Ide / Warga

Ekspor Kultur & Lamunan yang Terlalu Jauh

Hasil Menekur Selepas Kelas Ekonomi Kultural

Adam Erland
Kolektif Agora

--

Foto oleh Joel Muniz di Unsplash, 2019.

Kira-kira setahun silam; mungkin pukul sepuluh atau sebelas malam.

Sedang ada festival kecil di sebuah kampung kota. Saya dan tiga orang kawan duduk-duduk di atas puing-puing sisa reruntuhan rumah warga, setengah mengabaikan diskusi di pusat acara karena sibuk dengan diskusi kami sendiri.

Entah pada awalnya kita membincangkan apa. Yang saya ingat, waktu itu Nayaka Angger melontarkan komentar soal orang Jepang yang piawai merangkum gagasan-gagasan filosofis hanya dalam satu kata, seperti Kaizen, Kintsugi, atau Ikigai.

Sontak, saya menanggapi: Eh, tapi, falsafah Jawa kan, banyak juga yang keren gitu, kayak Sangkan paraning dumadi atau Memayu hayuning bawana.”

“Iya, sih, tapi kan, itu gak satu kata,” jawabnya balik. Saya nyaris refleks membalas lagi, Ya, tapi kan, tetep keren.” — tetapi, saya rasa toh Mas Angger pasti lebih paham dari saya soal budaya Jawa, sehingga saya tak perlu meyakinkannya lagi soal itu.

Kalau orang lain, seringkali masih perlu diingatkan: Budaya Indonesia itu luar biasa kaya, gak kalah sama negara-negara maju.” — nasihat yang singkat, sederhana, bahkan klise; tapi, entah kenapa betul-betul amat sangat sulit sekali banget untuk ditanamkan.

Budi Daya Budaya

Kembali pada Negeri Sakura, walaupun saya belum pernah ke sana, tapi saya (dan kemungkinan besar, kamu) cukup familier dengan budayanya karena sering mengonsumsi produk kultural seperti manga atau anime.

Pola konsumsi ini membuka wawasan kita soal kebudayaan Jepang berikut falsafah, pepatah, dan istilah yang tercakup di dalamnya. Makanya, orang Indonesia malah lebih banyak yang tahu ungkapan-ungkapan seperti Ikigai ketimbang Sangkan paraning dumadi — selain, tentu saja, karena gramatikanya yang lugas dan mudah dilafalkan.

Belakangan, saya baru mempelajari kalau fenomena ini disebut ekspor kultur.

Lucu juga, pikir saya ketika mendengar bapak dosen menggunakan istilah tersebut. Kalau dipikir-pikir, memang betul: Budaya adalah hasil budi daya. Seperti buah tani atau olahan minyak bumi, kultur juga merupakan komoditas yang bisa diekspor-impor.

Barangkali, poin berikut ini penting untuk dipahami:

Ekspor kultur, layaknya semua proses lain, bukan sesuatu yang baik atau buruk — ia hanya bekerja sebagaimana adanya.

Karya sebagai Kendara

Bangsa Jepang adalah bangsa yang rajin berkarya, jadi tak heran karya-karya tersebut melayang ke mana-mana, sampai ke mata dan telinga bangsa lain, lalu menanamkan dirinya dalam benak-benak manusia di seantero bumi.

Hal yang sama berlaku untuk budaya barat, terutama Amerika, yang banyak terdepiksikan dalam film-film Hollywood atau serial Netflix. Begitu pula dengan budaya Korea yang sedang melesat karena menjamurnya K-Pop dan K-Drama.

Kanalnya bermacam rupa: Film, musik, game, buku — media apa pun itu yang senang kamu konsumsi sehari-hari.

Budaya Indonesia? Belum. Jelas-jelas belum, tetapi, mungkin kita cukup punya landasan untuk berharap lebih soal ini.

Perlu kita akui, industri kultural dan kreatif Indonesia sedang berkembang dengan menyenangkan. Banyak sineas, musisi, penulis, dan seniman-seniman baru terus bermunculan dengan karya-karya mereka — walaupun hanya segelintir di antara karya-karya tersebut yang sungguhan bagus.

Namun, sepertinya “segelintir” itu sedang bergerak menuju “banyak.” Sepertinya, ya. Saya tak punya data apa-apa selain observasi personal.

Sentralitas Kultur

Tapi, yah, begitu. Kamu pasti tahu sendiri negeri kita banyak masalah.

Ini dilema yang klasik di negara-negara berkembang: Boro-boro kultur, banyak sektor fundamental yang masih amburadul, terlihat dari ihwal seperti kesenjangan ekonomi atau kurangnya kualitas pendidikan.

Padahal, kalau kata Charles Landry, salah satu figur tersohor dalam kancah diskursus kota kreatif: Dalam konteks pengembangan kota, tak sepatutnya kita menempatkan budaya sebagai “marginal add-on” atau “unnecessary extra” (tambahan yang terpinggirkan atau tidak dibutuhkan).

