Ide / (Pra)Sarana

Akses Hunian Layak: Struktur yang Memiskinkan (Bagian 1)

Di sebuah sudut kota, sebuah keluarga tidur berdesak-desakan. Di sudut lainnya, banyak kamar yang tidak terpakai dan meja makan yang berdebu karena jarang digunakan. Perilaku manusia semakin beragam dan kompleks, masihkah kita harus bertumpu pada fungsi-fungsi ruangan “konvensional”?

Jaladri
Kolektif Agora

--

Sumber: commons.wikimedia.org, 2019.

Rumah adalah kebutuhan dasar manusia untuk bisa hidup layak. Setiap orang membutuhkan rumah untuk berlindung, beristirahat, merasa aman, dan menjalani kehidupan yang nyaman. Tapi tidak semua orang dapat memiliki rumah, bahkan akses ke perumahan. Rumah erat kaitannya dengan keadaan ekonomi keluarga/individu yang bersangkutan. Rumah yang berada di lokasi strategis, memiliki akses terhadap kebutuhan dasar seperti air, gas, dan listrik yang baik, seringkali berbanding lurus dengan harga beli atau sewanya. Semakin baik hunian, biasanya semakin mahal harganya.

Hunian yang baik memiliki kekuatan untuk mengubah nasib seseorang menjadi lebih baik. Lokasi tempat tinggal yang strategis dan peluang yang hadir di komunitas yang bertempat tinggal di sana, dapat memberdayakan orang-orang yang berada di dalamnya. Sayangnya, banyak orang yang tidak memahami kekuatan hunian ini.

Hunian berpengaruh besar pada seseorang seperti kebutuhan dasar lainnya. Misalnya adalah makanan. Dengan makanan apapun sebenarnya kita bisa hidup. Tetapi, semakin baik gizi pada makanan semakin baik pula kehidupan orang yang memakannya. Begitu pula dengan hunian, orang-orang yang terpaksa tinggal di lingkungan kumuh dengan komunitas yang berpenghasilan rendah, akan sulit untuk meningkatkan ekonomi di komunitasnya karena pertukaran kesejahteraan antar komunitasnya pun hanya antara orang-orang berpenghasilan rendah pula. Itu baru dari sisi ekonomi, belum mengenai pertukaran pengetahuan, lingkungan sehat yang tervaksinasi, akses komunitas pada makanan bergizi, dan masih banyak aspek lainnya.

Ketimpangan memisahkan dan menentukan masa depan banyak anak.

Hal ini memunculkan kesenjangan antar kelas ekonomi, karena orang dengan keadaan ekonomi yang sejahtera akan mampu untuk memiliki rumah di lingkungan yang baik. Komunitas orang-orang sejahtera yang berkumpul di satu tempat akan menghasilkan lingkungan hidup yang berkualitas baik. Karena berada di lingkungan hidup yang baik, maka orang-orang tersebut akan semakin meningkat kesejahteraanya.

Begitu pula sebaliknya, orang-orang yang tinggal di komunitas prasejahtera justru akan semakin berkurang kesejahteraannya karena minimnya potensi di lingkungan mereka tinggal. Maka jangan heran kalau kesenjangan sosial dari tahun ke tahun semakin meningkat. Lalu, apakah tidak ada cara untuk keluar dari lingkaran setan ini?

Rumah yang Terlalu Mahal dan Terlalu Boros

Rata-rata seorang individu di Amerika pada tahun 2011 memiliki ruang hidup di rumah mereka tiga kali lebih luas per orangnya dibandingkan pada tahun 1950. Artinya, tanpa ruang seluas sekarang pun sebenarnya suatu rumah sudah mampu untuk menjadi tempat tinggal yang layak. Pertanyaannya, apakah pola hidup kita sudah sedemikian berubah sehingga saat ini kita memerlukan ruang sedemikian luas? Membangun dan merawat ruang berlebih juga membutuhkan energi dan biaya, apakah tidak terlalu boros untuk memiliki ruang-ruang seluas itu?

