Esai / Warga

Kampung Kota di Tengah Corona

Yang padat, berisiko hebat, namun tak dilihat

Atika Almira
Kolektif Agora

--

Beraktivitas sehari-hari di Jakarta Selatan membuat saya cukup awas dengan penyebaran COVID-19 yang cukup signifikan. Presiden Jokowi bahkan menyebutnya sebagai lokasi prioritas untuk rapid test Coronavirus ini. Saya beruntung tengah ada di rumah orang tua di Bogor sebelum situasi memburuk. Akan tetapi, tinggal di kost yang dekat dengan permukiman padat penduduk di tengah kota Jakarta, atau yang sering dikenal dengan sebutan kampung kota, membuat saya lebih khawatir dengan mereka yang tinggal di sana, terlebih setelah membaca sebuah artikel yang tertaut di referensi yang dibagikan Kolektif Agora.

Gambar 1. Peta Sebaran kasus COVID-19 DKI Jakarta, 22 Maret 2019. Sumber: https://corona.jakarta.go.id/id/peta

Sejauh ini, Pemerintah DKI Jakarta maupun Pemerintah Pusat belum terlihat memiliki langkah-langkah yang terarah untuk mencegah penyebaran wabah yang parah di kampung kota, permukiman padat penduduk yang umumnya bersifat informal, tidak jarang memiliki karakteristik yang didefinisikan sebagai kawasan kumuh oleh pemerintah — ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat [1]. Tidak adanya langkah-langkah taktis yang diambil bisa jadi disebabkan oleh transmisi yang lebih banyak terjadi di permukiman tidak padat penduduk.

Deputi Gubernur Bidang Pengendalian Kependudukan dan Pemukiman DKI Jakarta Sri Suharti menyampaikan, “Kami juga temukan bahwa untuk saat ini, mudah-mudahan tidak terjadi sebaliknya, bahwa masih banyak terjadi di pemukiman yang bukan pemukiman kumuh,” seperti dilansir CNN [2].

Pernyataan ini sesungguhnya lebih terdengar sebagai harapan dibandingkan dengan informasi yang meyakinkan. Dengan masih minimnya jumlah tes yang sudah dilakukan, kita tidak memiliki kepastian data. Mengingat persebaran COVID-19 yang meningkat tajam di DKI Jakarta dari hari ke hari, serta penumpukan yang tetap terjadi di transportasi publik, masih ada kemungkinan bahwa persebaran virus sudah menjangkau mereka yang tinggal di kampung kota.

Dengan risiko tersebut, apakah kita sudah cukup cermat dalam memastikan keselamatan mereka yang tinggal di kampung kota dari bahaya COVID-19?

Keraguan dan kecemasan ini bukannya tak beralasan. Persebaran COVID-19 yang begitu cepat dan masif di ibukota harus bertubrukan dengan karakteristik khusus yang dimiliki kampung kota, yang umumnya bersifat informal dan tak jarang ilegal. Permasalahan yang ada saling berkelindan antara isu data, infrastruktur, hingga ke aspek ekonomi. Terlebih, bagi sebagian orang, isolasi dan sanitasi adalah kemewahan yang tak terjangkau [3]. Kondisi-kondisi tersebut memungkinkan terjadinya transmisi virus yang jauh lebih cepat.

Kampung Kota dan Data

Bicara tentang data, seringkali kita tak punya data yang komprehensif mengenai kampung kota. Status informal dan ilegal membuat kegiatan pengumpulan data menjadi terbatas. Bahkan, di pemerintahan selevel Pemprov DKI Jakarta, sulit bagi kita menemukan data yang khusus bicara tentang kampung. Data yang ada umumnya bicara tentang data kumulatif di level kota baik itu data populasi, karakteristik rumah, ataupun sanitasi. Ketika bicara soal 445 RW Kumuh di Jakarta seperti yang tertera di Gambar 2, bahkan sulit mengetahui ada berapa jumlah penduduk di dalamnya. Bagaimana caranya menyiapkan masyarakat kalau kita tidak tahu berapa populasi penduduk yang tinggal di sana? Bagaimana kita bisa memperkirakan penyebaran di populasi yang ada? [4]

Gambar 2. Peta Sebaran COVID-19, Persentase Rumah berdasarkan Luas Lantai, dan Jumlah RW Kumuh DKI Jakarta. Diolah dari berbagai sumber: Catch meup, BPS DKI Jakarta

Jaga Jarak dan Diam di Rumah, Mungkinkah?

