ESAI / WARGA

Kosa Kota: Perbincangan Soal Kota Masih Terus Ada

Merayakan Hari Jadi Kolektif Agora

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora

--

Dokumentasi Diskusir #8. Foto oleh Shafiera Syumais.

Motivasi saya dalam menjalankan Kolektif Agora sebenarnya bisa dibilang cukup egois. Dengan menjadikannya ruang untuk kabur dan menjaga kewarasan, Kolektif Agora sudah lebih dari cukup buat saya. Jadi, kalau ada yang mencibir bahwa Agora untuk kepuasan pribadi: ya, tidak salah juga, karena memang begitu adanya.

Saya kira juga, tidak sepenuhnya salah untuk memosisikannya begitu. Memaksakan wadah informal ini untuk menjadi driving factor dalam perbaikan kehidupan kota hanya menjadikan aktivitas ini tiring dan exhausting. Cuma membuat capek saja. Justru, motivasi yang sifatnya lebih personal membuat perjalanannya lebih panjang, meski tidak ngebut. Ya, untuk bisa terus berjalan sampai empat tahun, memang tidak perlu ngebut, sih.

Meski begitu, saya tetap berusaha bertanggungjawab terhadap aktivitas ini. Selain menjaga akurasi substansi, sebisa mungkin aktivitas ini dilakukan dalam kerangka theory of change yang jelas. Dengan kata lain, artikel atau konten yang dipublikasikan di bawah bendera Kolektif Agora punya artikulasi yang jelas soal mengapa ia harus dibicarakan, dan seperti apa perubahan yang diharapkan lewat pembicaraan tersebut.

Pendapat ini tidak mewakili prinsip teman-teman lain di Agora, yang kalau dilihat di grup Whatsapp berisi dua puluh lima orang. Tapi, saya kira internal Agora punya pandangan dan nilai yang sejalan soal percakapan mengenai kota ini.

Setelah empat tahun, saya kira perlu ada upaya untuk lebih presisi memosisikan percakapan yang dibawakan oleh Agora dalam arena percakapan soal kota yang lebih luas. Maka, menjadi sangat penting untuk memahami percakapan soal kota yang dibutuhkan saat ini.

Saya menelusuri percakapan soal urban dari sisi akademis. Menggunakan sebuah situs yang membantu saya memetakan topik-topik penelitian yang memiliki kata kunci urban, ditemukan sembilan kluster besar mengenai penelitian tentang urban.

Tentu saja, pemetaan ini penuh keterbatasan. Tools yang dimiliki Scopus punya kemampuan untuk memetakan dengan lebih detail. Sayangnya, saya tidak punya akses ke Scopus. Untuk saat ini, saya memanfaatkan sumber open source ini dulu saja. Meski begitu, saya kira pemetaan ini lebih dari cukup untuk menggambarkan percakapan-percakapan yang mengemuka soal “kota” di dunia penelitian.

Created on 9 Oct 2021 at 21:36 with Headstart and rbace. All content retrieved from BASE.

Dari sembilan klaster tersebut, klaster dengan ukuran paling besar memuat topik perencanaan kota, pengelolaan pertumbuhan kota, dan pembangunan kota.

Topik ini akan terus relevan karena kota akan terus berkembang. Mengelola kota tidak kalah rumit dengan membuat kota tumbuh. Persoalan di kota-kota besar yang harus di-manage bahkan lebih runyam dibanding agenda pembangunan di kota-kota kecil dan kota sedang yang masih mencari carah untuk tumbuh. Belum lagi, urbanisasi sedang menjadi sebuah isu yang hangat-hangatnya. Proyeksi bahwa sebagian besar manusia kelak akan hidup di “kota” membuat para akademisi terus memutar otak soal cara mengelola kota yang baik

Yang menarik, empat klaster lain membicarakan irisan kota dengan aspek lingkungan. Pertama, irisannya dengan krisis iklim, ekologi, ketahanan pangan, dan kehutanan: sebuah konsekuensi logis dari urbanisasi yang terus terjadi. Aspek keberlanjutan yang sebenarnya berlandaskan sudut pandang ekologis semakin mengemuka urgensinya. Belum lagi jika membahas soal ketahanan pangan dan environmental services.

