Fitur

E-waste: Mutakhir Lekas Berakhir

Laju Teknologi dan Ihwal Limbah Elektronik

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

--

Foto oleh Sangkara Nararya (Bandung, 2018)

Inovasi produk elektronik memuaskan banyak kebutuhan, termasuk keinginan orang untuk tetap terhubung di seluruh dunia. Bayangkan semua yang dapat dilakukan sekarang dengan teknologi saat ini. Mungkin, hanya imajinasi kita batasannya. Teknologi pun perlahan menjadi sebuah kebutuhan daripada sebuah kemewahan.

Perkembangan teknologi yang begitu cepat saat ini membuat kita optimis, namun juga perlu sedikit waspada. Pasalnya, perkembangan teknologi yang begitu cepat membuat kebutuhan kita akan teknologi yang baru muncul dengan cepat pula.

Untuk membayangkan seberapa cepat pertumbuhan teknologi ini, pernahkah Anda melakukan riset sebelum membeli gawai baru? Apabila Anda pernah merasakan kebingungan dalam memutuskan, hal ini bukan dikarenakan Anda kurang memiliki informasi atau kelewat gaptek saja. Hal ini lebih dikarenakan terdapat begitu banyak jenis gawai yang ditawarkan, untuk setiap keinginan yang dapat anda bayangkan, dan untuk setiap budget yang Anda sisihkan.

Teknologi membuat semuanya lebih baik. What could go wrong, anyway?

Ganti Baru, Anti Jemu

Ketika produk baru terus diperkenalkan ke pasar, konsumen mengganti produk elektronik yang sudah ada. Tak jarang, ketika benda itu pun rusak, ongkos memperbaikinya lebih mahal ketimbang membeli yang baru. Hal ini menjadikan sampah elektronik sebagai jenis sampah yang tumbuh paling cepat (Heacock et al, 2016), yang kemudian berdampak pada pencemaran lingkungan.

Let me explain.

Ketika Anda mengganti gawai lama Anda dengan yang baru, benda itu mungkin akan diam di lemari Anda, atau mungkin dijual, bahkan mungkin dibuang. Apapun yang Anda lakukan dengan barang tersebut, Anda sebagai konsumen terakhir, tidak menginginkannya lagi. Resmi sudah kita dapat menyebutnya sebagai sampah, tepatnya sampah elektronik, atau selanjutnya kita sebut sebagai e-waste.

Berbeda dengan jenis sampah lainnya, e-waste memiliki karakteristik yang unik. Sekarang, mari kita bersama berhitung: berapa banyak gawai yang tidak terpakai, menumpuk, dan berdebu di lemari? Ya, Anda telah berhasil menyimpan sampah elektronik di kamar Anda! Anda dan sampah elektronik, tidak seperti dengan sampah lainnya, memiliki sebuah ikatan emosional yang membuat Anda mungkin tidak tega membuangnya.

Di sisi lain, e-waste memiliki karakteristik yang khusus ketika menyangkut masalah penggunaan kembali. Mungkin kita dapat dengan mudah mengalihgunakan botol plastik menjadi tempat pensil. Namun, bagaimana dengan ponsel? Anda pasti akan mendapat cap jenius untuk dapat menggunakannya kembali dalam bentuk yang lain. Penggunaan kembali ini tidak hanya sulit, namun membutuhkan pengetahuan khusus untuk melakukannya.

Namun, apakah e-waste hanya terbatas pada gawai lama saja? Seperti yang dilansir The Verge pada artikelnya, pengertian konvesional kita terhadap e-waste kadang terlalu terbatas. Menurut artikel tersebut, definisi termudah dari e-waste adalah setiap produk yang Anda buang yang masih berfungsi, terhubung ke steker, dan memiliki baterai. Ini juga termasuk perangkat yang menghasilkan listrik, seperti panel surya.

Asal Disimpan, Semua Aman?

Secara global, diperkirakan e-waste yang dihasilkan umat manusia mencapai 41,8 juta ton pada tahun 2014 saja, dan diprediksi akan meningkat menjadi 65,4 juta ton pada tahun 2017 (Heacock et al, 2016). Untuk memberikan gambaran, dalam satu tahun, kita menghasilkan e-waste lebih berat dari 20 ekor paus biru — binatang terbesar di muka bumi!

Kebanyakan e-waste adalah material berharga seperti besi, aluminium, tembaga, emas, perak, dan rare earth material lainnya. Keberadaan material ini membuat e-waste terlalu berharga dan terlalu berbahaya untuk dibuang ke tempat pembuangan sampah begitu saja. Dibutuhkan sebuah usaha dalam memproses e-waste sebelum dapat — secara aman — dikembalikan ke alam.

Di sisi lain, usaha untuk mendaur ulang produk-produk elektronik juga masih jauh dari kata sempurna. Saat ini, produk elektronik belum dirancang secara efisien supaya bahan-bahan berharga ini dipisahkan. Hanya sekitar 15% limbah elektronik global berhasil sepenuhnya didaur ulang (Heacock et al, 2016).

Jika sejauh ini anda masih merasa baik-baik saja, izinkan saya menampilkan foto ini.

