Eksistensialisme dan Sebuah Gang, Apa Jadinya?

Melukis Ruang dengan Kebebasan di Kampung Kreatif Dago Pojok

Nadia Gissma K.
Kolektif Agora
5 min readApr 24, 2018

--

Foto oleh Sangkara Nararya, 2018.

Paham eksistensialisme yang dibawa oleh Sartre merupakan paham yang menempatkan manusia sebagai titik pusat dari segala relasi kemanusiaan. Kemenungan rasionalitas Descartes yang menegaskan “cogito ergo sum” — saya berpikir maka saya ada — dibalik secara ekstrem dengan pernyataan “saya ada, maka saya berpikir”. Sehingga, paham ini kemudian lebih menekankan perhatian kepada subjek dibandingkan objek.

Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does.” — Jean Paul Sartre

Tidak ada makhluk lain yang bereksistensi selain manusia. Paham yang mendahulukan eksistensi sebelum esensi ini mencoba mengungkapkan betapa benda-benda tidak memiliki makna tanpa keterlibatan manusia. Manusia tidak dipandang sebagai objek pada paham ini, sehingga mereka memiliki hak bagi dirinya sendiri untuk membentuk hakikatnya, menciptakan dan melakukan pemaknaan realitas. Melihat kutipan di atas, kebebasan menjadi tema yang penting dalam bangunan filsafat ini.

Mencoba merenungi eksistensialisme lebih jauh, saya tertarik untuk mengaitkan paham ini terhadap proses penciptaan ruang. Bermula dari perkenalan saya pada suatu gang di Dago Pojok, Kota Bandung, tempat ini pernah memberikan kesan yang cukup unik bagi ingatan saya. Gang ini diberi identitas sebagai Kampung Kreatif Dago Pojok. Tempatnya tidak jauh dari pusat Kota Bandung, masih terasa ramai kota dari jalan besar yang menyambungkan kampung ini dengan pusat pergerakan.

Pemaknaan Eksistensialisme pada Sebuah Gang

Pertama kali saya mengunjungi tempat tersebut, imaji yang terbesit pada benak saya hanyalah deretan rumah yang dihias sehingga memiliki nilai estetika dan dapat dikomersialisasikan. Namun, setibanya di lokasi, saya mulai curiga dengan sambutan dinding-dinding yang tergores seni. Pada saat yang bersamaan, saya menyadari bahwa tempat ini lebih dari sebuah deretan rumah yang diberi sentuhan estetis. Tempat ini benar-benar memiliki jiwa di setiap dimensi ruangnya.

Pada dasarnya, tempat ini memiliki esensi “gang” seperti pada umumnya: sebuah permukiman yang dihuni oleh beberapa keluarga dengan bangunan rumah yang tak beraturan dan “masa bodoh” dengan standar jarak antar bangunan. Namun, ada karakter lain yang berhasil dilukiskan di setiap dimensi ruang di tempat ini, mulai dari sambutan lukisan di dinding, alih fungsi ruang menjadi sanggar hingga homestay, dan ornamen kreatif yang menghiasi jalan.

Rasa ingin tahu semakin mengalir dan kemudian menggiring saya pada Rahmat Jabaril yang akrab dipanggil Kang Rahmat, sang penggagas Kampung Kreatif Dago Pojok. Beliau menjelaskan kepada saya tentang apa itu kreativitas humanitas, sebuah konsep yang ia gagas saat hendak menginisiasi Kampung Kreatif Dago Pojok.

Foto oleh Sangkara Nararya, 2017.

Kreatif — yang bersinggungan dengan sebuah fantasi, imajinasi, invensi, dan estetika — merupakan sebuah kata yang melampirkan keindahan. Subjek kreatif di sini adalah manusia, baik oleh manusia primitif atau modern, yang muda atau yang tua, setiap manusia memiliki kemampuan untuk berbuat lebih dari kemungkinan yang rasional. Konsep ini menjawab keingintahuan saya terhadap apa yang telah terjadi pada tempat ini, suatu proses penciptaan ruang oleh warganya sendiri dan jika dikaitkan dengan paham eksistensialisme: manusia sebagai subjek kreatif yang dalam hal ini telah bereksistensi dengan melakukan suatu tindakan inventif terhadap imajinasi dan fantasinya.

