IDE / HALUAN

Kemenangan Kota, Kekalahan Warga?

“Urban Triumphalism” sebagai Perspektif Arus Utama

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora
Published in
6 min readNov 10, 2021

--

Foto oleh Ivan Samudra di Unsplash, 2021.

Seperti yang mungkin kita perhatikan, kebanyakan pengantar tentang makalah soal kota dimulai dengan kalimat semacam “lebih dari setengah populasi dunia sekarang tinggal di daerah perkotaan, dan hampir semua negara di dunia menjadi semakin urban.”

Lebih dari itu, gagasan ini telah menjadi pangkal banyak hal, mulai dari urgensi untuk belajar soal kota dan urbanisasi (terutama di cabang pengetahuan studi perkotaan dan geografi urban) sampai bagaimana intervensi dan kebijakan pemerintah harus berkonsentrasi di daerah yang disebut “kota”.

Tentu, banyak perdebatan yang bisa muncul bahkan dari kalimat itu saja; yang terus didominasi terutama oleh badan-badan seperti PBB atau konsultan besar semacam McKinsey. Misalnya, apa sebenarnya arti “kota” dan “urbanisasi” (bagaimana PBB mengartikan kota bisa jadi beda dengan lembaga lain), atau dampak macam apa yang ditimbulkan dari proses tersebut — termasuk mengulangi gagasan di atas terus menerus.

Salah satu topik yang menarik dibahas adalah pertanyaan kedua, dengan contoh yang paling banyak dikupas yakni karya Edward Glaeser (2012) bertajuk “Triumph of the City”. Lewat gagasan yang sama — pertumbuhan dan kepadatan populasi manusia di kota — Glaeser membangun argumen bahwa kota adalah “mesin inovasi” sepanjang peradaban manusia. “Jalanan Florence memberi kita Renaisans, dan jalanan Birmingham memberi kita Revolusi Industri,” tulisnya.

Menurutnya, “kota telah menang”. Segala krisis yang kita hadapi di masa lalu telah menghasilkan kota yang lebih kaya, sehat, hijau, dan bahagia. Tak lupa, ia tetap menyebut pentingnya memerhatikan kota-kota lain yang tak seperti itu. Tapi, tetap saja, hal itu diperlukan agar kita bisa mencapai “a new golden age of the city”.

Contoh lainnya bisa kita ambil dari artikel McKinsey & Company (2018) berjudul “Thriving amid turbulence: Imagining the cities of the future”. Lagi-lagi, dimulai dengan gagasan yang sama, (pemerintah) kota dituntut untuk mempertimbangkan kompetisi tenaga kerja (disebut talent, cenderung berhubungan dengan tenaga kerja dengan skill tinggi di sektor kreatif, keuangan, teknologi informasi, dan sebagainya), teknologi, globalisasi. Kota-kota dituntut semakin terhubung dan menciptakan kondisi yang menarik bagi tenaga kerja di sektor-sektor strategis. Di satu sisi, kesejahteraan atau well-being warga tetap menjadi salah satu indikator kesuksesan.

Persentase penduduk di kota-kota dunia yang lahir di luar negeri. Ekspatriat menjadi salah satu indikator konektivitas kota. Sumber: McKinsey and Company, 2018.

Studi seperti ini biasanya disokong kuat oleh berbagai peringkat kota yang mengukur ragam hal: konektivitas, kebahagiaan, keberlanjutan, ekonomi, demokrasi, dan lain sebagainya. Hal ini juga berdampak pada kompetisi yang muncul antarkota. Pemimpin kota pada akhirnya berlomba memunculkan kebijakan — seringkali meniru kota-kota di peringkat atas — agar bisa naik kelas di tahun berikutnya.

Kemenangan Urban?

Contoh-contoh di atas biasanya jamak disebut sebagai bentuk urban triumphalism (kemenangan urban dalam Bahasa Indonesia, dan ini bisa diperdebatkan): sebuah paradigma (atau tren) yang “merayakan” kota sebagai tempat di mana inovasi dan ekonomi dapat tumbuh, serta orang-orang bisa mendapat pekerjaan, kebebasan, dan kebahagian. Kota adalah masa depan, dan urbanisasi diangap sebagai jalan krusial — kalau tidak satu-satunya — menuju keberhasilan.

Mathieu Van Criekingen, dalam kelas Geografi Ekonomi Perkotaan yang saya hadiri dalam program magister saya, menjelaskan bahwa urban triumphalism setidaknya memiliki elemen-elemen berikut:

  1. titik mula bahwa dunia semakin mengota, biasanya didukung statistik tentang populasi dunia yang saat ini tinggal di kota (serta proyeksi ke depannya), dan bahwa kita sedang memasuki urban age;
  2. pernyataan bahwa tantangan terbesar umat manusia saat ini adalah masalah-masalah perkotaan/urbanisasi. Di satu sisi, kota adalah tempat terbaik di mana kita bisa menemukan pelbagai solusi masalah-masalah tersebut (lewat jargon “hijau”, “pintar”, “partisipatif”, dan lain sebagainya);
  3. dan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana mengatur kota untuk mengatasi masalah tersebut, bagaimana mengeksploitasi potensi kota, bagaimana kita bisa meraih inovasi, inklusivitas, keberlanjutan, dan lain-lain.

