Ide / (Pra)Sarana

Evaluasi Pascahuni

Apakah desain selalu bekerja sesuai rencana? Bagaimana jika desain tidak bekerja seperti yang direncanakan perancang?

Jaladri
Kolektif Agora

--

Foto oleh Chintya Akemi Keirayuki di Unsplash, 2019.

Hunian adalah kebutuhan primer manusia. Hampir seluruh manusia, terutama yang tinggal di wilayah urban, beraktivitas di gedung dan menggunakannya setiap hari. Kita seringkali menerimanya begitu saja tanpa mempertanyakan kompleksitas yang terjadi pada setiap bangunan yang kita tinggali. Faktanya, bangunan memiliki banyak subsistem fisik seperti tapak, bentuk bangunan, langit-langit, dinding, jendela, lantai, pintu, fungsi layanan, kesesuaian, dan lain-lain. Hubungan dengan lingkungan eksternal (misalnya pencahayaan dan ventilasi) dan banyak dari proses pengaturannya tidak terlihat kasat mata. Dimensi waktu yang tak terlihat, contohnya, sama pentingnya dengan bentuk spasial yang terlihat, tetapi kurang diperhatikan. Bangunan juga merupakan campuran dari sistem fisik (hardware) dan perilaku (software).

Evaluasi pascahuni atau Post-Occupancy Evaluation (POE) mencoba menjawab kompleksitas tadi melalui dua pertanyaan besar. Bagaimana cara kerja bangunan? Apakah bangunan selalu bekerja sesuai dengan yang di awal dimaksudkan perancangnya?

Evaluasi pascahuni dicetuskan pada tahun 1970-an di Amerika Serikat untuk menggambarkan proses menilai bangunan yang digunakan dari sudut pandang penghuni bangunan yang berkaitan. Teknik ini merupakan pendekatan berbasis bukti (evidence-based approach)untuk melihat konsekuensi yang kemudian terjadi dari penerapan resep desain (yang di awal dimaksudkan). Teknik ini membantu kontrol kualitas agar kita belajar dari pengalaman untuk melihat apakah benar fungsinya terlaksanakan seperti desain yang di awal dimaksudkan? Adakah yang luput dari desain awal? Adakah yang terjadi yang tidak sesuai dengan maksud awal meski bangunan sudah diterapkan sesuai desain yang direncanakan?

Dari Mana Kita Mulai Evaluasi Pascahuni?

Karena salah satu tujuan utama evaluasi pascahuni adalah umpan balik (feedback), masuk akal untuk memulai dengan mengatur materi apa saja yang ingin digali, sehingga dapat digunakan dalam brief strategis. Dengan cara ini, target yang ditetapkan dalam brief dapat ditindaklanjuti dan akhirnya dievaluasi. Tahap ini juga menyediakan cara untuk menjaga brief tetap pada jalurnya dan mengelolanya di sepanjang proyek. Namun, hal ini juga tergantung pada akses ke proyek dengan pandangan ke depan untuk melakukan ini. Sayangnya, proses sebagian besar proyek tidak semulus itu, dan tim POE jarang memiliki input pada tahap pengarahan, sehingga peluang untuk pengelolaan loop umpan balik lebih sedikit.

Terdapat stereotip bahwa investor kerap menghindari risiko dan cenderung menghindari apa pun yang tidak sesuai dengan persepsi pasar tentang norma. Salah satu peran POE adalah memberikan informasi faktual untuk membantu mengatasi skeptisme tersebut, terutama melalui ide-ide baru. Tujuan bangunan bagi investor adalah untuk membantu menciptakan kekayaan tambahan melalui kinerja manusia yang lebih baik. Tetapi, kinerja manusia seringkali tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Ini berlaku terutama untuk dasar-dasar kenyamanan seperti kenyamanan termal, kontrol pribadi atas aktivitasnya, kegunaan, dan daya tanggap pengguna terhadap fungsi-fungsi gedung, yang dalam banyak studi POE, ditunjukkan berkaitan erat dengan kesehatan, kepuasan, dan produktivitas penggunanya.

