa perubahan penataan ruang di kota memerlukan koneksi baik di tingkat RT/RW hingga gubernur. Ini juga membutuhkan keberanian untuk menyatakan bahwa kita sebagai kolektif warga memiliki hak atas kota.

Ruang kota dalam hal ini memiliki nilai tidak hanya sebatas kekayaan kapital, tapi nilai lingkungan sebagai resapan air, juga memiliki nilai sosial untuk mempertemukan identitas kebudayaan yang beragam yang dapat menjadi bekal generasi masa depan melawan fenomena ketimpangan ekonomi maupun politik identitas. Partisipasi warga menjadi pendorong untuk menggerakan ruang kota, bukan politik kuasa oligarki.

Alhasil, kota sebagai suatu ideal kehidupan dan bermasyarakat pun tidak luput dari ketegangan, marginalisasi, dan displacement terhadap masyarakat sekitar. Marginalisasi tersebut, salah satunya, diakibatkan harga pajak rumah yang semakin tinggi maupun karena militerisasi lahan, sebagaimana yang terjadi di kawasan pertambangan, daerah kelapa sawit, ataupun kawasan pariwisata.

Konflik antarmasyarakat kerap berkedok, atau seperti ucapan Usman menjadi strategi “smokescreen”, isu agama dan etnis, sebagai dampak oligarki yang membangkitkan ketegangan sosial di kalangan masyarakat yang alih-alih untuk memperebutkan kapital di kota.

Komodifikasi Ruang dan Pelanggaran HAM: Apa yang Bisa Dilakukan?

Dalam esainya, The Right to the City, Harvey menjelaskan kota-kota di dunia banyak dikuasai oleh pihak swasta dan kuasi swasta sebagaimana dicontohkan dengan kota New York, yang didorong oleh wisatawan yang menjadikan kota sebagai situs investasi sekaligus tujuan wisata, bukan warga yang hidup di sana, apalagi warga yang terampas hidupnya.

Usman menegaskan bahwa ini berarti kapital cenderung ditimbun, tapi di dalamnya tidak dipupuk oleh kehidupan. Terlebih lagi, menurut Usman, adanya fenomena tersebut menunjukkan bahwa, walau hak atas kota merupakan suatu hak dasar, tapi hal tersebut juga adalah yang paling sering diabaikan.

Habermas membayangkan bahwa ruang politik perkotaan harus diperluas. Pada kenyataanya perluasan ruang politik kota tersebut masih untuk kalangan kelas menengah. Usman mengajak untuk mempertimbangkan gagasan Harvey akan memperjuangkan hak atas kota, yakni pentingnya memperluas kesempatan politik warga kota kepada kaum marjinal, sehingga warga yang tinggal di pinggir sungai dekat tempat ia tinggal juga mampu menjadi subjek pembangunan kota.

Dalam pelaksanaannya, pembangunan perlu penegakkan AMDAL, good corporate governance, serta unsur demokrasi dan pengentasan korupsi. Namun, sayangnya, orientasi pembangunan yang capital-intensive di Indonesia justru menganggap hal-hal tersebut menjadi penghambat pembangunan, bahkan cenderung diobral sesuai permintaan penguasa kapital.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Diskusi lain yang sempat muncul adalah resep untuk menjaga keseimbangan penetrasi kapital secara ekonomi, sosial, dan lingkungan serta bagaimana membuat kota menjadi tempat yang terjangkau dan tetap menyediakan layanan bagi masyarakat. Hal ini dibutuhkan untuk memulai perubahan paradigma pembangunan, yang menurut Usman, dapat dimulai dari memperhatikan dan merawat usaha-usaha mikro.

Menurut Usman, sebagaimana terjadi di Kerala, India dan Bali, pembangunan hendaknya tumbuh berdasar kebutuhan layanan masyarakat, bukan logika arus kapital. Masyarakat, bersama dengan kalangan akademisi, menjadi pendorong untuk menciptakan ruang hidup yang setara, bersih, dan memberikan kesempatan politik bagi masyarakat yang termarginalkan. Konsultasi publik yang bermakna menjadi cara penting yang perlu dijaga oleh seluruh elemen masyarakat dalam mewujudkan pembangunan bersama.

Dari segi fisik dan geografis, integrasi regional antara daerah perkotaan dan daerah rural maupun kota-kota satelit dibutuhkan untuk menghindari reproduksi ketimpangan dalam konteks kewilayahan yang lebih luas. Marco Kusumawijaya pun turut meramaikan sesi diskusi dengan mengungkapkan konsep medium-rise buildings untuk pembangunan agar dapat lebih merata di kalangan warga kota.

Penutup

Hak atas kota diimajinasikan tidak hanya sebagai gambaran tentang kota tapi mencakup lebih dalam ke relasi sosial, relasi dengan alam, gaya hidup, teknologi, dan nilai estetika yang hendak dipegang bersama. Hak kolektif atas kota menjadi dasar untuk membentuk orientasi pembangunan yang setara, partisipatif, dan bermakna bagi semua.

Sehingga, ruang di kota maupun daerah rural sekitarnya tak lagi hanya menjadi tempat reproduksi kapital dan permainan oligarki, tapi menjadi sarana kehidupan bagi masyarakat, dengan masyarakat tersebut sebagai subjek politik utama dalam pembangunan. Dengan demikian, Usman menutup Diskusir kali ini dengan ajakan untuk kita dapat merebut kembali hak warga atas kota dengan cara-cara yang sederhana.

Terima kasih untuk semua yang sudah turut meramaikan! Sampai jumpa di Diskusir berikutnya!

Beberapa peserta yang ikut meramaikan Diskusir #22. Foto dari tangkapan layar siaran Youtube, 2021.

--

--

Seruni Fauzia Lestari
Kolektif Agora

Not sure if I’m interested in politics or just conspiracy theories and drama.