Jika kita mendudukkan gagasan ini hanya dalam sirkulasi dunia akademik atau laporan lembaga-lembaga internasional, tentu ia akan tampak tak signifikan. Namun, seperti yang sudah banyak dibuktikan secara empiris, capaian dari gagasan ini tak berhenti di atas kertas saja.

Salah satu kota di Indonesia, Bandung, bisa menjadi case in point.

April tahun lalu, misalnya, Bandung menempati peringkat ke-28 dalam Smart City Government Ranking yang diterbitkan Eden Strategy Institute asal Singapura. Bandung dinilai lebih baik dibandingkan Adelaide, Boston, Dubai, Frankfurt, bahkan Los Angeles dalam urusan SDM, kebijakan, ekosistem, dan insentif perwujudan kota pintar.

Memang, Bandung kerap menjual konsep smart city sebagai “pembeda” Kota Kembang tersebut dengan kota lain. Jargon ini biasanya disandingkan pula dengan “kota kreatif”. Produk-produk flagship dari konsep ini adalah layanan publik seperti online single submission (OSS) dan command centre.

Kekalahan Warga?

Namun, sejauh apa konsep tersebut dan turunan-turunannya berdampak pada kesejahteraan masyarakat? Bagaimana dengan pemenuhan dasar kebutuhan warga? Apakah pemanfaatan teknologi tersebut sudah benar-benar inklusif? Bagaimana dengan konsep lainnya, seperti “kota kreatif”?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah mampu dijawab oleh otoritas kota, bukan hanya perkara sudah membuat atau membangun ini-itu; butuh ada studi empiris terhadap outcome dari pengadopsian konsep-konsep itu, terutama dampak positif terhadap ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah.

Kecuali, kompetisi antarkota memang hanya dimaknai sebagai realisasi proyek-proyek tertentu saja.

Sialnya, urban triumphalism menurut saya masih menjadi wacana yang begitu dominan dalam pembangunan kota hari ini di seluruh dunia. Kota-kota dinilai harus terus “tumbuh” tanpa pertanyaan dan kritik. Masalah-masalah urban kian direduksi ke isu-isu tekno-manajerial, terutama yang mengedepankan pandangan pemimpin kota, adaptasi praktik-praktik baik (dari negara Barat), dan (re)produksi besar-besaran peringkat kota (Van Criekingen, 2021).

Warga kian dipinggirkan, terutama dalam proyek-proyek infrastruktur besar yang mampu membuat sebuah kota (atau negara) naik peringkat dan menarik untuk investor (asing). Dalam wacana kelas kreatif yang diperkenalkan oleh Richard Florida (dan sudah banyak diadaptasi oleh pemimpin kota seluruh dunia), misalnya, daya tarik sebuah kota adalah aspek penting untuk mengundang kelas-kelas kreatif — yang diharapkan mampu membuat kota cepat tumbuh ekonominya. Dan, kita semua tahu bahwa gentrifikasi, entah state-led atau tidak, masih menjadi akhir cerita yang mainstream.

Lantas, apa yang harus dilakukan?

Kemenangan Warga?

Alih-alih mencari jawaban atau solusi terhadap masalah, saya pikir yang harus diubah adalah pertanyaan tentang kota. Karena, akar dari urban triumphalism adalah sebuah lompatan logika: masalah-masalah urban seolah selalu selama (pre-defined challenges) dan harus direspon secara strategis. Kita harusnya mampu bertanya hal-hal lain yang lebih krusial.

Dengan asumsi bahwa kota adalah produk sosial dan terus berubah-ubah, agaknya lebih penting untuk bertanya: apa sebenarnya faktor yang menciptakan ketidakmerataan di/antar kota? Untuk siapa kota dibangun? Siapa yang memiliki suara untuk melakukan perubahan tersebut? Implikasi dari perubahan mindset ini adalah repolitisasi isu-isu tentang kota, mengembalikannya dari proses-proses apolitis yang didominasi wacana urban triumphalism tadi.

Proses urbanisasi juga tidak terjadi hanya secara fisik dan di daerah yang kita kenal sebagai “metropolitan” saja. Ada relasi yang sangat kuat (biasanya bersifat ekstraktif) — apalagi saat bicara tentang urbanisasi di Indonesia — antara kota dan daerah yang kita sebut “perdesaan”.

Dimensi keseharian warga juga tak kalah penting dibanding dimensi makro seperti praktik spasial dan regulasi teritorial: bagaimana warga bernavigasi, bertahan hidup, dan mereproduksi ruang akibat aglomerasi, urbanisasi di daerah-bukan-kota, atau proses gentrifikasi.

Sebagai gagasan arus utama, urban triumphalism — seperti namanya — selalu mengedepankan kota sebagai penyelamat masa depan umat manusia. Selagi dominan, maka ia juga terus akan mengundang manusia datang ke kota, membuat pemerintah fokus membangun dan mengeksploitasi peluang di kota, serta menarik pihak privat untuk berinvestasi di kota.

Di satu sisi, masih banyak warga hidup dalam kerentanan. Di sisi lain, kita tidak dapat menghindari fakta bahwa ada peluang-peluang bagi warga di kota: mobilitas sosial, kebebasan berekspresi, pengembangan diri, bahkan perluasan khazanah akan pengetahuan kota itu sendiri dan pilihan-pilihan yang bisa ditempuh. Sejauh apa keduanya berkembang tentu bergantung pada perspektif mana yang kita pilih: kemenangan kota atau kemenangan warga?

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between