Kampung Kreatif Dago Pojok mencoba membangun kiasan suatu tempat sebagai ranah eksplorasi kreatif terhadap bentuk kebebasan manusia dalam berpikir. Eksistensialisme adalah tentang bagaimana manusia dilihat bukan sebagai benda, sehingga keberadaannya harus diperhatikan dengan sadar.

Manusia yang bebas akan mampu menciptakan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya ke dalam pemukiman itu sendiri. Paham ini menggambarkan bagaimana kebebasan dan keterlibatan manusia telah berhasil memantik masyarakat untuk dapat mendefinisikan sendiri lingkungan seperti apa yang ingin mereka bangun. Hal ini dapat dilihat dari setiap kepala keluarga (KK) di sana yang memiliki peran berbeda-beda terhadap ruang yang telah disediakan. Ada KK yang lebih suka menerima tamu sehingga menyediakan fasilitas homestay, menyediakan kursi kecil sebagai ungkapan menerima diajak bicara, dan ada juga yang lebih memilih menutup pintu karena hanya ingin menjadi warga biasa.

Deskripsi lain dari kebebasan manusia dalam menciptakan dirinya adalah aktivitas mural di setiap sore. Setiap sore, biasanya pengurus Kampung Kreatif Dago Pojok mengajak anak-anak di sana untuk melakukan mural atau coret-coret di dinding yang telah disediakan. Anak-anak diajak untuk mengilustrasikan bagaimana kondisi gang yang ingin mereka ciptakan. Ilustrasi dari mural kemudian tersebut bisa menjadi inspirasi bagi pengembangan Kampung Kreatif Dago Pojok ke depannya.

Kegiatan-kegiatan berkreasi tersebut akhirnya menjadi budaya berekspresi dan menjadi sebuah proses iterasi dalam membangun eksistensi Kampung Kreatif Dago Pojok sebagai sebuah permukiman yang unik. Penciptaan yang dimulai dengan dimensi seni menarik ide dari dalam jiwa penduduknya khususnya anak-anak yang dirasa masih bebas dari belenggu kehidupan, sehingga kejujuran penyampaian ide masih jernih dan tidak terkontaminasi oleh pertimbangan-pertimbangan keruh.

Pemaknaan sebagai Solusi dari Kejenuhan Pembangunan

Foto oleh Sangkara Nararya, 2018.

Sejatinya, sebuah permukiman — atau yang dalam istilah ini adalah kampung — lahir tanpa alasan, hanya sebatas terbentuk secara geografis dengan fungsi yang sama. Kampung tercipta karena ada kebiasaan yang membentuk dan tidak beridentitas. Konsep Kampung Kreatif Dago Pojok adalah proses pemaknaan ruang yang dibangun dari masyarakatnya. Eksistensi dan keterlibatan manusia merupakan pandangan yang penting untuk pembangunan, baik secara utuh baik secara fisik maupun emosi. Sehingga, ruang bukan saja mengenai bentuk fisik, tetapi juga bentuk dari emosi dan perasaan yang dimiliki oleh masyarakatnya.

Perpaduan paham eksistensialisme terhadap penciptaan ruang mungkin bisa mengobati kejenuhan pembangunan yang teknokratis. Paham ini bisa menjadi refleksi bersama bagi para pemangku kepentingan untuk mengembalikan penciptaan ruang kepada penghuninya, bukan untuk kepentingan persaingan atau alat realisasi program.

Melalui kebebasan dan keterlibatan manusia, Kampung Kreatif Dago Pojok merupakan akumulasi dari pemaknaan setiap manusia yang tinggal di dalamnya, sehingga eksistensialisme dan sebuah gang dapat memberikan identitas terhadap proses penciptaan ruang.

Referensi :

Yunus, M. Y. (2011). Kebebasan Dalam Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Jurnal Al-Ulum Vol 11, №2, Banda Aceh.

--

--

Nadia Gissma K.
Kolektif Agora

an urban planning scholar who shifted herself into agrarian studies.