IDE / WARGA
Kampung, Urbanisasi, dan Seni Pertunjukan Rakyat yang Hilang
Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca salah satu kolom Seno Gumira Ajidarma (SGA) yang berjudul Doi Panggil Ogut Nyomet! :) di buku Affair (2020). Kolomnya tentang refleksi topeng monyet membuat saya kembali memikirkan bagaimana kondisi seni pertunjukan rakyat di kampung yang kini semakin tergerus oleh zaman.
Topeng monyet, sebagaimana kita tahu, adalah pertunjukan mini sirkus kampung keliling yang terdiri atas monyet sebagai lakon dan narator yang bercerita (sekaligus juga tukang ganti properti si lakon). Pada tahun 2013, ketika Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, pertunjukan ini sempat dilarang di Jakarta karena dianggap mengeksploitasi monyet, atau mungkin bisa dibilang tidak berperikehewanan. Ada juga yang melakukan kampanye animal welfare berjudul Indonesia Bebas Topeng Monyet 2020 yang menganggap profesi topeng monyet sangat eksploitatif terhadap hewan sehingga tidak layak dijadikan ladang untuk mencari nafkah.
Hal ini memang dilematis. Di satu sisi, kita tidak dapat memungkiri bahwa animal cruelty dalam praktik topeng monyet memang ada. Di sisi lain, kita juga harus memikirkan solusi bagi pegiat topeng monyet, karena “mematikan” sumber penghidupan orang lain juga merupakan hal yang tidak sepatutnya dilakukan.
Namun demikian, dalam tulisan ini, saya tidak akan berfokus pada isu topeng monyet yang sering kali contentious. Dalam tulisan ini, saya lebih berfokus pada pergeseran nilai yang terjadi pada seni pertunjukan rakyat akibat adanya urbanisasi.
Dari Gang ke Jalan
Kembali ke soal topeng monyet, alih-alih melihatnya sebagai sumber penghidupan sekaligus artefak kehidupan urban yang seharusnya dikurasi, masyarakat kelas menengah urban kini melihat sebaliknya; topeng monyet harus dilarang. Pegiat topeng monyet yang ruangnya semakin sempit, kini makin sulit bergerak karena urbanisasi yang menggerus keberadaan mereka.
Dalam tulisannya, SGA menggambarkan bagaimana pegiat topeng monyet sebagai representasi kelas ekonomi kreatif kini turun derajat dengan mengemis di pinggir jalan alih-alih berpentas di gang-gang kampung seperti biasanya. Menurutnya, perubahan ini bukanlah sekadar proses “alamiah” dari perkembangan zaman, melainkan sebuah peristiwa kebudayaan, di mana kondisi ekonomi (dalam hal ini urbanisasi) berdampak langsung pada konstruksi kebudayaan yang ditentukan oleh lima faktor pembentuk arus budaya global: (1) teknologi, (2) media, (3) finansial, (4) etnik, dan (5) ideologi.
Peristiwa kebudayaan ini pulalah yang mengonstruksi pandangan baru masyarakat urban, di mana topeng monyet bukan lagi dianggap sebagai seni, tetapi sebagai komoditas (dan juga eksploitasi). Pegiat topeng monyet juga mungkin melihat jalanan sebagai ruang yang lebih menguntungkan ketimbang kampung. Nilai-nilai baru yang dimiliki oleh masyarakat urban-lah yang membentuk komodifikasi ini.
Urbanisasi menjadikan seni pertunjukan rakyat kini dipentaskan bukan sebagai seni untuk memenuhi kebutuhan hiburan, melainkan hanya dianggap sekadar formalitas dan bersifat transaksional. Seni pertunjukan rakyat sebagai perayaan budaya, yang tentunya lebih bercerita dan memiliki nilai historis, perlahan hilang.
Berdasarkan pengamatan saya, pergeseran nilai juga terjadi pada seni-seni pertunjukan selain topeng monyet. Hal ini bisa kita lihat pada fenomena ondel-ondel keliling yang belakangan ini marak; ketika ondel-ondel menjadi komoditas untuk bisnis ngamen keliling komplek.
