IDE / HALUAN

Informalitas dan “Politik Jatah”

Memahami Dimensi Lain Informalitas Perkotaan

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora

--

Foto oleh The Ian di Unsplash, 2019.

Ketidakmerataan akses terhadap pelayanan dasar adalah salah satu isu utama dalam wacana perkotaan. Salah satu penyebab yang sering disebut adalah pseudo-urbanisasi: tidak sebandingnya penyediaan pelayanan dasar dibanding pertumbuhan jumlah penduduk di perkotaan.

Seperti mekanisme pasar, jumlah permintaan (penduduk) yang lebih banyak daripada kesediaan (pelayanan dasar) menyebabkan adanya persaingan yang mendorong peningkatan harga.

Saya berargumen bahwa adanya gap antara permintaan dan kebutuhan terhadap layanan dasar mendorong aspek informal di perkotaan. Dalam kesempatan ini, saya meninjau dua cara dalam memandang informalitas yang muncul akibat ketimpangan askes pelayanan dasar.

Pertama, dari sisi konsumen. Kelas masyarakat yang tidak mampu memenuhi harga pelayanan dasar yang naik karena persaingan, harus mencari alternatif lain dengan harga yang lebih murah di sektor informal. Saya akan ulang supaya premis ini dipahami: orang miskin lebih cenderung cari barang murah.

Kedua, permintaan terhadap layanan informal ini jumlahnya juga tidak bisa dikatakan sedikit. Penduduk miskin jumlahnya banyak sehingga permintaan naik. Pada titik ini, sektor informal tidak hanya menjadi tempat masyarakat ekonomi lemah mencari kebutuhannya, tapi sekaligus menjadi lapangan pekerjaan. Tidak heran jika kemudian kelompok masyarakat yang tidak terserap dalam sektor tenaga kerja yang formal mencoba peruntungan di sektor informal: karena permintaannya ada.

Permintaan dan penyediaan akses layanan yang informal ini membutuhkan sumber daya lain untuk dimanfaatkan. Perlu diingat bahwa sumber daya tersebut harus murah agar sesuai dengan daya beli, sehingga penyediaanya tidak mungkin untuk turut bersaing dalam pasar sumber daya yang formal. Cara untuk menyediakan sumber daya yang murah adalah dengan mengakses sumber daya secara ilegal.

Otoritas dan penegak hukum tentu tidak akan tinggal diam apabila ada ekstraksi ilegal terhadap sumber daya yang secara hukum harusnya menjadi objek regulasi. Di sisi lain, dibutuhkan kekuatan tertentu agar akses ilegal terhadap sumber daya tidak ditertibkan oleh otoritas dan penegak hukum.

Siapa yang memiliki impunitas tersebut? Sebuah penelitian mencoba mengungkapnya melalui buku Politik Jatah Preman (2018) oleh Ian Douglas Wilson. Ada transaksi antara politisi dengan preman untuk sama-sama memenuhi interest mereka. Dengan kata lain, kekuatan tersebut hanya dimiliki oleh aktor-aktor yang memiliki relasi dengan otoritas.

Penjelasannya sederhana, politisi membutuhkan massa dalam menjaga dinamika kekuasaan di sebuah wilayah yurisdiksi, sementara para “orang kebal” membutuhkan approval dari otoritas agar tetap bisa memiliki akses ilegal terhadap sumber daya. Approval ini membuat si kelompok menjadi kebal terhadap penertiban (Wiryomartono, 2016).

Jika sering mendengar istilah-istilah seperti setoran, jatah, dan istilah-istilah lainnya dalam percakapan seharian, itu adalah manifestasi dari relasi aktor politik dengan aktor yang menguasai akses informal tersebut.

Dalam kasus parkir liar perkotaan, hipotesis ini dapat diuji. Minimnya transportasi massal yang layak dan murah mendorong masyarakat kelas menengah ke bawah untuk memiliki kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi tentu membutuhkan lahan parkir. Akses terhadap lahan parkir “resmi” tentu lebih tinggi harganya (Mitlin, 2014).

Pada titik itulah kebutuhan akan ruang parkir yang lebih murah agar ongkos mobilitas masyarakat kelas menengah bawah dapat ditekan. Lahan-lahan seperti trotoar atau bahu jalan kemudian dimanfaatkan atau diakses secara ilegal oleh sekelompok “orang kebal” untuk menyediakan layanan parkir secara informal dengan harga miring (Simone, 2015).

Sekilas, penyediaan tersebut terkesan tidak merugikan; toh, mereka menyediakan parkiran murah. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya penyediaan layanan parkir informal adalah sumber daya publik. Dalam kasus lahan parkir tadi, pengguna kendaraan dan pengelola parkir liar sama-sama mendapatkan keuntungan. Yang dirugikan adalah publik dan masyarakat perkotaan secara luas, karena ada ruang publik seperti trotoar dan bahu jalan yang digunakan untuk peruntukkan lain dan menyebabkan kemacetan.

Memecahkan persoalan parkir liar ini tidak lagi sesederhana menertibkan pengelola parkir, menyediakan gedung parkir, atau menyediakan transportasi yang layak. Ada dinamika yang lebih besar lagi yang terjadi, dan banyak sekali aktor yang terlibat dalam pusaran usaha beromset miliaran yang merugikan kepentingan bersama, karena pengambilan ruang-ruang publik untuk kepentingan segelintir orang.

Saya kira kita boleh mulai melihat dari perspektif lain dalam memandang relasi premanisme, informalitas, dan penyediaan layanan dasar di perkotaan. Selama ini, otoritas cenderung melihat sektor informal sebagai benalu yang perlu diberantas demi menjaga kenyamanan dan ketertiban publik. Namun, dengan melihat relasi yang lebih jauh antara preman dan sektor informal dalam pelayanan dasar, maka tidak salah pula jika memandang informalitas dan premanisme sebagai implikasi dari ketidakmampuan dalam menyediakan layanan dasar bagi masyarakat.

ReferensiMitlin, D. (2014). Politics, informality and clientelism–exploring a pro-poor urban politics.Simone, A. (2015). The urban poor and their ambivalent exceptionalities: Some notes from Jakarta. Current Anthropology, 56(S11), S15-S23.Wiryomartono, B. Patrimonialism And Territorial Control: Premanisme In Urban Java Indonesia.Wilson, I. D. (2018). Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru. Marjin Kiri.

--

--