Esai / Haluan

Keliru Pikir Dana Kelurahan

Bertentangan dengan argumentasi yang menyatakan bahwa kebijakan ini tidak berdasar secara hukum, ternyata dana kelurahan memiliki landasan yang cukup jelas. Namun, konstitusional belum berarti masuk akal.

Luthfi Muhamad Iqbal
Kolektif Agora

--

Foto oleh Huy Phan, Pexels, 2019.

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Desain Administrasi Kelurahan

Pada Undang Undang No 23 tahun 2014, disebutkan bahwa NKRI terbagi atas Daerah Provinsi; dan Daerah Provinsi dibagi atas Daerah Kabupaten/Kota. Daerah Kabupaten/Kota dibagi atas Kecamatan; Kecamatan dibagi atas Kelurahan/Desa.

Pembagian Wilayah Negara berdasarkan Undang-Undang

Dari pembagian wilayah negara tersebut yang memiliki kewenangan sebagai self-governing unit, atau daerah otonom, ialah Provinsi, Kabupaten/Kota [1], dan Desa [1][2]. Kabupaten Administratif dan Kota Administratif merupakan Perangkat Daerah Provinsi [3]. Kecamatan merupakan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, sedangkan Kelurahan merupakan Perangkat Kecamatan [4].

Kewenangan Kelurahan

Sebagai perangkat kecamatan, kelurahan memiliki beberapa kewenangan yakni melaksanakan kegiatan pemerintahan kelurahan, pemberdayaan masyarakat, pelayanan masyarakat, memelihara ketenteraman dan ketertiban umum, sarana dan prasara serta fasilitas pelayanan umum, melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh camat, dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [4].

Sedangkan, kewenangan desa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU Desa ialah meliputi penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa [2].

Kewenangan Lurah dan Kepala Desa menurut Undang Undang

Dari perbandingan kewenangan lurah [1] dan kewenangan kepala desa [2] di atas, cukup jelas perbedaannya, di mana lurah hanya menjalankan tugas administratif kabupaten/kota yang dilimpahkan oleh camat sebagai kepala wilayah administratif di bawah pemerintahan daerah otonom tingkat Kabupaten/Kota.

Sedangkan, kepala desa memiliki fungsi-fungsi dan kewenangan dasar sebagaimana kepala daerah otonom, seperti pembuatan aturan, kepegawaian (mengangkat dan memberhentikan perangkat desa), dan keuangan (pengelolaan APBDes, mengelola aset dan keuangan desa, mengembangkan sumber pendapatan desa, dan mengusulkan serta menerima pelimpahan kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, atau dengan kata lain menerima alokasi dana desa dan dana desa).

Kelembagaan Kelurahan

Secara kelembagaan, kelurahan dipimpin oleh kepala kelurahan yang disebut lurah, sebagai perangkat kecamatan dan bertanggung jawab kepada camat. Lurah diangkat oleh bupati/walikota atas usul sekretaris daerah dari PNS yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [1]. Berbeda dengan desa, di mana kepala desa yang bertugas memimpin pemerintahan desa dipilih secara demokratis dan serentak di seluruh wilayah kabupaten/kota [2].

Perbedaan pola kelembagaan antara administrasi kelurahan dan desa tentu membawa konsekuensi pada bagaimana kelurahan dan desa ini dikelola: termasuk perbedaan pengelolaan keuangan kelurahan dan desa.

Prasyarat Perubahan Status Kelurahan

Transformasi administrasi berupa perubahan status desa menjadi kelurahan atau sebaliknya, dimungkinkan apabila terpehuninya syarat-syarat tertentu [5] sebagai berikut:

Transformasi Administrasi Desa dan Kelurahan (Sumber: Permendagri No 1/2017 tentang Penataan Desa)

Menurut keterangan Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Soni Sumarsono [6], banyak kelurahan yang kini ingin diubah statusnya menjadi desa. Hal ini dikarenakan kecemburuan adanya alokasi dana dari pemerintah pusat untuk desa.