Mungkin betul Indonesia punya banyak masalah mendasar yang perlu dituntaskan, tapi itu bukan justifikasi untuk mengesampingkan sektor budaya.

Kenapa? Sepenangkapan saya begini, dari kata-kata Landry:

Sektor budaya mungkin memang tidak fundamental, tapi ia sentral.

Kita dapat menyebutnya sentral, karena sektor budaya dipengaruhi dan memengaruhi semua sektor lainnya. Ketimbang disikapi sebagai sektor tersier atau “barang mewah,” sumber daya kultural punya manfaat jauh lebih kolosal jika dijadikan instrumen amelioratif untuk sektor-sektor lainnya yang kita anggap fundamental.

Pertimbangkan ini:

  • Ekonomi: Bioskop, konser, pameran seni. Industri kultural dan kreatif adalah kontributor handal untuk PDRB. Ini pasti kamu tahu.
  • Pendidikan: Produk kultural tak cuma berfungsi sebagai sarana hiburan. Selain buku, pasti kamu pernah menggunakan video atau siniar untuk belajar, kan?
  • Kesehatan: Mirip dengan sektor pendidikan. Berapa banyak informasi kesehatan yang sampai kepadamu lewat iklan layanan masyarakat di radio atau media sosial?

Itu cuma beberapa contoh yang seketika terlintas dalam kepala saya barusan. Kamu pasti tahu lebih banyak contoh-contoh lainnya yang lebih representatif.

Poin yang ingin saya sampaikan sesederhana ini:

Kalau memang negeri ini banyak masalah, daripada menggunakannya sebagai alasan untuk mengesampingkan sektor budaya, mendingan kita gunakan sektor budaya untuk mengobati masalah-masalah tersebut.

Salah satu contoh “pengobatan” favorit saya adalah creative placemaking, pendekatan revitalisasi urban yang memberdayakan sektor seni budaya melalui proses arts/culture-led regeneration:

Oh, ya. Kalau-kalau kamu bingung membedakan industri kultural dengan industri kreatif, itu wajar. Memang dua sektor ini bersilangan berat dan berkaitan erat. Saya pernah coba menjelaskan perbedaan keduanya dalam tulisan ini:

Pesan Penutup

Barangkali, kalau bicara budaya, perihal yang paling sering mengusik benak saya dapat dirangkum dalam dua pesan berikut:

  • Untuk produsen budaya: Para sineas, musisi, fotografer, penulis, semuanya. Terutama yang baru merintis.

Kalau soal kualitas, itu pasti — seniman mana pun pasti ingin menghasilkan karya yang bagus tanpa perlu disuruh-suruh.

Melebihi perihal kualitas, yang perlu senantiasa direnungkan adalah alasanmu berkarya: Ketimbang terpaku dengan “ekspresi” atau “validasi” — walaupun itu sah-sah saja — mendingan fokus bikin karya yang bermanfaat, gak sih?

Negeri ini sudah kebanyakan seniman yang cuma cari pengakuan, sensasi, atau popularitas. Saya ingin bilang “Jangan jadi seperti mereka.” — tapi saya tak punya hak mengatur-atur keputusanmu.

Lagi pula, saya rasa kamu sudah tahu mana yang baik.

  • Untuk konsumen budaya: Kamu, saya, dan semua orang — karena tidak ada manusia yang tidak mengonsumsi budaya.

Lebih sadar/mindful-lah dalam memilih produk untuk dikonsumsi, entah itu buku, musik, film, atau apa pun. Lagi-lagi, kalau soal kualitas sih gampang, tinggal cari ulasan dari situs-situs kurasi, atau minta rekomendasi dari teman yang seleranya bagus.

Selangkah lebih jauh, coba perluas referensi. Karya seni berkualitas tak terbatas pada film Hollywood atau drama Korea. Siapa yang tahu, setelah mencoba, mungkin kamu akan suka film Arab, novel Brazil, atau musik Uganda?

Yang paling penting: Kenali budayamu sendiri. Seperti saya bilang tadi, sebetulnya saya tak berhak mengatur-atur keputusanmu, tapi untuk satu nasihat yang ini saja, saya rela melanggar batasan itu dan menanggung risiko dihujat SJW — karena saya sungguh-sungguh merasa ini esensial.

Kalau kita bisa lebih bijak dalam menciptakan dan menggunakan budaya, barangkali, kelak Indonesia bisa jadi eksportir kultur global yang patut diperhitungkan.

Terlalu muluk? Entahlah.

Seperti biasa, lamunan saya kejauhan.

--

--

Adam Erland
Kolektif Agora

No longer writing on Medium. Read my essays for free on Substack: auslxnder.substack.com.