IDE / WARGA

Kita (Sebenarnya Tidak) Malas Berjalan Kaki

Kolektif Agora
Kolektif Agora
Published in
8 min readFeb 5, 2022

--

Foto oleh Sean Weaver di Unsplash, 2020.

Oleh: Muhammad Zulyadri

COVID-19 yang melanda dunia saat ini seringkali membuat kita memikirkan bagaimana kehidupan sebelum pandemi: masa-masa ketika kita bebas bepergian dan bebas melakukan bermacam aktivitas sosial di luar rumah tanpa khawatir tertular virus. Saat menulis tulisan ini, pikiran saya sendiri sedang berjalan-jalan ke dunia pra-COVID-19 yang sepertinya sudah sangat jauh di belakang, sembari bertanya-tanya kapan semuanya akan kembali seperti sedia kala.

Tapi, dari sekian banyak hal yang diingat, entah mengapa pikiran saya tiba-tiba tertumpu pada satu hal ini, barangkali memang karena ada kaitannya dengan bepergian: Indonesia pernah dicap sebagai negara yang “paling malas berjalan kaki”.

Pada tahun 2017, sebuah riset bertajuk “Activity Inequality” dilakukan oleh tim dari Stanford University. Dari 46 negara yang menjadi fokus penelitian, Indonesia menduduki peringkat terbawah dengan rata-rata masyarakatnya hanya berjalan kaki 3.513 langkah per hari, sementara peringkat teratas diduduki oleh Hong Kong dengan rata-rata 6.880 langkah per hari. Angka itu jauh di bawah rata-rata, yakni 4.961 langkah per hari.

Bagi warga daerah perkotaan, berjalan kaki terkadang menjadi hal yang kurang dipedulikan dalam kehidupan. Gaya hidup serba cepat menjadikan alasan banyak dari kita enggan berjalan kaki. Iklim tropis membikin berkeringat dan tidak nyaman untuk berjalan kaki jauh-jauh.

Tapi, jika iklim saja dijadikan alasan enggan berjalan kaki, mengapa saudara sesama tropis kita, yaitu Singapura, tidak termasuk ke dalam negara yang malas berjalan kaki? Di negeri yang hanya seukuran satu kota itu, masyarakatnya rata-rata berjalan kaki 5.674 langkah per hari. Mungkinkah ada alasan lain yang menjadikan masyarakat Indonesia, khususnya di perkotaan, malas berjalan kaki?

Ramai media memberitakan penobatan yang tidak membanggakan ini. Kondisi fasilitas pejalan kaki yang belum memadai menjadi kambing hitam atas predikat tersebut. Namun, ada hal yang mengganjal perhatian saya. Hasil riset dirilis pada tahun 2017, yang berarti survei tersebut ada dalam periode 2013–2018, periode ketika Bapak Ridwan Kamil menjabat sebagai wali kota Bandung, periode di mana perbaikan besar-besaran terhadap fasilitas pejalan kaki sedang gencar-gencarnya dilakukan di Kota Kembang.

Betul, buruknya kualitas fasilitas pejalan kaki di banyak kota besar di Indonesia, tidak terkecuali Bandung, memang menjadi bulan-bulanan yang perwujudannya ada tepat di pelupuk mata. Tapi, apakah menyembelih kambing hitam yang satu ini adalah satu-satunya jalan untuk meningkatkan minat berjalan kaki?

Mengingat, hingga sesaat sebelum pandemi saja, saya sebagai warga Kota Bandung masih tergolong “malas berjalan kaki”. Ke mana-mana, saya mengendarai sepeda motor yang dari umurnya sudah bisa dibilang ketinggalan zaman. Bukan tanpa alasan, sepeda motor tua itu memberikan saya keleluasaan untuk bepergian bahkan di waktu-waktu yang tidak biasa.

Saya menduga, jika berjalan kaki merupakan salah satu bentuk mobilitas, mungkinkah ada hubungan antara minat berjalan kaki dengan keberadaan transportasi publik yang memadai?

Budi Sang Pekerja Shift

Saya mencoba membayangkan tinggal di kota tempat tinggal saya tanpa memiliki kendaraan pribadi. Untuk peran ini, sebut saja nama saya adalah Budi. Budi adalah seorang karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan yang menerapkan sistem kerja yang terbagi ke dalam dua shift: pagi dan sore.

Jarak dari tempat tinggal Budi ke tempat kerjanya adalah delapan kilometer. Tentu, ini bukan walkable distance, jika kita mengambil standar baik 400 meter atau 1.500 meter. Jadi, Budi biasanya naik angkot untuk sampai ke tempat kerjanya.

Bekerja pada shift pagi tidak pernah menimbulkan masalah untuk pergi ke tempat kerja. Budi bisa berjalan kaki ke pemberhentian angkot, lalu naik angkot sampai ke dekat kantor, kemudian ia bisa menghabiskan sisa perjalanan dengan berjalan kaki lagi.