Ini merupakan kecenderungan baru, di mana dulu desa berbondong-bondong menjadi kelurahan karena perangkat desa ingin menjadi pegawai negeri sipil. Sekarang, sebaliknya, kelurahan ingin kembali berstatus desa, karena adanya ADD dari APBD dan dana desa dari APBN. Sebagai contoh, terdapat 22 usulan perubahan status dan pemekaran di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur [7], dan 16 kelurahan yang ingin diubah menjadi desa di Kabupaten Badung, Bali [8].

Untuk menahan laju perubahan status ini (kelurahan menjadi desa), yang dipandang sebagai sebuah kemunduran pembangunan, pemerintah mengajukan pemberian dana khusus untuk kelurahan, sebagaimana penjelasan berikut [6]:

“Pemberian dana khusus untuk kelurahan adalah agar kelurahan tidak menuntut statusnya diubah menjadi desa. Sebab, perubahan status itu justru langkah mundur. Kalau jadi desa, nanti perkembangan negara jadi turun, setback. Karena daerah banyak kota, makin maju, makin urban,”
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri

Dana kelurahan dari APBN ini juga diyakini mampu menciptakan pemerataan pembangunan di daerah kota [9], dan mencegah ketimpangan pembangunan desa dan kelurahan [10].

Eh, bentar… gimana, gimana?

Konsep Dana Kelurahan

Secara pembiayaan, Pemda kabupaten/kota mengalokasikan anggaran dalam APBD kabupaten/kota untuk pembangunan sarpras lokal kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan. Alokasi tersebut dimasukkan ke dalam anggaran kecamatan untuk dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam pengelolaan dana kelurahan, lurah berkedudukan sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) dan menunjuk pejabat penatausahaan keuangan (PPK) kegiatan. Pelaksanaan anggaran untuk pembangunan sarpras lokal kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan melibatkan kelompok masyarakat dan/atau organisasi kemasyarakatan [11].

Penentuan kegiatan dilakukan melalui musrenbang kelurahan. Untuk besarannya, bagi daerah kota yang tidak memiliki desa, alokasi anggaran adalah sebesar 5% APBD setelah dikurangi DAK [1]. Sedangkan untuk daerah kabupaten/kota yang memiliki desa, maka alokasi anggaran kelurahan diberikan sebesar dana desa terendah yang diterima oleh desa di kabupaten/kota [11].

Kelurahan dalam Angka

Berdasarkan Permendagri No. 137/2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan [13], jumlah daerah yang memiliki 100% kelurahan, atau dalam artian tidak memiliki desa, ialah sebanyak 75 daerah yang terdiri atas 74 kota dan satu daerah provinsi, yakni DKI Jakarta.

Tipologi Daerah Otonom berdasarkan Wilayah Administrasi tingkat IV (Desa/Kelurahan) Sumber: Permendagri No 137/2017

Sedangkan, sisanya bervariasi, tersebar menjadi wilayah yang 100% desa atau tidak memiliki kelurahan sama sekali yakni 98 daerah yang terdiri atas satu provinsi, lima kota, dan 92 kabupaten; serta yang memiliki baik desa maupun kelurahan yakni 369 daerah, terdiri atas 32 provinsi, 14 kota, dan 323 kabupaten. Sehingga, total daerah yang wajib mengalokasikan anggaran untuk dana kelurahan diperkirakan mencapai 412 daerah yang terdiri atas satu provinsi, 88 kota, dan 323 kabupaten.