MNN.com Infographic: Why We Need to Live with Less

Ukuran rumah Amerika yang membengkak memiliki dua sisi masalah. Di satu sisi, itu adalah indikator dari kesenjangan ekonomi yang semakin besar. Orang kaya menghamburkan lebih banyak uang untuk rumah-rumah kedua atau ketiga, sementara kelas menengah juga menuntut lebih banyak ruang untuk ruang keluarga dan media. Sementara itu, kaum miskin dijejalkan di dalam kawasan kampung kota atau didorong ke perumahan di suburban di pinggiran atau luar kota. Celakanya, pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang di seluruh dunia, membuat negara-negara lain mulai mengikuti pola pembangunan ala Amerika ini.

Di Jakarta, kepemilikan hunian pada tujuh tahun terakhir tidak pernah melebihi 60%, kontras dengan persentase nasional yang mencapai 82,58%. Hal ini dikarenakan harga hunian jauh lebih mahal dibanding pendapatan. Upah minimum regional Jakarta mencapai angka Rp3.355.750, sedangkan rumah termurah dapat ditemukan di area Jakarta Timur dan pinggiran Jakarta Barat seharga 350 juta rupiah. Penduduk Jakarta harus menyicil rumah selama 30 tahun dengan asumsi cicilan satu jutaan rupiah per bulan. Dapat dibayangkan bagaimana mahalnya harga rumah di Jakarta.

Tidak Butuh Banyak Ruang untuk Bahagia

“We spend 87% of our lives inside buildings. How they are designed really affects how we feel, how we behave. Design is not just a visual thing. It’s a thought process. It’s a skill. Ultimately, design is a tool to enhance our humanity.”
— Ilse Crawford

Desain adalah alat untuk memperkaya kemanusiaan. Perancang dan perencana memiliki kesempatan untuk memengaruhi perilaku manusia secara positif. Misalnya saja, melalui desain, perencana bisa mendorong seseorang untuk berolahraga. Menaiki tangga dapat meningkatkan kesehatan jantung dan perkembangan otot dan dapat membakar lebih banyak kalori daripada jogging. Membuat tangga yang menarik secara estetika bisa menjadi alasan seseorang untuk naik tangga ke lantai tiga daripada menggunakan lift.

Jika berbicara tentang rumah, orang-orang sering kali berpikir bahwa suatu rumah harus memiliki beranda, ruang tamu, dapur, ruang keluarga, kamar, kamar mandi, dan ruang makan. Tapi tim peneliti yang berafiliasi dengan University of California, Los Angeles, mempelajari bagaimana keluarga Amerika menghabiskan sebagian besar waktu mereka di dalam rumah. Hasilnya, sebagian besar ruangan terbuang sia-sia karena orang cenderung berkumpul di dapur dan ruang keluarga, sambil nyaris tidak menggunakan ruang makan dan teras. Berikut salah satu contoh yang representatif:

Diposting pada 3 Juni 2018 oleh legalallyociable.com

Tentu kebutuhan ruang tiap keluarga berbeda-beda, itulah kenapa kita butuh perancang sebelum membangun rumah. Tapi dari penelitian di atas kita bisa melihat bahwa selama ini ternyata banyak ruang mubazir yang tidak digunakan. Di sisi lain, desain rumah yang mubazir ini menghambur-hamburkan modal berharga yang kita miliki pada rumah dengan ruang-ruang yang tidak perlu dan rakus energi. Harga rumah jadi semakin mahal, padahal belum tentu kita manfaatkan seluruh ruangnya.

Industri konstruksi di abad ke-21 seringkali berfokus pada tiga hal; emisi karbon, keselamatan, dan profit. Semua elemen ini tentu saja penting dan tidak boleh dilewatkan. Tapi, jika kita terlalu fokus pada hal-hal tersebut, sangat mungkin untuk kita luput pada hal yang seharusnya menjadi inti dari desain: kegembiraan.

Kegembiraan adalah aspek yang sangat penting tetapi sering diabaikan dalam kehidupan kita. Arsitektur yang menggembirakan dapat meningkatkan kualitas tempat di mana kita hidup, bekerja, dan belajar secara signifikan. Dan yang paling penting, dapat secara drastis meningkatkan kualitas kesehatan fisik dan mental seseorang.

Lalu, seperti apakah desain yang bahagia?

--

--