Masalah baru akan timbul ketika Budi harus menjalani shift malam, di mana ketika jam pulang kerja, kantor tempat Budi bekerja sudah tidak dilewati angkot. Apakah Budi lantas berjalan kaki sejauh delapan kilometer untuk kembali ke tempat tinggalnya? Tidak.

Budi sadar jika esok hari ia masih harus bekerja. Berjalan kaki sejauh delapan kilometer hanyalah pilihan yang kurang rasional dan akan membuat dirinya terlampau lelah untuk bisa bekerja lagi esok harinya. Budi akhirnya memilih menggunakan jasa ojek daring, kendati harus mengeluarkan ongkos lebih besar. Tanpa disadari, hal ini juga mengurangi jatah berjalan kaki hariannya.

Ani yang Akhirnya Membeli Kendaraan Pribadi

Kesulitan Budi pun bisa dialami oleh orang yang bekerja tidak dengan sistem shift. Kali ini, sebut saja kawan kita seorang karyawati bernama Ani. Ani bekerja di sebuah perusahaan yang menerapkan jam kerja nine-to-five, jam kerja normal pada umumnya.

Namun, jika harus lembur, Ani bisa saja pulang pada pukul tujuh malam, bahkan lebih. Karena permintaan lembur kadang datang secara mendadak, Ani lebih memilih untuk pergi-pulang kantor menaiki skuter matic yang ia cicil baru-baru ini.

Dahulu, sebelum mengambil cicilan skuter matic, Ani selalu pergi-pulang kantor menaiki bus kota. Tapi, meski kantornya terletak di jalan yang dilalui trayek bus kota, lewat pukul 18.00 bus sudah tidak beroperasi.

Tidak mau terjebak masalah yang sama setiap kali harus pulang lembur, Ani akhirnya memutuskan untuk mengambil cicilan skuter matic dengan uang muka yang murah. Lalu, telah berubah menjadi pengguna kendaraan pribadi sepenuhnya. Naik kendaraan pribadi pun telah menghapus keharusannya untuk berjalan kaki dari/ke halte.

Ada banyak Budi di luar sana yang pada akhirnya mengambil langkah yang sama dengan Ani: mengambil cicilan kendaraan pribadi dengan uang muka murah. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa selama 20182020, jumlah kepemilikan sepeda motor bertambah sebanyak 8.365.087 unit. Jika saya menjadi Ani, pada tahun 2021 ini, saya akan bersyukur karena telah mengambil cicilan skuter matic. Bayangkan, jika tidak, jangankan lewat pukul 18.00, ketika tulisan ini dibuat, delapan trayek bus kota di Bandung telah berhenti beroperasi dan menjadi tidak tersedia pada jam-jam apapun.

Transportasi Publik dan Minat Berjalan Kaki

Secara ilmiah, hubungan antara keberadaan transportasi publik dengan meningkatnya minat berjalan kaki dibuktikan oleh riset dari Freeland dkk. (2013) yang berjudul “Walking Associated with Public Transit: Moving Toward Increased Physical Activity in the United States”. Riset dilakukan dengan mengamati mobilitas warga Amerika Serikat di berbagai wilayah dari kota kecil hingga kota besar. Data yang digunakan adalah hasil survei National Household Travel Survey (NHTS) dari Department of Transportation (DoT) Amerika Serikat pada tahun 2001 dan 2009.

Sebagai catatan, NHTS adalah survei yang dilakukan per enam sampai delapan tahun sekali. Selama survei, responden diharuskan untuk memberikan data demografis dan mengisi buku harian. Buku harian tersebut diisi dengan rincian kegiatan bepergian (waktu, tujuan, dan moda yang digunakan) pada hari yang ditentukan.Tujuan bepergian mencakup semua jenis destinasi dan maksud, termasuk pergi ke sekolah, pergi bekerja, menghadiri kegiatan sosial, mengunjungi teman atau sanak saudara, mengantar seseorang, hingga berobat ke dokter. Parameter yang diamati dalam riset ini adalah durasi berjalan kaki.

Riset tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di kota besar dengan akses terhadap moda angkutan kereta api dan bus 72% lebih mungkin untuk berjalan kaki 30 menit atau lebih per harinya. Riset ini memang berbeda dengan riset dari Stanford University sebab menggunakan durasi berjalan kaki sebagai parameter, bukan jumlah langkah kaki. Namun, tentunya kita bisa memahami bahwa semakin lama orang berjalan kaki maka semakin banyak pula langkahnya.

Peningkatan minat berjalan kaki juga diakui masih dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti kondisi demografis (terutama tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan), dan preferensi terhadap kendaraan. Masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah (di bawah $15.000 per tahun) dan berpendidikan di bawah SMA merupakan kelompok masyarakat yang mendominasi golongan ini.

Meski demikian, riset tersebut tetap menyatakan bahwa peningkatan keaktifan fisik warga adalah co-benefit dari keberadaan transportasi publik. Alasannya jelas, lantaran sebagian besar perjalanan menggunakan transportasi publik diawali dan diakhiri dengan berjalan kaki.

Ya, seperti Budi jika sedang tidak menjalani shift sore dan Ani sebelum membeli kendaraan pribadi.