Seperti yang sudah banyak dibicarakan, coronavirus jenis terbaru ini memang tidak semematikan banyak penyakit lain, tapi bisa menyebar dengan sangat cepat. Karenanya, “social distancing” menjadi langkah paling penting untuk mencegah peningkatan penularan yang melonjak tajam. Tapi, pertanyaannya, bagaimana praktik menjaga jarak ini bisa dilakukan di permukiman yang padat penduduk? Bagaimana isolasi mandiri bisa dilakukan di rumah yang diisi lebih dari satu kepala keluarga? Seperti yang dapat dilihat di Gambar 2, di Jakarta Selatan saja, masih ada 20,63% keluarga yang menghuni rumah seluas 19 m² atau lebih kecil lagi — jauh di bawah standar kecukupan. Jumlah ini sebanyak lebih dari 78.000 KK.

Kita juga harus memahami bahwa kampung kota adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem kota dengan hubungan yang organik. Mereka yang tinggal di satu titik bisa melakukan mobilisasi di sela-sela ruang kota yang jaraknya tidaklah pendek, dari mulai berjalan kaki, menggunakan KRL, bis kota, maupun sebagai pengemudi ojek online. Kontrol untuk mencegah penularan dan pembatasan mobilitas akan sangat sulit dilakukan, apalagi dengan kondisi pemasukan yang tidak pasti [6].

Sejauh ini, himbauan yang diberikan sudah menimbulkan guncangan di ekonomi mereka yang bekerja di sektor informal. Kemewahan bekerja dari rumah tidak bisa dirasakan karena pemasukan yang didapat bersifat harian: penjaga toko, pembantu rumah tangga, pengemudi ojek online [11]. Sebagian orang bahkan harus pergi bekerja meskipun mengalami gejala penyakit. Kita bisa melihat, di situasi yang sudah terlanjur genting, justru pemaksaan untuk tinggal di dalam rumah malah jadi berujung konflik seperti yang terjadi pada kasus karantina Ebola [7].

Sulitnya lagi, yang perlu dipahami adalah berkurangnya aktivitas masyarakat juga mengurangi pendapatan mereka yang bekerja di sektor informal. Vivi Alatas di cuitannya menyinggung penjual keliling yang kehilangan pembeli, warung sekolah yang sepi karena sekolah libur, dan toko kelontong yang juga tak seramai biasanya. Mereka mengalami kerentanan yang berlapis-lapis.

Akses Air Bersih dan Pelayanan Kesehatan

Tantangan lainnya adalah akses ke air bersih [5, 6]. Seperti dilansir Kompas, Direktur Utama Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya Priyatno Bambang Hernowo menyatakan bahwa 40 persen warga DKI Jakarta belum menikmati layanan air bersih [8]. PAM juga mengakui bahwa mereka tidak dapat masuk ke kawasan ilegal. Ternyata, tidak semua orang bisa dengan mudahnya menikmati bernyanyi “Happy Birthday” sambil mencuci tangan minimal selama 20 detik seperti yang disarankan WHO [15]. Mereka yang tinggal di permukiman kumuh bisa jadi salah satunya.

Apabila kebersihan sulit dijaga, jatuh sakit bukan hal yang tak terduga. Akses ke pelayanan kesehatan adalah cerita lain yang harus dipikirkan. Dalam keadaan kritis, kemampuan masyarakat untuk pergi berobat adalah hal yang penting.

Kita juga perlu mengingat di antara mereka yang tinggal di kampung kota, terkadang ada mereka yang lebih rentan lagi: mereka yang sudah lanjut usia, terkadang janda, atau sudah tidak tinggal bersama anak. Orang-orang ini tidak memiliki jaringan sosial sekuat yang lainnya, yang amat krusial di masa-masa kritis.