Pemodelan Dana Kelurahan

Dengan melakukan filter data terhadap daerah dengan persentase kelurahan 100% (tidak memiliki desa sama sekali), maka sesuai dengan aturan di atas, dana kelurahan yang wajib dialokasikan ialah sebesar 5% dari APBD setelah dikurangi DAK. Dana kelurahan yang wajib dianggarkan oleh 75 Daerah tersebut ialah sebagai berikut:

Pemodelan Dana Kelurahan di 75 Daerah Kota yang tidak memiliki Desa (Sumber: DJPK Kemenkeu, 2018 — diolah)

Besaran dana paling sedikit yang harus dialokasikan masing-masing daerah untuk pembangunan kelurahan di 75 daerah di atas berkisar dari 25,11 miliar rupiah (Kota Solok) hingga 384,37 miliar rupiah (Kota Surabaya, apabila DKI tidak dihitung, dan hingga 3,14 triliun rupiah apabila DKI dihitung). Ketika diasumsikan bahwa setiap kelurahan di masing-masing daerah memperoleh besaran yang sama dan dibagi secara proporsional menurut jumlah kelurahan, maka rata-rata dana per kelurahan yang diperoleh ialah sebagai berikut:

Pemodelan Dana Kelurahan yang diterima oleh Kelurahan di 75 Daerah Kota yang tidak memiliki Desa (Sumber: DJPK Kemenkeu, 2018 — diolah)

Pemodelan ini menggunakan data APBD 2018. Apabila sudah dilaksanakan kewajiban alokasi anggaran dana kelurahan sebesar 5% dari APBD dikurangi DAK, maka rata-rata setiap kelurahan menerima paling sedikit 541 juta rupiah (Kota Bitung) hingga 4,53 miliar rupiah (Kota Bekasi, apabila DKI tidak dihitung atau hingga 11,78 miliar rupiah apabila DKI dihitung).

Hal ini menjadi sangat fantastis, apabila dibandingkan rata-rata dana desa yang dialokasikan sebesar 280 juta rupiah per desa di tahun 2015, dan 800 juta rupiah per desa di tahun 2017. Berdasarkan formulasi minimal 5% APBD dikurangi DAK pada model di atas, maka kelurahan di hampir 64 kota dan provinsi yang tidak memiliki desa, justru didesain untuk memperoleh lebih dari 800 juta rupiah per kelurahan.

Miskonsepsi Fatal Perumusan Dana Kelurahan

Dengan kewenangan kelurahan yang terbatas karena tidak memiliki otonomi sebagaimana yang dimliki oleh desa; luas wilayah kelurahan yang relatif lebih kecil dibandingkan desa; fakta di mana tidak semua kelurahan di kota besar memiliki penduduk yang harus dilayani, karena beberapa kelurahan didominasi oleh ruang perkantoran, perdagangan dan jasa dan hanya sedikit ruang permukiman; maka penentuan minimal 5% APBD dikurangi DAK untuk pembangunan sarana dan prasarana lokal serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan menjadi tak rasional, berlebihan, dan tidak menjawab persoalan, meskipun memiliki dasar hukum (konstitusional) karena telah “terlanjur” diatur demikian dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan PP No. 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan.

Zero Sum Game: Kewajiban Dana Kelurahan sebagai Non-Necessary Mandatory Spending akan Berpotensi Mengganggu Belanja OPD

Lagipula, mengapa paling sedikit 5% APBD? Dari mana angka 5% tersebut? Apa saja yang termasuk sarana dan prasarana lokal, yang bisa dibangun oleh kelurahan? Misalkan pembangunan gorong-gorong atau jalan lingkungan, apakah tidak akan bersinggungan dengan anggaran pembangunan yang dialokasikan pada Dinas Bina Marga dan Pengairan? Misalkan pembangunan taman-taman, lalu Dinas Pertamanan untuk apa ada?

Mengingat dana kelurahan tersebut ialah bagian dari APBD, maka kewajiban semacam ini justru malah akan mengurangi porsi belanja yang semestinya diberikan kepada organisasi perangkat daerah (badan, dinas, UPT, dan lainnya) dalam mencapai target rencana kerja dan rencana strategis yang sudah disusun sesuai rencana pembangunan daerah dan visi-misi kepala daerah. Regulasi ini tidak mendudukkan secara tepat posisi kelurahan sebagai pembantu pelaksanaan tugas pemerintahan kecamatan selaku kepala wilayah administratif di bawah kabupaten/kota. Karena, secara hakikat, kelurahan berbeda kedudukan dengan desa yang memiliki pemerintahan yang otonom; membutuhkan afirmasi, dan penguatan untuk mencegah laju urbanisasi dan menggerakan perekonomian desa; serta perbedaan karakteristik sosial budaya. Sehingga, memparalelkan kewajiban sejumlah tertentu dari APBD untuk kelurahan tidak memiliki dasar yang kuat.

