Editorial

Koar Trotoar di Kota Kembang

Menyingkap Dusta dalam Hakikat Jalur Pejalan Kaki

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

--

Foto oleh Sangkara Nararya, 2017

Pada tanggal 5 Oktober yang lalu, saya tidak sengaja membaca berita soal turis Belanda yang kakinya patah karena terperosok ke dalam trotoar di Jalan Dago. Pak Ridwan Kamil pun akhirnya meminta maaf atas insiden yang menimpa Marion (nama si bule) dan menyatakan mengganti seluruh biaya perawatan, biaya inap di hotel, serta ongkos pulang ke Belanda. Selain itu, karena insiden trotoar bolong ini telah merusak rencana liburan sang bule dan suaminya, maka Ridwan Kamil juga akan menyediakan paket wisata gratis jika mereka nanti kembali lagi ke Indonesia.

Dengan kondisi beberapa trotoar yang masih kurang layak, pemerintah Kota Bandung pun berencana memperbaiki dan memperindah beberapa titik trotoar di Kota Bandung. Anggaran yang dikucurkan cukup besar, yakni sebesar 170 milyar rupiah. Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Bandung menyatakan bahwa anggaran tersebut tidak hanya digunakan untuk memperbaiki trotoar saja, tapi juga gorong-gorong yang ada di bawahnya.

Beberapa dari kita yang pernah berjalan di kawasan Dago, Jalan Riau, atau juga di kawasan Sudirman mungkin merasa cukup puas dan nyaman berjalan di atas trotoar yang sudah “indah”. Pusat perbelanjaan seperti mall sekarang tersaingi oleh hijaunya rerumputan di pinggiran jalan, pohon rindang, lampu vintage dengan ornamen harimau, dan bangku antik serta bongkahan batu estetik. Wisata belanja dan kuliner juga seringkali menghidupi trotoar tersebut, menguatkan karakter Kota Bandung sebagai destinasi wisata yang ciamik.

Namun, ada beberapa hal yang mungkin sering kita lupakan, seperti hakikat dari keberadaan trotoar itu sendiri serta makna dari kegiatan yang kita lakukan di atas trotoar tersebut. Proses revitalisasi trotoar (bagi yang belum tahu) seringkali dihiasi konflik dengan PKL, bahkan juga dengan pemilik usaha yang gedungnya dilewati trotoar tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kesetimpalan dari proses pembangunan trotoar dengan dampak buruk yang ditimbulkannya.

Sedikit Menelaah Sejarah Trotoar

Trotoar (dalam bahasa Inggris: sidewalk) merupakan sebuah objek yang pertama kali dibangun pada 2000 sampai 1990 SM, di wilayah yang saat ini menjadi negara Turki. Selanjutnya, Yunani dan Roma Kuno juga membangun tempat pejalan kaki di pinggiran jalannya. Namun, trotoar menjadi terkenal dan diadaptasi oleh berbagai kota di dunia setelah Georges-Eugene Haussmann membangunnya di Paris tahun 1850-an sampai 1860-an.

Pada saat itu, di bawah pengawasan Napoleon III, Haussmann memiliki kewenangan yang luas dalam mempercantik Kota Paris. Pada masa inilah sebenarnya trotoar menjadi sebuah ikon, dengan kursi-kursi taman dan pepohonan rindang. Trotoar ini menjadi tempat favorit kaum elite nan kaya Kota Paris, dan juga menjadi cikal bakal romantisisme kota-kota di Eropa.

Latar belakang pembangunan trotoar tersebut sebenarnya berasal dari perhatian kota-kota pada abad ke-19 terhadap kesehatan publik. Sebelum adanya trotoar, di kota-kota Eropa dan Amerika, urin manusia dan kotoran kuda banyak memenuhi jalanan. Selain itu, kereta kuda dan manusia juga menempati jalur yang sama dalam bergerak, sehingga warga kota pada saat itu sedikit mempertaruhkan nyawa jika hendak berpergian ke luar rumah.

Sama seperti tubuh yang sehat, perencana kota saat itu berpendapat bahwa kota yang sehat harus memiliki sirkulasi udara, manusia, dan kendaraan yang baik. Permukaan beraspal untuk berjalan ini — sejalan dengan pengembangan sistem drainase — menyelamatkan warga kota dari berbagai kotoran, terutama kotoran cair yang pada saat itu banyak menyebabkan penyakit di kota-kota Eropa. Saat itu, pada akhirnya trotoar menjadi simbol moralitas dan higienitas.

Karya Haussmann selanjutnya banyak diadaptasi di kota-kota lain seperti Vienna dan Barcelona, serta menginspirasi City Beautiful Movement di kota-kota di Amerika. Trotoar membuat jalanan kota menjadi sesuatu yang dapat dinikmati oleh mereka yang tidak menggunakan kendaraan dan membentuk lansekap baru dalam kehidupan perkotaan. Pada akhir abad ke-19, trotoar menjadi salah satu fitur paling umum dari kota-kota besar.