Pada Akhirnya, Ini Soal Sampai atau Tidaknya Informasi

COVID-19 akan dapat ditangani apabila pemerintah memiliki informasi yang cukup dan di saat yang bersamaan, masyarakat dapat terinformasikan dengan baik. Informasi ini mencakup cara pencegahan, data kasus positif, prosedur apabila ada potensi terinfeksi, dan juga paket-paket kebijakan yang dapat membantu masyarakat dalam bertahan di situasi yang sulit.

Hari ini, informasi juga yang menjadi tantangan kita. Hoaks dan mitos menjamur. Masyarakat menjadi bingung dengan pesan-pesan yang saling kontradiktif [5]. Memberikan himbauan untuk tidak keluar rumah saja tidak cukup, apalagi jika itu hanya dilakukan melalui mobil yang dilengkapi pengeras suara [10]. Mereka perlu memahami apa yang sedang terjadi sehingga bisa mengambil keputusan terbaik untuk dirinya sendiri. Komunikasi yang buruk hanya akan menimbulkan konflik yang lebih besar di masa mendatang.

Bagaimana dengan di Luar Jakarta?

Gambar 3. Peta sebaran COVID-19 di Indonesia. Sumber: Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19
Gambar 4. Jumlah kasus COVID-19 di provinsi terbanyak selain DKI Jakarta

Sampai hari ini, meski berpusat di DKI Jakarta, COVID-19 sudah menyebar ke banyak provinsi di Indonesia. Provinsi-provinsi dengan angka terbesar di luar DKI Jakarta juga memiliki tantangan yang sama dalam isu permukiman kumuh. Langkah preventif menjadi penting untuk dilakukan di provinsi-provinsi tersebut sebelum virus menyebar tidak terkendali.

Langkah ke Depan

Sebelum sampai di titik yang sudah sulit dikendalikan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Jangan sampai kita terlambat bergerak.

Pertama, mengenai data, sampling terhadap mereka yang tinggal di lingkungan seperti ini dan terindikasi risiko COVID-19 untuk ikut rapid test ada baiknya dilakukan. Sehingga, apabila ditemukan kasus positif, penanganan dan contact tracing dapat sesegera mungkin dilakukan untuk mencegah penyebaran yang lebih luas. Dalam kondisi tersebut, ada baiknya mempertimbangkan untuk membuat posko khusus agar penyuluhan bisa lebih intens dan penanganan bisa cepat dilakukan. Kita tidak bisa berpegang pada “mudah-mudahan” belum ada yang terkena; kebijakan harus didasari oleh data. Gerakan bottom-up dalam pendataan seperti yang dilakukan Slum Dwellers International [14], juga bisa dijadikan salah satu benchmark, tentu dengan mempertimbangkan risiko dan jaga jarak aman.

Kedua, dalam konteks pembatasan kegiatan yang sulit dilakukan, memastikan ketersediaan air bersih dan pelayanan kesehatan menjadi kebutuhan yang mendesak. Memastikan semua orang bisa hidup sehat tanpa ada hambatan sudah seharusnya dilakukan. Truk-truk air bisa didatangkan ke daerah seperti ini agar cuci tangan beberapa kali dalam satu hari selama 20 detik menjadi hal yang mungkin — memastikan bahwa mereka dapat menikmati pelayanan kesehatan, terlebih apabila terjangkit COVID-19, menjadi hal yang utama pula. Kita perlu pastikan Puskesmas Kelurahan terdekat mampu menangani.

Saya teringat kunjungan saya ke India Juli 2019 lalu, di mana truk-truk air datang beberapa kali selama sepekan untuk melayani daerah yang kesulitan air bersih. Cara-cara seperti ini bisa dilakukan dalam situasi darurat.

Ketiga, terkait ketersampaian informasi, kita perlu memastikan penyebaran informasi yang tidak hanya benar, tetapi juga inklusif. Memang mayoritas warga kota sudah terhubung dengan akses internet. Namun, di dunia yang bias internet hari ini — sementara menurut data BPS, masih ada 36.5% penduduk DKI Jakarta yang belum mengakses internet — media komunikasi lain juga harus diperhatikan untuk menjelaskan tentang: menghindari kontak fisik seperti jabat tangan, tidak memegang anggota tubuh di wajah, melakukan social distancing — bukan pergi berlibur ketika sekolah diliburkan, dan cuci tangan dengan benar.