Formulasi Dana Kelurahan: Instrumen Ampuh untuk Memperlebar Ketimpangan Pembangunan Kota

Belum lagi, penentuan besaran relatif terhadap APBD akan semakin membuat timpang pembangunan kelurahan di kota-kota maju dan kota-kota yang berkembang. Seperti contohnya di Kota Ternate, daerah yang memiliki Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) paling tinggi dari 75 daerah di atas (sebesar 129,5). Namun, dengan model perhitungan dana kelurahan di atas, rata-rata didapat hanya 556 juta rupiah per kelurahan. Sebaliknya, Kota Bandar Lampung dengan rata-rata 874 juta rupiah per kelurahan memiliki IKK paling rendah dari 75 daerah diatas (sebesar 80,53).

Dengan demikian, volume unit konstruksi sarpras lokal kelurahan yang diperoleh Kota Bandar Lampung bahkan dengan besaran alokasi yang sama, akan lebih banyak dibandingkan Kota Ternate. Dengan besaran alokasinya yang lebih besar pada daerah yang IKK-nya rendah, akan lebih lebar kesenjangan pembangunan antara kelurahan di Kota Ternate dan kelurahan di Kota Bandar Lampung.

Scatterplot Model Dana Kelurahan di 75 Daerah Kota yang tidak memiliki Desa terhadap IKK (Sumber: DJPK Kemenkeu, 2018 — diolah)

Apabila dibandingkan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) daerah, fenomena yang sama bisa ditinjau pada diagram plot sebar di bawah ini. Kota Pagar Alam dengan rata-rata dana kelurahan 980 juta per kelurahan memiliki IPM 65,96, sedangkan Kota Bekasi dengan IPM 80 wajib mengalokasikan dana kelurahan minimal 4,54 miliar rupiah per kelurahan.

Apabila dilihat secara kasar, tentu dalam rangka meningkatkan IPM, Kota Pagar Alam membutuhkan sumber dana yang lebih besar dibandingkan Kota Bekasi. Namun, dengan pola alokasi seperti ini, kewajiban paling sedikit 5% APBD setelah dikurangi DAK, maka kelurahan di Bekasi akan memiliki kesempatan membangun lebih cepat dibandingkan kelurahan di Pagar Alam.

Sehingga mensyaratkan mandatory spending bagi dana kelurahan sejumlah persentase tertentu dari APBD, tidak hanya akan mensponsori ketimpangan antara desa-kota, tetapi juga antar kota-kota yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dan rendah.

Scatterplot Model Dana Kelurahan di 75 Daerah Kota yang tidak memiliki Desa terhadap IPM(Sumber: DJPK Kemenkeu, 2018 — diolah)

Alokasi DAU Tambahan untuk Dana Kelurahan: Terobosan Fiskal atau Kepentingan Elektoral?

Sebagai jalan keluar, pemerintah mengusulkan adanya alokasi dana transfer untuk membantu kabupaten/kota yang memiliki kelurahan dalam menunaikan kewajibannya untuk mengalokasikan sejumlah dana kelurahan. Pada APBN 2019, disepakati dana kelurahan yang bersumber dari APBN ini disalurkan melalui DAU tambahan. Adanya DAU tambahan ini menurunkan kesenjangan alokasi DAU sebesar -0,14%, mengindikasikan dana kelurahan dalam APBN “mencoba” mempersempit gap alokasi DAU antardaerah.

