Fitur

Inovasi yang Tidak Inklusif

Mengasingkan (Mereka) yang Sudah Terasing

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

--

Foto oleh Shafiera Syumais (Bandung, 2018)

Pernahkah Anda dimintai tolong oleh ibu Anda untuk memesan ojek online, padahal sesungguhnya, beliau dapat bernavigasi di kota yang penuh jalan satu arah ini dengan mudah?

Saya pernah.

Begitu lekatnya teknologi pada kehidupan kita saat ini membuat kita, atau setidaknya saya, sulit untuk membayangkan hidup tanpanya. Bagaimana tidak, seluruh aspek kehidupan saya memiliki dependensi pada teknologi. Berkaca dari kehidupan saya sendiri yang seakan tak dapat lepas dari teknologi, seperti dibangunkan oleh alarm bertubi-tubi, memanfaatkan layanan antar untuk membeli makanan, dan juga berbelanja online. Melihat gaya hidup saya saat ini, cerita mengenai society 5.0 — yang mana semua aspek kehidupan kita dibantu oleh teknologi yang tidak lagi ada batasan nyata antara dunia virtual dan dunia nyata — mungkin tidaklah terlalu mengandai-andai.

Tapi, itu kan saya. Bagaimana dengan ibu saya?

Tersingkir dalam Hening

Terdapat sebuah argumen yang menarik ketika membicarakan tentang inovasi. Katanya, “Jika Anda tidak dapat menggunakan sebuah bentuk inovasi, mungkin memang inovasi tersebut tidak diciptakan dengan mempertimbangkan Anda.” Hal ini dapat dilihat pada kasus ibu saya yang tidak bisa menggunakan layanan tersebut secara mandiri. Mungkin, ibu saya yang tidak melakukan banyak perjalanan memang bukan kelompok yang disasar sebagai pengguna ojek online.

Kemewahan untuk menikmati teknologi ternyata tidak seragam bahkan di rumah saya sendiri. Tidak mengherankan, saya yang lebih terpapar dan memiliki pengetahuan mengenai teknologi beserta perubahannya menjadikan pun lebih mudah menyerap inovasi daripada ibu saya. Adanya ketidaksamaan kemampuan pemanfaatan inovasi antara saya dan ibu saya dapat dilihat sebagai perbedaan penyerapan inovasi yang terjadi.

Berdasarkan beberapa penelitian terkait inovasi, penyerapan inovasi dipengaruhi oleh beberapa karakter sosial ekonomi sang calon pengguna. Rogers and Shoemaker (1971) melakukan penelitian tentang karakteristik pengadopsi yang memungkinkan terjadinya difusi. Pada penelitian tersebut, mereka mengidentifikasi bahwa inovasi untuk status sosial ekonomi, variabel kepribadian, dan perilaku komunikasi adalah faktor penentu pada proses adopsi inovasi. Dalam studi lain yang meninjau adopsi teknologi, Burkhardt dan Brass (1990) menyatakan bahwa usia pun sangat berhubungan dengan kemampuan dalam mengadopsi inovasi. Hal ini membuat hanya sebagian orang yang beruntung saja yang dapat mengadopsi dan memanfaatkan teknologi sebagaimana tujuannya dalam proses penciptaannya.

Terlepas dari kemampuan mengadopsi inovasi, saya juga melihat inovasi saat ini sangat berfokus pada mereka yang kebanyakan — yang punya akses terhadap internet dan tidak bisa melepas telepon pintarnya. Lihat saja, berbagai layanan pemerintahan kini ditransformasi menjadi serba elektronik, lantas dengan bangganya pemerintah menyatakan bahwa kotanya sudah “smart”. Dalam skala besar, tentu saja kesulitan untuk mengadopsi inovasi ini tidak hanya dirasakan oleh ibu saya. Masih terdapat banyak kelompok masyarakat, seperti penduduk miskin dan penduduk pedesaan, yang tidak memiliki akses terhadap internet, termasuk juga lansia dan kaum disabilitas yang bahkan tidak dapat menggunakan inovasi tersebut sekalipun memang harganya terjangkau bagi mereka.