Membenahi Infrastruktur

Bagaimana jika kita melirik negara lain, misalnya Singapura? Tidak perlu diragukan bahwa negara tersebut adalah salah satu pemilik sistem transportasi perkotaan terbaik di dunia. Sistem mass rapid transit (MRT) yang tersohor itu memiliki panjang jalur keseluruhan 216 km, menjadikannya sistem metro yang paling ekspansif di Asia Tenggara.

Negara pejalan kaki paling rajin di dunia, Hong Kong, pun memiliki hal yang sama. Sistem metro kenamaannya, Mass Transit Railway (MTR), memiliki panjang jalur keseluruhan 174 km yang setiap harinya mengangkut lima juta penumpang.

Sederhananya, masyarakat di kedua negara itu pun tidak rajin berjalan kaki dengan sendirinya. Manusia adalah makhluk kebiasaan, dan kebiasaan tidak terbentuk tanpa faktor pendorong dan tidak terbentuk hanya dalam semalam pula. Salah satu faktor itu adalah keberadaan transportasi publik yang andal.

Apakah ini artinya trotoar tidak perlu diperbaiki? Jawabannya tentu perlu. Di mana masyarakat akan berjalan kaki dari/ke pemberhentian transportasi publik kalau bukan di trotoar? Acapkali, kita menemukan trotoar yang berlubang, memiliki perbedaan ketinggian yang ekstrem, tidak dilengkapi guide block (lajur pemandu), bahkan terhalang pohon dan tiang listrik/telepon. Belum lagi, banyak di antaranya yang beralih fungsi menjadi tempat parkir kendaraan atau tempat berjualan. Selain tidak nyaman dipakai untuk berjalan kaki, trotoar dengan kondisi seperti ini hampir mustahil bisa digunakan oleh kaum difabel.

Perbaikan trotoar yang diperlukan meliputi pembenahan tiang listrik/telepon dan vegetasi, perbaikan terhadap lubang-lubang yang ada, penyesuaian lebar trotoar, penyesuaian kemiringan dan kelandaian trotoar, penyediaan akses penyeberangan sebidang, penyediaan passing place bagi kursi roda, dan penyediaan informasi pejalan kaki termasuk guide block yang berperan sebagai penyedia informasi bagi pejalan kaki tunanetra. Semuanya harus mengacu pada standar yang ditetapkan pada Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tanggal 26 Februari 2018.

Tentu, kita sudah tidak asing dengan fenomena “pergi ke warung yang dekat, tapi naik motor.” Trotoar yang memenuhi standar akan menarik minat orang-orang yang selama ini terbiasa menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian dalam jarak yang masih termasuk walkable distance untuk mau berjalan kaki, dan juga yang terpenting: memfasilitasi kaum difabel untuk menggunakannya.

Hal lain yang juga dapat menarik minat masyarakat untuk berjalan kaki ialah perbaikan fasilitas pejalan kaki yang menghubungkan beberapa prasarana seperti halte-stasiun, antarstasiun, dan antarhalte. Hal ini penting untuk mengakomodasi perpindahan antarmoda yang dilakukan dengan berjalan kaki bagi orang-orang yang harus menaiki lebih dari satu jenis atau rute angkutan umum.

Upaya ini sudah dilakukan di Jakarta pada tahun 2019, yaitu penataan fasilitas pedestrian Jalan Kendal untuk koneksi tiga stasiun (Stasiun Sudirman, Stasiun BNI City, dan Stasiun MRT Dukuh Atas). Baru-baru ini juga telah diresmikan Skybridge Centrale Stichting Wederopbouw (CSW) yang mengintegrasikan Halte Transjakarta CSW dengan Stasiun MRT ASEAN.

Langkah ini merupakan langkah yang bagus dan patut dicontoh oleh kota-kota lain di Indonesia. Tapi, bagaimana mau mengintegrasikan aneka moda jika moda transportasi publiknya nirwujud?

Ya, inilah fakta yang tidak populer versi saya: kita sebenarnya tidak malas berjalan kaki, melainkan setelah berjalan kaki, kita bingung harus naik transportasi publik yang mana. Bagaimana kita bisa naik transportasi publik kalau transportasi publiknya tidak andal atau bahkan sudah berhenti beroperasi?

Kepada Bapak-Ibu yang duduk sambil diskusi, tolong jangan hanya mengimbau kami untuk berjalan kaki. Tapi, buatlah kami bisa berjalan kaki.

ReferensiAlthoff et al. (2017). Large-scale Physical Activity Data Reveal Worldwide Activity Inequality. Springer Nature. (http://activityinequality.stanford.edu/)Freeland et al. (2013). Walking Associated with Public Transit: Moving Toward Increased Physical Activity in the United States. American Journal of Public Health. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3673499/)Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No 02/SE/M2018 tanggal 26 Februari 2018 (https://jdih.pu.go.id/detail-dokumen/2282/1)Badan Pusat Statistik. Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis (Unit), 2018–2020 (https://www.bps.go.id/indicator/17/57/1/jumlah-kendaraan-bermotor.html)

--

--