Kontemplasi Paradigma Perencanaan Pembangunan
Oleh: Tessa Talitha
Perencanaan dan pembangunan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, di mana kedua konsep tersebut memiliki tujuan yang sama untuk mengubah struktur sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada dasarnya, perencanaan merupakan salah satu aspek dalam praktik pembangunan, di mana umumnya perencanaan digunakan untuk menjadi pedoman dalam mengelola atau mengatur suatu wilayah serta aktivitas yang berada di dalamnya dalam rangka mencapai target. Apakah seperti itu yang terjadi pada kenyataannya? Ada satu hal yang bisa kita jabarkan untuk dapat menilai hal tersebut, dalam hal ini melalui sudut pandang seorang perencana (planner).
Tumbuh dan berkembang di Indonesia memengaruhi cara pandang kita semua terhadap perencanaan wilayah dan kota. Perencanaan pada umumnya identik dengan dokumen-dokumen yang berisi arahan pembangunan (biasa kita kenal dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang/Menengah — RPJP/RPJM), ataupun penerapannya secara ruang (biasa dikenal dengan Rencana Tata Ruang Wilayah — RTRW). Dokumen perencanaan ini pada umumnya diejawantahkan berdasarkan suatu objek pembangunan, di mana objek tersebut merupakan wilayah administrasi dalam berbagai level (nasional, provinsi, kabupaten/kota). Namun, di samping itu juga terdapat perencanaan lintas wilayah administrasi, di mana merupakan wilayah yang memiliki fungsi tertentu atau kebutuhan perencanaan khusus, seperti wilayah metropolitan, wilayah daerah aliran sungai, wilayah perbatasan, dan sebagainya. Dalam proses melakukan perencanaan tersebut, planner umumnya melakukan survei ke wilayah perencanaan dan menjalani serangkaian pengumpulan data dan analisis. Kondisi dan karakteristik wilayah dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, lingkungan, sarana prasarana, sosial, kelembagaan, dan sebagainya pun menjadi dasar informasi yang dibutuhkan untuk menyusun rencana.
Dari sekilas penjabaran konsep perencanaan tersebut, dapat kita lihat bahwa perencanaan di Indonesia bersifat top-down, di mana planner dianggap mengetahui yang terbaik untuk wilayah tertentu (objek perencanaan). Planner dapat menggunakan expert judgement-nya untuk mengatur konsep, arahan, strategi, dan program pengembangan wilayah. Pada kenyataannya, kita semua telah memiliki mindset terkait tujuan ideal perencanaan dan pembangunan, yaitu untuk mendorong perekonomian dan menyejahterakan masyarakat, dan hal tersebut telah terstandardisasi seperti yang dikatakan oleh McMichael (2012). Sehingga, munculah formula bahwa hasil perencanaan yang baik sama dengan performa wilayah yang diukur dengan pertumbuhan ekonomi signifikan, pembangunan infrastruktur besar-besaran, Indeks Pengembangan Manusia (IPM) tinggi dan sebagainya. Definisi pembangunan tipe 2 menurut Sumner dan Tribe (2008) juga menjelaskan bahwa indikator daya saing wilayah menjadi dasar untuk menentukan target perencanaan, yang mana hal tersebut harus dapat terukur dalam jangka waktu pendek atau menengah.
Namun, pandangan fenomenal Escobar (2012) membuat paradigma perencanaan yang berlaku tersebut dipertanyakan. Beliau mengkritik pencipta populer konsep pembangunan “Truman”, bahwa pembangunan justru menghasilkan kegagalan dan peningkatan kemiskinan yang besar-besaran di berbagai wilayah. Konsep pembangunan tersebut telah menghasilkan “a single story”, bahwa pembangunan dianggap sebagai obat mujarab di mana akan menyelesaikan persoalan khususnya di negara-negara berkembang sebagai targetnya. Hal ini sama seperti analogi planner yang merencanakan wilayah yang bahkan sebelumnya belum pernah dia datangi, namun seketika dengan melakukan survey lapangan seakan-akan mengetahui apa yang terbaik untuk menyejahterakan masyarakat di sana. Sebagai seorang planner kita dengan mudah saja mengategorisasikan wilayah ke dalam strata tertentu, seperti “developed” dan “underdeveloped”, di mana wilayah tertinggal harus ditingkatkan pembangunannya melalui serangkaian konsep pengembangan wilayah.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apabila target pembangunan menuju hal yang relatif sama, lalu apakah semua daerah harus memiliki karakteristik yang sama pula? Kita ambil contoh Jakarta yang tergolong wilayah “developed” dan Papua yang tergolong wilayah “underdeveloped” di Indonesia. Apabila mengacu pada konsep pembangunan, apakah pada akhirnya Papua harus menjadi seperti Jakarta, yang memiliki gedung-gedung pencakar langit, infrastruktur dan teknologi tinggi, masyarakat yang memiliki gaya urban, dan sebagainya? Bagaimana dengan nasib masyarakat adat (indigenous people) yang memiliki budaya dan ciri khas jauh berbeda? Serta, bagaimana dengan nasib wilayah yang memiliki karakteristik kegiatan utama pertanian? Apakah mereka harus berubah menjadi wilayah industri dan perdagangan jasa hanya untuk dapat menjadi wilayah “maju”?