Dugaan saya, para peneliti sudah duluan mencari cara untuk menjaga keseimbangan. Urbanisasi adalah keniscayaan, sehingga daripada memaksakan diri untuk menghentikannya, maka yang penting tentu cara mengelolanya.

Bahasan mengenai pengelolaan kota kemudian menjadi sangat luas ragamnya, sekaligus tetap relevan dengan permasalahan kota hari ini, baik di kota-kota di Indonesia maupun secara global. Misalnya, membicarakan ancaman banjir, ancaman kebakaran, membahas transportasi massal, hingga membicarakan cara menghitung statisik perkotaan persoalan kota hari ini yang harus segera diselesaikan.

Meski kita bisa berdebat soal cara implementasinya, konsep-konsep seperti Sustainable Development Goals dan New Urban Agenda adalah usaha yang cukup baik untuk mengompilasi permasalahan perkotaan. Secara tidak langsung, tujuh belas pilar dalam SDGs itu menggambarkan permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota (dan daerah lainnya), baik secara global dan juga di Indonesia.

Meski seringkali pembahasan soal kota hanya fokus pada pilar sebelas, Sustainable Cities and Communities, enam belas pilar lainnya adalah persoalan yang dihadapi perkotaan juga. Pilar pertama, No Poverty, artinya ada persoalan kemiskinan yang dihadapi di perkotaan. Lihat sendiri bagaimana kemiskinan masih menyelimuti perkotaan kita: data BPS pada Maret 2021 menyebutkan ada 12,2 juta penduduk miskin perkotaan di Indonesia.

Contoh lain misalnya pilar enam soal Clear Water and Sanitation, yang juga persoalan nyata yang dihadapi perkotaan di Indonesia. Kualitas pendidikan di pilar empat juga isu di perkotaan. Krisis iklim di pilar tiga belas bahkan perlu menjadikan kota sebagai subjek utamanya, karena perkotaan adalah salah satu sumber utama krisis iklim. Jadi, ya, kalau mau melihat apa persoalan kota, bisa dilihat dari konsep-konsep yang terkesan romantis itu.

Saya pribadi punya tiga bahasan besar yang untuk diajukan sebagai topik dalam percakapan soal kota. Pertama adalah soal pelayanan dan aksesnya. Bahasan ini menyangkut perumahan, pendidikan, kesehatan, dan berbagai pelayanan dasar. Setidaknya, penuhi dulu deh itu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.

Kedua adalah soal tata kelola, mulai dari urusan korupsi, pengadaan, mekanisme, ketersediaan peta, pemilihan indikator, hingga ketersediaan data statisik untuk mengambil kebijakan. Untuk mengambil keputusan yang tepat sasaran, inputnya harus benar dan cara mengambil keputusannya juga harus ada dasarnya. Tidak bisa suka-suka. Saya kira, kebiasaan dan kegemaran untuk “apa-apa diskresi” ini harus segera disudahi. Perlu juga mulai memikirkan cara membatasi kekuatan eksekutif yang dipilih secara demokratis. Ngaku-ngaku demokratis, tapi tingkahnya seperti raja.

Lalu, yang ketiga adalah cara kita membicarakan kota.

Cara Membicarakan Kota

Setidaknya ada tiga cara membagi arena untuk membicarakan kota. Pertama, percakapan di ruang akademis. Di ruang ini, pembahasan kota lebih advance, dan seringkali berorientasi ke masa depan, mengira-ngira seperti apa arah wacana perkotaan berikutnya. Ada pula memang percakapan yang mencoba menyelidiki fenomena yang sudah terjadi. Tapi, percakapan tersebut sangat kontekstual dan lingkupnya terbatas. Belum lagi jika mempertimbangkan bias akademisi dan bias sudut pandang.