Melihat Evaluasi Pascahuni Bekerja

Tugas utama evaluasi pascahuni adalah menilai atribut kinerja utama dari suatu bangunan berdasarkan konteksnya. Atribut-atribut ini (disebut “kualitas” di sini, tetapi mereka juga bisa disebut “nilai” — sepertinya tidak ada kata bahasa Inggris yang berfungsi dengan baik) tergantung pada apa yang sebenarnya ingin diketahui oleh klien yang membayar untuk POE. Dalam banyak POE, hanya dua atau tiga kualitas yang akan ditekankan, dengan yang lain kurang atau tidak sama sekali dipertimbangkan. Enam kualitas tersebut adalah:

  1. space, yakni atribut fisik dari ruang tertutup, ditambah kemampuan mereka untuk memenuhi persyaratan kinerja. Sebagai contoh, adalah mungkin untuk mengukur kepadatan penghuni, pemanfaatan ruang, dan efisiensi ruang jika diperlukan;
  2. operations, mencakup sebagian besar area yang relevan dengan manajemen fasilitas, termasuk pemeliharaan. Ini mencerminkan seberapa baik bangunan yang digunakan merespons kebutuhan dari waktu ke waktu;
  3. environment; yaitu lingkungan dari sudut pandang pengguna, misalnya kenyamanan termal sebagai salah satu korelasi utama dengan variabel kinerja manusia, seperti produktivitas yang dirasakan. Contoh lainnya adalah penerangan, kebisingan, dan ventilasi;
  4. users. Selain kuesioner, wawancara terstruktur, observasi, dan diskusi kelompok juga merupakan cara yang valid untuk mengumpulkan data pengguna yang bermanfaat, tetapi mereka mungkin kurang mampu menghadapi pengawasan terhadap objektivitas;
  5. image, yang termasuk:
    - estetika, gaya, branding;
    - penelusuran arah jalan dan signage;
    - pemetaan mental;
    - dan citra townscape;
  6. serta cost, meliputi:
    - biaya awal;
    - biaya ketika penggunaan;
    - dan value for money.

Evaluasi pascahuni sebagai bentuk evaluasi dengan pendekatan berbasis bukti (evidence-based approach) akan sangat membantu dalam:

  • membuat strategi peningkatan kualitas yang melibatkan penghuni dan
    manajemen daripada hanya berbasis data teknis atau teori fisik bangunan;
  • menangani kompleksitas sistem yang lebih luas (tidak hanya mengambil bangunan dan penghuninya, tetapi faktor terkait lainnya seperti budaya perusahaan atau kebiasaan commuting pekerjanya);
  • membuat pengambilan data pada bangunan yang ditempati menjadi lebih praktis (misalnya, manajemen gedung mungkin tidak mengizinkan untuk melakukan semua perbaikan yang desainer inginkan, atau manajemen mungkin tidak punya cukup waktu serta uang untuk melakukan evaluasi yang lebih detail).

Implikasi untuk Berbagai Jenis Pengguna

Dalam menetapkan aturan dasar untuk evaluasi pascahuni kita perlu mengenal konteks proyek dan kualitasnya. Peningkatan kualitas adalah tujuan utama, tetapi kualitas yang relevan dari suatu bangunan tergantung pada apa yang dinilai penting oleh pihak-pihak yang terlibat. Secara garis besar ada empat pihak yang terlibat, yakni perusahaan, pengguna awam, pengelola fasilitas, dan tim desain.

Masing-masing pihak tidak hanya memiliki tujuan yang berbeda, tapi mereka juga dapat memiliki asumsi yang bertentangan tentang perilaku, persyaratan, dan ketentuan yang ingin diterapkan. Sebagai contoh, klien korporat dapat berasumsi bahwa tim desain akan menyediakan gedung hemat energi, meskipun belum disebutkan secara eksplisit dalam brief. Tim desain, di sisi lain, dapat bekerja sama dengan brief tertulis dan mungkin tidak cukup memperhatikan efisiensi energi jika belum dijelaskan secara rinci.