Saat ini, sudah banyak praktik-praktik di mana perencanaan berbasis daya saing wilayah telah mengubah struktur sosial masyarakat dalam suatu wilayah akibat mendorong pembangunan. Contoh kecil di mana wilayah Kabupaten Bekasi yang dulunya memiliki karakteristik wilayah pertanian, saat ini telah bertransformasi menjadi daerah industri dan melalui proses industrialisasi. Dalam teori tahapan pertumbuhan wilayah oleh Rostow memang disampaikan bahwa industrialisasi merupakan tahapan yang perlu dilewati dalam kemajuan suatu daerah. Tapi, apa dampaknya pada kasus Bekasi? Mungkin perekonomian menjadi tumbuh dengan adanya kegiatan industri, namun apakah masyarakatnya mendapatkan manfaat secara langsung dari sana? Hal yang secara langsung dialami oleh masyarakat yaitu bahwa lahannya digusur untuk menjadi lahan industri dan kehilangan mata pencahariannya, sehingga harus pindah ke tempat lain. Sehingga, dapat dianggap bahwa konsep pembangunan ini menjadi suatu imajinasi yang memperlihatkan kualitas daerah dari sudut pandang angka dan standar tanpa menunjukkan secara langsung dampak yang dirasakan oleh masyarakat.
Di sini kita menyadari bahwa perencanaan pada dasarnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan yang telah diformulasikan oleh sekelompok orang atau negara yang memiliki kuasa untuk mengontrol wilayah lainnya, melalui konsep ideal tersebut. Perencanaan dan pembangunan di Indonesia telah mengalami westernization dalam konsep idealnya, yang mana menjadikan Amerika-Eropa atau yang kita sebut top countries sebagai orbit dalam tujuan pembangunan. Padahal, pada dasarnya karakteristik wilayah, historis, sosial, budaya, dan sebagainya sangatlah berbeda. Hal ini sama saja dengan menyatakan Indonesia tidak akan lagi mempunyai jati diri di masa depan, melainkan akan bertansformasi menjadi wilayah-wilayah percontohan seperti yang misalnya kita sebut dengan New York, London, ataupun Shanghai versi Indonesia. Masyarakat Indonesia akan didorong untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pembangunan daerah, bukan sebaliknya.
Proses mengubah paradigma perencanaan dan pembangunan pada dasarnya sangatlah sulit dan menantang. Escobar memang telah memberikan dobrakan mengenai alternatif konsep dalam pembangunan yang mencerahkan planner, tetapi si sisi lain juga membingungkan. Konsep pembangunan yang menjadikan wilayah perencanaan sebagai subjek dalam pembangunan telah banyak beredar, namun masih jarang diterapkan dan masih belum jelas terukur hasilnya. Dalam pandangan saya pribadi, ide-ide alternatif perencanaan dalam pembangunan harus didorong serta dimulai dengan menemukenali isu dan permasalahan yang ada di wilayah perencanaan. Kesadaran kita sebagai planner juga menjadi penting dalam proses merumuskan konsep pembangunan yang tidak menggeneralisasi kebutuhan setiap ornamen-ornamen wilayah di Indonesia. Selain itu, target pembangunan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, bukan kebutuhan planner maupun kepala daerah dan pemangku kepentingan lainnya. Yang terpenting yaitu, sebagai planner, jangan sampai kita menjadi alat kepentingan sekelompok orang tertentu, tetapi jadilah alat kepentingan masyarakat.
Referensi
- Escobar, A. (2012) Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World. Introduction, pp. 3–20. Princeton: Princeton University Press.
- McMichael. P. (2012) Development and Social Change. A Global Perspective. Fifth Edition. Chapter 1, pp. 1–25. London: Sage.
- Sumner, A. and M. Tribe (2008) What is Development? International Development Studies, Theories and Methods in Research and Practice. Chapter One, pp. 1–22. London: SAGE.
Tessa Talitha
Alumni Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung
Penganut Paham Post-development
tessatalitha92@gmail.com