Meski begitu, percakapan di ruang akademis ini penting dalam rangka membangun imajinasi kita soal kemungkinan-kemungkinan soal kota yang lebih baik. Kadang juga, ada akademisi yang idenya radikal dan liar sehingga bisa menjadi horizon untuk menjadi acuan perubahan kehidupan perkotaan.

Kedua, di arena kebijakan. Sebenarnya, percakapan kota di tempat ini tidak terlepas dari dimensi politik dan kepentingan, karena arena kebijakan bercampur dengan keputusan politik. Sehingga, saya kira kita tidak perlu susah-susah memisahkan percakapan soal kota sebagai kebijakan dan sebagai keputusan politik. Toh, kebijakan yang diambil juga sebuah keputusan politik.

Tentu, bukan berarti percakapan di arena kebijakan dan politik ini menjadikannya sebuah percakapan dengan nuansa negatif. Justru, persepsi seperti itu harus dibongkar, karena pada dasarnya di arena inilah kemudi arah perkotaan yang sesungguhnya terjadi.

Wajah kota bisa berubah signifikan dengan waktu yang amat singkat setelah keluar dari arena ini.

Arena ketiga adalah yang paling menarik dan semarak, meski belum terorganisir: percakapan yang terjadi dalam keseharian masyarakat kota. Percakapan ini seringkali terlewatkan, karena ada anggapan keinginan masyarakat soal kota itu liar, tidak teratur, dan sembarangan. Akibatnya, arena ini sering diremehkan atau tidak dianggap valid oleh para pengambil kebijakan (dan juga perencana).

Salah satu contoh percakapan yang akhir-akhir ini terjadi adalah soal tukang parkir. Ada dua pendapat besar mengenai keberadaan tukang parkir liar ini. Pendapat pertama melihatnya dari sudut pandang premanisme kota, di mana banyak jaringan preman dan orang kuat “mengkaveling-kaveling” lahan publik untuk dijadikan tempat mencari keuntungan dengan menarik biaya parkir yang tidak masuk ke kas daerah.

Pendapat kedua melihat parkir liar sebagai bentuk bumper atau jaring pengaman sosial. Adanya keluwesan soal “usaha” hidup ini menyuburkan informalitas, sehingga mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kehadiran negara untuk keluar dari persoalan finansial.

Meski saling bertentangan, kedua pendapat ini sama validnya dan sama pentingnya. Benar bahwa ada jaringan preman yang secara informal menguasai kota, dan itu bukan sebuah kecolongan. Justru, bentuk-bentuk ini adalah kelaziman yang dilanggengkan demi menjaga “kestabilan” politik kota. Jadi, valid sekali jika ada yang mencibir parkir liar, karena memang sudah jadi rahasia umum bahwa parkir liar itu menjadi kantong-kantong pendapatan bagi orang-orang yang berkepentingan.

Di saat yang sama, tidak salah menganggap tukang parkir itu sebagai profesi ribuan manusia di Indonesia. Terlepas mereka setor parkir ke preman, atau bahkan anggota jaringan preman itu sendiri, yang jelas ada penghidupan bagi mereka; di saat lapangan pekerjaan merupakan tempat yang asing bagi para tukang parkir tersebut. Jadi, ya, tidak salah juga menyebutnya sebagai bumper sosial.

Tidak usah jauh-jauh, saya punya pengalaman personal dengan profesi tukang parkir ini. Ada beberapa teman-teman masa kecil saya yang hidupnya kurang beruntung, kemudian menyambung hidup dengan menjaga parkir di ruko-ruko sekitar perumahan saya — tentu tidak sebesar Tanah Abang di Jakarta, atau di Pasar Baru, Bandung. Tapi, profesinya sebagai tukang parkir itu menghidupinya di tengah keterbatasan. Jadi, ya, itu tadi: keduanya, meski bertentangan, sama validnya.