Ketika ibu saya masih bisa menggunakan kendaraan umum untuk kebutuhan pergerakannya, mungkin kondisi ini tidak menjadi masalah berarti. Namun bayangkan, bagaimana jika pengembangan inovasi yang tidak menyasar ibu saya ini semakin meluas pada sektor lain, tidak hanya pergerakan? Lalu, dengan tren saat ini, yang mana pelayanan publik mulai mengadopsi teknologi dalam pelaksanaannya, bagaimana jika kesulitan ini meluas hingga ke ranah pelayanan publik — seperti pembuatan izin usaha atau pembuatan paspor? Pun sekarang, saya merasa kasihan karena ibu saya tidak dapat merasakan kemudahan yang saya rasakan untuk bergerak hanya dengan sentuhan jari.

Jika inovasi memang diciptakan untuk mempermudah kehidupan, mengapa tidak untuk semua orang?

Pasar Bisa Diciptakan

Inovasi dan teknologi merupakan upaya manusia dalam membuat hidup yang lebih nyaman. Namun, perkembangan ini tidak semata-mata terjadi tanpa harga yang harus dibayar, sebagaimana dapat kita lihat melalui besaran investasi yang terus berputar di Silicon Valley. Ya, pada saat ini, inovasi memang merupakan komoditas seksi, yang bahkan miliuner Arab pun bersedia mengalirkan sejumlah besar uang.

Ketika kita berbicara mengenai inovasi, dapat dipastikan bahwa kita sedang membicarakan sektor privat. Dengan karakteristik sektor privat yang cenderung melakukan produksi dengan cara paling efektif dan efisien untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, tidak aneh jika inovasi lebih sering muncul dari mereka.

Di sisi lain, sifat sektor privat ini —yang cenderung berfokus pada mereka yang menguntungkan — juga dapat dipandang sebagai sebuah bahaya laten terhadap inklusivitas karena terus berkembang pada sebuah kalangan masyarakat tertentu saja, yaitu kelas menengah dan mereka yang kebanyakan. Dengan menggunakan kacamata pencari keuntungan, mengembangkan inovasi pada mereka yang minoritas atau tidak memiliki daya beli, merupakan sebuah langkah yang tidak rasional, bukan?

Namun, inovasi yang terus ditumbuhkan untuk memuaskan kelas tertentu ini, menjadi mimpi buruk bagi mereka yang minoritas atau dengan daya beli rendah. Hal ini membuat inovasi tidak hanya sulit untuk diakses oleh mereka, tetapi juga menjadi tidak cocok untuk kebutuhan mereka. Sebuah upaya yang membuat mereka semakin jauh dari teknologi.

Pasar bisa diciptakan, sebuah judul sekaligus penggalan lirik lagu ciptaan Efek Rumah Kaca, sesungguhnya merupakan kondisi yang nyata dari diskusi inovasi. Hal ini dapat dilihat dari inovasi-inovasi yang bermunculan di telepon genggam kita pada beberapa waktu ke belakang.

Bukan karena kita perlu kamera yang lebih bagus, layar yang lebih luas, atau (di sisi lain) jack 3.5mm, perubahan-perubahan tersebut terjadi, kan? Berbagai inovasi tersebut bukanlah reaksi atas kebutuhan kita, kelas menengah, melainkan karena perubahan-perubahan tersebut entah mengapa begitu populer.

Kondisi ini, pada akhirnya dapat memperburuk inklusivitas karena, ya, minoritas tentu bukanlah kelompok yang akan dilimpahi popularitas.

Inklusivitas Teknologi, Perlukah?

Setelah pembahasan sebelumnya, dapat kita lihat bahwa inklusivitas bukan merupakan kondisi yang terjadi secara natural dalam perkembangan inovasi. Dengan kata lain, inklusivitas menjadi sesuatu yang perlu diperjuangkan. Namun, seberapa pentingkah inklusivitas dalam inovasi?