Pengolahan E-waste di Cina yang dilakukan secara manual. Sumber: https://www.dw.com/image/42495791_303.jpg

Permasalahan e-waste tidak berada pada kita yang menggunakannya, namun pada mereka yang menjadi tempat pembuangannya. Karena produsen sudah lepas tangan terhadap produk dan juga sampahnya, maka upaya daur ulang dilakukan secara mandiri di berbagai tempat. Juga, karena kandungannya yang berbahaya bagi lingkungan dan teknikalitas dalam pengolahannya, e-waste memerlukan keahlian tersendiri dalam pengolahannya, yang mana metode pembuangan landfill tidak pernah menjadi pilihan yang baik.

Teknologi pengolahan ini tidaklah murah untuk disediakan pada skala kota atau wilayah, sehingga seringkali mengekspor bentuk sampah ini ke negara dengan regulasi yang lebih longgar menjadi jauh lebih murah. Kebanyakan e-waste yang di ekspor ini berakhir di India, Cina, dan negara- negara berkembang di Afrika. Negara-negara ini pun menerima e-waste untuk kemampuannya menghasilkan emas, tidak lebih.

Di Indonesia, atau setidaknya di Bandung, saya tidak dapat menemukan suatu institusi yang bertugas untuk mengolah limbah elektronik. Yang ada adalah mereka yang seperti ini:

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018.

Pengolahan di tempat-tempat ini lebih berfokus pada bagaimana mengeluarkan emas dari sampah, daripada membuatnya lebih tidak berbahaya bagi lingkungan. Upaya ini seringkali sangat jauh dari kata aman bagi pelakunya. Tidak hanya itu, karena material yang dicari hanya emas, material berbahaya lainnya yang masih berada di dalam massa e-waste tertinggal tanpa diolah.

Hal ini diperparah dengan penggantian gawai lama yang kita lakukan hanya karena kerusakan yang begitu kecil, seperti koneksi speaker yang lepas sehingga tidak menghasilkan suara. Hal ini sebenarnya dapat dengan mudah kita perbaiki. Namun, kita — konsumen — seringkali tidak dapat memperbaikinya sendiri karena ketidaktahuan kita, atau karena produsen secara sengaja membuat perbaikan mandiri tidak dimungkinkan. Hal ini membuat arus e-waste semakin deras dari mereka (benda-benda) yang sebenarnya tidak terlalu bermasalah, namun sudah dipensiunkan kemudian digantikan dengan yang baru.

Mungkin video ini dapat menggambarkan dengan baik bahwa beberapa e-waste sesungguhnya belum sepenuhnya jadi sampah.

Singkat kata, e-waste memiliki karakteristik yang berbeda dengan sampah-sampah lainnya. Kita tidak dapat mendaur ulangnya dengan efisien, kita tidak dapat menggunakan barang elektronik tanpa memperbaharuinya di tengah kemajuan teknologi, dan kita juga kurang dapat menggunakan kembali barang elektronik untuk keperluan lain. Permasalahan e-waste ini berakar dari kebutuhan kita yang begitu besar akan teknologi, namun pengetahuan mengenai teknologi tersebut sangatlah terbatas. Hal ini membuat kita sebagai konsumen tidak hanya berperan dalam kerusakan lingkungan, namun juga tidak mengetahui bahwa kita telah berbuat kerusakan.

Ya, teknologi telah mempermudah hidup kita. Namun, hanya karena tidak berbau, kita juga tidak bisa terus menutup mata terhadap petakanya.

Catatan:

  1. Saat ini ekspor-impor e-waste telah diatur dalam Basel Convention
  2. Lebih lanjut tentang urban mining. Jika dilakukan dengan baik, sebenarnya urban mining bahkan lebih menguntungkan dibandingkan membuka tambang baru.
  3. Saat ini di Depok telah dikembangkan sistem pengolahan e-waste yang di prakarsai oleh seorang anak SD, Rafa Jafar.

Referensi:

  1. Heacock M, Kelly CB, Asante KA, Birnbaum LS, Bergman AL, Bruné MN, Buka I, Carpenter DO, Chen A, Huo X, Kamel M, Landrigan PJ, Magalini F, Diaz-Barriga F, Neira M, Omar M, Pascale A, Ruchirawat M, Sly L, Sly PD, Van den Berg M, Suk WA. 2016. E-waste and harm to vulnerable populations: a growing global problem. Environ Health Perspect 124:550–555; http://dx.doi.org/10.1289/ehp.1509699
  2. https://www.theverge.com/2018/4/23/17270960/electronic-waste-urban-mining-materials-recycling
  3. https://www.youtube.com/watch?v=chIAcjd2q6E&list=LL6r_N1gJSM5iElAt5Etx3Fg&index=4&t=0s
  4. https://www.omicsonline.org/open-access/a-review-of-urban-mining-in-the-past-present-and-future-2475-7675-1000127.php?aid=88737
  5. http://www.basel.int/Implementation/Ewaste/EwasteinAfrica/Overview/tabid/2546/Default.aspx
  6. https://news.detik.com/tokoh/d-3153619/rafa-jafar-langkah-kecil-siswa-smp-tumbuhkan-kesadaran-limbah-elektronik

Jumat, 3 Agustus 2018
Jagalah benda-benda
nyetrum #DibuangSayang

Nefertari Pramudhita
Penulis
Kolektif Agora

--

--

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

Mainly interested in the city and the choices people make in it