The Dark Side of Sidewalks

Perwujudan konsep trotoar yang diusung Haussmann di pada masa Second Empire Paris tersebut merupakan salah satu hal saja dalam proses pembangunan ulang kota tersebut secara keseluruhan. Dalam tulisannya The Right to the City, David Harvey (2012) menjelaskan bahwa Haussmann sepenuhnya mengerti bahwa misinya adalah untuk membantu permasalahan pengangguran dan kapital surplus lewat urbanisasi. Alih-alih membangun dan memperbaiki infrastruktur kecil, ia banyak merubah hal secara masif. Hal ini tentunya membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit, terutama sumber daya finansial.

Foto oleh Sangkara Nararya, 2017

Sistem pembiayaan pembangunan lewat hutang terhadap institusi finansial pada akhirnya membentuk spekulasi yang terus meningkat, sehingga pada tahun 1868, berbagai proyek tersebut dihentikan dan Haussmann juga diberhentikan dari jabatannya. Didukung kekalahan Napoleon III terhadap Bismarck (Jerman), kekosongan kekuasaan membangkitkan Paris Commune, salah satu episode revolusioner paling hebat dalam sejarah kapitalisme perkotaan. Commune ini merupakan hasil tempaan nostalgia terhadap kehidupan urban yang telah dihancurkan oleh pembangunan yang dilakukan Haussmann.

Sampai di sini, ada dua hal yang menjadi poin penting dari cerita pembangunan trotoar oleh Haussmann di Paris. Pertama, niat Haussmann dalam membentuk kota yang mampu menyerap surplus sebesar-besarnya adalah dengan membuat Paris menjadi pusat konsumsi, wisata, dan kesenangan dengan berbagai kafe, toko, industri fashion, yang didukung persona urban yang dibentuk ruang-ruang publik (seperti contohnya trotoar yang indah) dan juga lansekap kota yang sesuai. Gaya hidup urban ini hanya dimiliki oleh kalangan elit dan burjois saja, dengan menyisihkan kaum tradisionalis dan kaum pekerja yang tidak bisa (atau tidak ingin) memiliki gaya hidup yang sama. Tidak heran bahwa dengan runtuhnya kekuasaan Haussmann dan Napoleon III, mereka mulai mengambil alih kembali kotanya.

Kedua, proses pembangunan trotoar tersebut juga membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga seringkali memaksa pemerintah memutar otak untuk mendapatkan sumber aliran dana lain selain dari anggaran yang sudah ada. Saat ini, mungkin kita tengah banyak mengetahui berbagai alternatif sistem pembiayaan infrastruktur seperti public-private partnership (PPP) yang sering diadaptasi banyak kota di Indonesia, yang seolah-olah menunjukkan inovasi dengan raut “masih adanya” keterlibatan pemerintah. Namun hal tersebut juga harus terus dipertimbangkan kembali, karena logika pekerjaan umum yang seharusnya berasal dari pajak dan dikembalikan lagi ke masyarakat, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat.

Menyoal Kembali Trotoar dan Hak atas Kota

Melalui kasus si-bule-yang-kakinya-patah-karena-masuk-got pada awal tulisan, saya hendak menyampaikan bahwa dengan melihat etiket Pak Walikota terhadap korban, kita bisa sedikit menelaah kembali tujuan pembangunan kota ini. Saat ini, dengan banyaknya proyek-proyek infrastruktur seperti pembangunan trotoar, perbaikan drainase, pembangunan rumah susun, pembangunan jalan layang, metro-capsule, dan sebagainya, kita melihat bahwa terdapat kesamaan antara Bandung saat ini dengan Paris yang dijelaskan sebelumnya. Penyerapan surplus kapital berkedok citra “wisata” ini berarti tidak boleh dilanggengkan begitu saja. Karena, kita bisa melihat bahwa hak atas kota kita direnggut diam-diam, baik dalam proses perumusan pembangunan serta dalam implementasinya.

Saya pun berandai-andai jikalau korban adalah warga Kota Bandung, apakah beritanya akan seramai kasus si bule, atau juga apakah sang korban akan mendapat perlakuan yang sama dengan si bule. Di sini, penting untuk mendiskusikan kembali mengenai kepemilikan mendasar dari ruang publik semacam trotoar. Apakah tujuan akhir dari membangun dan memperindah trotoar? Apakah trotoar memang dibangun atas nama kenyamanan berjalan kaki saja, ataukah juga sebagai jalur sirkulasi kapitalisme yang menelantarkan hak-hak yang lebih fundamental dan hakiki dari pengguna ruang publik? Apakah pada akhirnya seluruh uang yang dihamburkan dan darah yang bercucuran dari konflik yang ditimbulkan setimpal dengan hasil yang didapat?

Agaknya tidak terlalu jauh membandingkan Paris dengan Paris van Java, kan?

Referensi

Naufal Rofi Indriansyah
Koresponden Kolektif Agora

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between