Salah satu alasan mengapa inklusivitas diperlukan dalam inovasi adalah alasan keadilan. Menjadi minoritas seakan-akan sebuah “kutukan” untuk tidak merasakan dampak inovasi. Selanjutnya, akses terhadap teknologi yang tidak inklusif ini dapat memperparah kondisi masyarakat kita dengan terus memperbesar kesenjangan distribusi kekayaan yang pada saat ini pun sudah sangat tidak seimbang. Mereka yang memiliki akses terhadap teknologi menjadi lebih kaya melalui kemampuan produksi yang semakin tinggi, sementara mereka yang tanpa mereka menjadi lebih miskin dan tidak diuntungkan — atau malah dirugikan — dengan perkembangan teknologi. Mengutip pernyataan William Kennard, Ketua FCC (Federal Communications Commission), “Jika Anda tidak memiliki akses ke teknologi, Anda akan ditinggalkan pada zaman kegelapan.”

Di sisi lain, usaha untuk menjadi inklusif tanpa melibatkan mereka yang berbeda merupakan hal yang tidak juga efektif. Pasalnya, kita sebagai mayoritas tidak akan pernah mengetahui kebutuhan dan keterbatasan yang sebenarnya mereka rasakan. Perbedaan ini membuat kebutuhan atas “bantuan” yang dirancang oleh kita, mungkin tidak menjadi jawaban bagi mereka. Kita, sebagai yang cukup beruntung untuk dapat melihat, mungkin tidak memahami fungsi guiding block di trotoar. Namun bukan berarti, guiding block tidak memiliki arti bagi tunanetra. Sebagaimana mereka juga tidak mengetahui betapa layar besar nan tajam warnanya memudahkan kita untuk bernavigasi di dunia maya.

Memang dengan mahalnya investasi untuk sebuah inovasi, menjadikannya begitu menggoda untuk disimpan hanya untuk kalangan terbatas. Namun pada dasarnya, hal ini menjadikan inovasi begitu jauh dari tujuan utama inovasi. Membuat inovasi lebih mudah diakses oleh semua orang, tentunya akan mengembalikan cita-cita awal sebuah inovasi, yakni untuk mempermudah kehidupan manusia — semua manusia.

Meskipun kita mengeluarkan aspek keadilan, inklusivitas dapat menjadi stimulus agar inovasi lebih cepat dan lebih inovatif. Inklusivitas memberikan pandangan yang lebih luas mengenai bagaimana melihat dunia melalui berbagai sudut pandang. Sebuah kutipan yang menarik dari George Hotz, dalam menanggapi kecelakaan di Tempe, Arizona. Menurutnya, dengan lebih banyak orang yang terlibat, dengan membuatnya open source — bebas akses, perkembangan di dunia perteknologian (terutama automated vehicle, dalam kasus tersebut) akan menjadi lebih cepat. Inklusivitas tidak menjadikan teknologi sebagai barang yang langka. Persebaran inovasi yang merata, malah membuatnya berkembang lebih cepat.

Lagipula, bukankah seharusnya inovasi diciptakan untuk memudahkan hidup manusia? Lantas, mengapa kita harus menyimpannya untuk sebagian kecil orang saja? Kenyataan bahwa saat ini, saya dan ibu saya yang tinggal di satu atap yang sama, ternyata memiliki kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkan teknologi, sedikit menyakiti hati saya.

Oke, ojek ibu saya sudah datang.

Bandung, 10 November 2018
#ilusinklusi

Nefertari Pramudhita
Penulis dan Editor Mobilitas Perkotaan
Kolektif Agora

Referensi

  • Harding, A. (1995). Elite theory and growth machines. Theories of urban politics, 35–53.
  • Rogers, E. M. and F. F. Shoemaker (1971). Communication of Innovations: A Cultural Approach. New York, The Free Press
  • Burkhardt, M. E. and D. J. Brass (1990). “Changing patterns or patterns of change: The effects of a change in technology on social networks.” Administrative Science Quarterly. (35): 104–128.

--

--

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

Mainly interested in the city and the choices people make in it