Ondel-ondel yang sekarang tidak lagi seperti ondel-ondel yang dulu. Dulu, selain menjadi simbol dalam pesta rakyat Betawi, konon ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau mengusir roh halus yang gentayangan. Menurut cerita ibu saya yang lahir dan besar di Jakarta, ondel-ondel memang lekat dengan hal yang supranatural; ondel-ondel yang semula “mati” harus dilempar telur mentah agar ondel-ondel itu “hidup” lalu kemudian joget diiringi oleh musik khas Betawi.
Tentunya, tradisi semacam ini sudah tidak kita temukan lagi di pertunjukan ondel-ondel keliling di masa sekarang. Ondel-ondel keliling jaman sekarang bukan lagi merupakan simbol tradisi, tetapi menjadi komoditas. Urbanisasi adalah agen pembawa arus budaya global yang mengubah logika ini.
Alih Fungsi Lahan dan Pertunjukan yang “Jadul”
Penelitian saya tentang transformasi gaya hidup penduduk kampung di Tangerang (2012) juga menunjukkan indikasi tergusurnya seni pertunjukan rakyat oleh urbanisasi. Di samping soal pergeseran nilai, urbanisasi yang masif secara fisik juga berdampak pada keberlangsungan seni pertunjukan rakyat. Alih fungsi dari kebon/lahan kosong menjadi perumahan membuat tempat terbuka di kampung yang biasa digunakan sebagai arena pertunjukan kini semakin langka.
Di Tangerang, seni pertunjukan bernama Topeng Tolay, sebuah pagelaran teater rakyat yang memadukan kesenian Sunda dan Betawi dengan iringan musik karawitan, teater dan lawakan tunggal serta tarian Sunda mulai tergusur. Di samping Topeng Tolay, pertunjukan wayang golek dan pertunjukan musik tanji yang dulu masih menjadi hiburan primadona kala itu, kini keberadaannya juga semakin jarang ditemukan. Seni pertunjukan rakyat kini hanya muncul jika ada warga yang nanggap, misalnya untuk keperluan hajatan (sunatan atau pernikahan) atau ada perayaan tertentu di kampung-kampung yang masih memiliki lapangan terbuka.
Kini, warga kampung, khususnya generasi muda, tidak lagi melihat seni pertunjukan yang “jadul” sebagai sebuah hiburan. Ragam aktivitas warga muda kampung yang tidak lagi bersifat lokal juga menjadikan mereka menghabiskan waktu (termasuk leisure time) di luar kampung. Nilai-nilai urban mengubah cara mereka menghabiskan waktu luang mereka. Anak-anak muda kampung lebih menyukai hiburan modern seperti live music di pasar atau kafe, nonton/pergi ke mal, ketimbang harus nanggap pertunjukan yang mungkin bagi anak jaman sekarang membosankan.
Konsumen: Produsen Makna
Pergeseran nilai, baik pada versi berbudaya-ke-komersial, maupun versi jadul-ke-modern, keduanya sama-sama disebabkan oleh urbanisasi. Jika kita memandang secara idealis bahwa seni pertunjukan harus bernilai seni, bersifat kerakyatan (dapat dinikmati secara berkelompok), direplikasi terus menerus, dan bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, saya pikir seni pertunjukan rakyat memang perlahan mulai hilang.
Menurunnya derajat sosial pegiat topeng monyet seperti apa yang disebutkan SGA serta pergeseran nilai pada kasus ondel-ondel merupakan konsekuensi dari perubahan zaman. Bukan keinginan mereka untuk menurunkan derajat sosial diri sendiri dan melakukan pertunjukan hanya sekadar formalitas, tetapi keadaan yang memaksa untuk demikian.
Kembali mengutip SGA, konsumen adalah produsen makna. Maka, semua kembali bergantung pada cara kita memaknai dan juga menghargai seni pertunjukan rakyat. Meski kini makin banyak pilihan hiburan di kota, kita masih bisa memilih untuk menikmati dan menghargai seni pertunjukan rakyat yang mungkin di masa depan akan semakin punah.