Jumlah Kelurahan Penerima Dana Kelurahan melalui DAU Tambahan berdasarkan Kualitas Pelayanan Publik (DJPK, 2018 — diolah)

Mekanisme pengalokasian dana kelurahan melalui DAU tambahan ini juga lebih sensitif terhadap kondisi masing-masing kelurahan. Melalui pengklasifikasian kualitas pelayanan publik menjadi “Baik”, “Perlu Ditingkatkan” dan “Sangat Perlu Ditingkatkan”, pemerintah membagi alokasi secara proporsional. Kategori Baik berjumlah 2.805 kelurahan di 91 kabupaten/kota dengan alokasi 352,9 juta rupiah per kelurahan; kategori Perlu Ditingkatkan berjumlah 4.782 kelurahan pada 257 kabupaten/kota dengan alokasi 370,1 juta rupiah per kelurahan; dan kategori Sangat Perlu Ditingkatkan berjumlah 625 kelurahan pada 62 kabupaten/kota dengan alokasi 384 juta rupiah per kelurahan.

Besaran Dana Kelurahan melalui DAU Tambahan berdasarkan Kualitas Pelayanan Publik per Regional (DJPK, 2018 — diolah)

Namun, secara total anggaran, ternyata dana kelurahan melalui DAU tambahan ini masih didominasi oleh Pulau Jawa sebesar 913,78 miliar rupiah, Pulau Sumatera 857,09 miliar rupiah, dan Pulau Sulawesi sebesar 668,62 miliar rupiah. Sehingga, cukup wajar apabila politik anggaran dana kelurahan ini diduga kuat merupakan instrumen untuk mendongkrak partisipasi elektoral masyarakat perkotaan dalam memilih kembali (re-elect) kandidat petahana, khususnya di tiga pulau utama yang padat penduduk yakni Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Terlepas dari ya (memiliki keterkaitan dengan kepentingan elektoral) atau tidaknya, penulis menganggap tetap ada persoalan yang serius mengenai pengelolaan pembangunan di tingkat lokal khususnya kelurahan ini. Tidak seperti yang dibicarakan banyak orang di media bahwa dana kelurahan ini tidak jelas dasar hukumnya, ternyata ia memiliki dasar hukum yang cukup jelas. Dana kelurahan memiliki landasan konstitusional, bahkan setingkat undang-undang; hanya saja tidak masuk akal, entah dari mana asalnya, dan hendak ke mana arahnya.

Referensi[1] UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah [tersedia di: https://pih.kemlu.go.id/files/UU0232014.pdf][2] UU No 6/2014 tentang Desa [tersedia di: http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_6.pdf][3] UU No 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia [tersedia di: http://otda.kemendagri.go.id/CMS/Images/DaftarSPM/UU%20Nomor%2029%20Tahun%202007.pdf][4] PP No 18/2016 tentang Perangkat Daerah [tersedia di: http://www.bkn.go.id/wp-content/uploads/2016/10/PP-NOMOR-18-TAHUN-2016-PERANGKAT-DAERAH.pdf][5] Permendagri No 1/2017 tentang Penataan Desa [tersedia di: http://lkbh.stainkudus.ac.id/files/permendagri_no.1_th_2017.pdf][6]https://nasional.tempo.co/read/790974/banyak-kelurahan-ingin-diubah-statusnya-menjadi-desa/full&view=ok[7]http://kaltim.tribunnews.com/2017/02/20/wow-gara-gara-add-besar-kelurahan-berlomba-lomba-ingin-jadi-desa[8]https://radarbali.jawapos.com/read/2018/02/23/51981/kelurahan-jadi-desa-undang-16-lurah[9]https://www.antaranews.com/berita/759945/mendagri-dana-kelurahan-beda-dengan-dana-desa[10]https://www.antaranews.com/berita/760486/karding-dana-kelurahan-untuk-paralelkan-pembangunan-desa-kelurahan[11] PP No 17/2018 tentang Kecamatan [tersedia di: http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/175512/PP%20Nomor%2017%20Tahun%202018.pdf][12]Permendagri No 137/2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan [tersedia di: https://www.kemendagri.go.id/pages/detail/108-permendagri-no137-tahun-2017][13]https://www.kemenkeu.go.id/media/6749/buku-pintar-dana-desa.pdf

--

--