Pengguna bangunan biasanya menganggap bahwa fungsionalitas bangunan dan kenyamanan adalah hal wajib yang “diberikan” sebagai fasilitas bangunan, dan dapat menjadi kecewa jika mereka tidak menemukannya dalam tempat mereka beraktivitas. Jika manajer perusahaan terlalu banyak menaikkan harapan penghuninya, dan bangunan yang sudah selesai tidak memenuhi harapan itu, maka ini juga dapat menjadi masalah kedepannya. Pengelolaan “asumsi dan harapan” adalah bagian penting dari proses ini, terutama pada bangunan yang menghabiskan banyak uang atau dirancang oleh arsitek terkenal.

Ketika evaluasi pascahuni mencoba untuk memahami kualitas selanjutnya dalam implementasi (ruang, biaya, operasi, dll), hal ini dapat memunculkan ide yang lebih baik tentang bagaimana menangani konteks di masa depan. Yang terpenting adalah gambaran yang lebih realistis tentang faktor-faktor risiko dan konsekuensinya. Misalnya, menemukan bahwa sesak udara (masalah kualitas konstruksi) memiliki efek besar pada kinerja lingkungan yang buruk, meskipun hampir tidak pernah dianggap demikian (sesak udara cenderung diabaikan).

Apa Kekurangan dari Evaluasi Pascahuni?

Evaluasi Pascahuni (POE) sebagai sarana evaluasi kerja bangunan belum diterima dengan baik dan pendanaannya masih sulit. Beberapa alasan di antaranya adalah:

  • program POE yang berkelanjutan lebih sulit dijalankan karena manajemen data kerap disepelekan, termasuk penentuan variabel dan metode evaluasi;
  • industri konstruksi tidak terorganisir dalam mengumpulkan informasi hasil evaluasi pascahuni. Selain itu, industri kerap belum mampu menemukan solusi dari temuan informasi yang sudah didapat.
  • klien tidak melihat mengapa mereka harus melakukan evaluasi pascahuni. Pemerintah juga tidak mewajibkan evaluasi pascahuni sebagai bagian dari kepentingan publik;
  • disiplin akademik tidak menganggap kinerja bangunan sebagai bidang minat yang populer. Masalah kinerja bangunan kerap disepelekan atau justru— sebaliknya— dianggap terlalu sulit;
  • POE bersifat interdisipliner, sehingga tidak cocok dengan jalur karier spesialis;
  • kebanyakan desainer dan pembangun langsung menuju ke pekerjaan berikutnya tanpa belajar dari pekerjaan yang baru saja mereka lakukan (ini juga terkait dengan tekanan waktu dan biaya);
  • dan hanya segelintir sekolah arsitektur (misal Victoria University of Wellington, Selandia Baru) yang memiliki kurikulum dalam bidang membangun kinerja bangunan.

Evaluasi pascahuni saat ini memiliki banyak advokat tetapi sedikit praktisi. Banyak orang yang merasa evaluasi pascahuni ini sangat penting, tetapi tidak ada yang secara fokus mengembangkan bidang ini. Bahkan praktik-praktik desain dan konstruksi yang paling maju sekalipun masih sulit untuk menerapkan evaluasi pascahuni.

ReferensiLeaman, Adrian. (2003). Post-Occupancy Evaluation. Gaia Research Sustainable Construction Continuing Professional Development (CPD) seminars. Also on Benchmarking Sustainable Building Performance, RIBA Publications.Maulden, Robert. (1983). Tectonics in Architecture. Massachusetts Institute of Technology.RIBA. (2016). Post Occupancy Evaluation and Building Performance Evaluation. Royal Institute of British Architects.University of Westminster. (2006). Guide to Post Occupancy Evaluation. HEFCE.

--

--