Penyebaran informasi yang inklusif ini perlu memperhatikan media lain yang dikonsumsi masyarakat, seperti televisi atau lewat interaksi tatap muka. Tentu kita tetap perlu memperhatikan kaidah-kaidah untuk tidak mengumpulkan orang dalam jumlah besar.

Pelibatan komunitas di sini menjadi hal yang penting. Pertanyaannya, siapa yang harus dilibatkan? Pejabat birokratis tidak selalu relevan. Tokoh masyarakat bisa siapa saja dan berbeda di setiap konteksnya: mulai dari Pak RT, Pak Haji, sampai ke Ibu Pemilik Warung. Kompleksitas ini ada baiknya diperhatikan [4]. Dalam situasi di mana keluar rumah harus dibatasi, mereka yang ada di titik temu seperti penjual di warung atau petugas pelayanan kesehatan (baik formal maupun informal) dapat dijadikan penyambung lidah. Kekuatan ibu-ibu arisan, karang taruna, dan majelis taklim dapat juga digunakan untuk membantu menyebarkan pesan yang benar lewat grup WhatsApp maupun SMS, yang bisa teramplifikasi dengan hubungan sosial yang erat.

Selain memperhatikan medianya, cara komunikasi juga tak kalah penting. Beberapa inisiatif menerjemahkan ke bahasa daerah sudah muncul, agar informasi yang disampaikan terasa lebih dekat ke masyarakat kita yang beragam.

Kalau istana pernah punya kekuatan, dan kemauan, untuk bisa mengundang influencer-influencer social media, barangkali inilah juga saatnya menggunakan logika yang sama untuk menggerakkan masyarakat, dengan target market yang berbeda.

Keempat, langkah-langkah untuk menjaga ketahanan ekonomi perlu dilakukan. Jangan sampai ada yang selamat dari bahaya COVID-19, tapi justru sakit karena tidak bisa makan. Beberapa negara seperti Jerman, Prancis, Italia, dan Spanyol, telah menjanjikan bantuan subsidi untuk pekerja seperti bantuan langsung tunai (BLT) [12]. Seperti dilansir CNBC, Sri Mulyani Menteri Keuangan RI juga telah menjanjikan bantuan untuk 89 juta masyarakat yang bentuknya bisa berbagai macam [13].

Mengutip Ridwansyah Yusuf Achmad di laman Instagram-nya, langkah lain yang bisa ditempuh adalah membebaskan pajak UMKM selama beberapa bulan agar bisa recovery setelah badai COVID-19 ini berlalu dan juga kebijakan restrukturisasi utang ke bank. Dapat dipertimbangkan pula pembebasan biaya listrik untuk rumah di bawah 1.000 VA.

Kelima, saling dukung gerakan di akar rumput, karena tentu bukan hanya pemerintah yang bisa membantu meringankan beban. Beberapa gerakan sudah muncul untuk mereka yang membutuhkan:

  1. https://kitabisa.com/campaign/bantuekonomiwarga
  2. https://kitabisa.com/campaign/bersamakitalawan

Gerakan-gerakan seperti ini dapat kita dukung dengan menyebarkan informasinya dan tentunya dengan ikut menyumbang.

Memandang Lebih Jauh

Sebagaimana kita tahu, dengan dilabeli sebagai kawasan yang “ilegal” maupun “infomal”, permukiman seperti ini seringkali tidak menjadi penerima manfaat penyediaan fasilitas seperti air bersih, sanitasi, atau listrik. Mereka juga tidak terlayani oleh pelayanan kesehatan maupun pengelolaan sampah. Padahal, kampung kota menjadi bagian yang integral dari kota itu sendiri sebagai satu-satunya pilihan hunian yang terjangkau.

Hari ini kita menyaksikan lewat Corona, bahwa bicara kampung kota, juga adalah bicara kita.

Atika Almira
Peneliti Perumahan dan Permukiman Perkotaan
Master of Urban Management and Development, IHS, EUR

Disclaimer: Tulisan ini mewakili pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan instansi

Referensi:

[1] UU No 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Perumahan dan Permukiman

--

--

Atika Almira
Kolektif Agora

Housing, urbanism, and architecture. Currently exploring UI/UX Design. Interested in Islamic discourse. Occasionally write about personal life.