Pertanyaan saya, di mana kedua hal ini dibicarakan dalam arena akademis?Pembahasan yang tempo hari ramai mengenai parkir liar dan hubungannya dengan premanisme dan bumper sosial ini tidak mendapat tempat yang cukup di bidang ilmu perkotaan. Coba saja telusuri, studi kriminologi yang membahasnya juga masih terbatas.

Kalau ditarik sedikit lagi, mungkin bahasan ini masuk persoalan tata kelola. Tapi, urban governance pun tidak menyelami bahasan kriminal ini secara mendalam, terbatas pada bentuk-bentuk korupsi saja. Membahasnya dari sudut pandang informalitas saya kira tidak menyentuh persoalan perkotaan yang lebih mendasar, yaitu pengelolaan yang tidak menyelesaikan hal mendasar seperti akses ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Para ahli transport mungkin mengolok-olok parkir liar ini, dan para pegiat ruang publik bahkan sudah melancarkan perang terbuka terhadapnya. Tapi, sudut akademis akan selalu terbatas pada alat analisis yang dimiliki di bidang ilmu sendiri.

Ahli transportasi atau ahli ruang publik tidak akan bisa menarik relasi antara parkir liar, premanisme, dan bumper sosial. Justru, percakapan-percakapan di ruang maya (ketubiran di Twitter) adalah tempat di mana percakapan itu menghadirkan pendapat dan keluh kesah dari masyarakat kota, pelaku yang memiliki first-hand experience, sekaligus sumber data primer untuk penelitian.

Itu baru satu contoh di mana ruang ketiga ini — arena di mana masyarakat berkeluh-kesah soal kehidupannya di kota — memunculkan wacana perkotaan yang fresh, urgent, tapi tidak dibahas di mana-mana. Tidak di ruang kelas, di dalam penelitian, apalagi di jadi arena kebijakan. Paling-paling, solusinya cuma digusur dan ditertibkan. Tapi, persoalan mendasarnya, akar masalahnya, bahkan tidak tersentuh.

Penutup

Percakapan organik masyarakat perkotaan soal kota tempat tinggalnya terjadi setiap hari. Tidak hanya di media sosial, percakapan yang terjadi ruang-ruang komunal seperti arisan komplek, warung kopi, pangkalan ojek, hingga di belakang gedung perkantoran terus terjadi setiap waktu.

Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana cara menangkap percakapan tersebut, mengorganisasikannya, lalu meramunya menjadi sebuah argumen yang kohesif sehingga bisa diadvokasikan, atau bahkan diagitasikan kepada arena lain seperti arena akademisi dan arena kebijakan. Misalnya, kawan-kawan baik kami di Rame-Rame Jakarta sudah mencoba melakukan upaya tersebut melalui pemetaan dan laporan mendalam mengenai PKL di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta.

Cita-cita ini tidak muluk-muluk. Knowledge Sector Initiative (KSI) melalui Working Paper-nya pada tahun 2018 menemukan indikasi bahwa pendapat dan percakapan publik mulai dilirik oleh pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan. Tentu, konteksnya bukan semata-mata popularitas untuk kepentingan elektoral dan mengeluarkan kebijakan populis, melainkan meletakkan masyarakat sebagai entitas sumber pengetahuan dan dapat memberikan feedback untuk mempertajam kebijakan. Jadi, saya kira masyarakat punya akses lain (selain demonstrasi dan mendorong isu menjadi viral) untuk turut menyampaikan pendapatnya masuk ke dalam arena kebijakan.

Tak lupa, secara personal, bagi saya, mengumpulkan dan mengamati percakapan sehari-hari masyarakat tentang kota ini menjadi jangkar penyeimbang profesi yang saya geluti di kantor pembuat kebijakan. Dengan “semangat ber-Agora”, ada pemikiran skeptis yang muncul tiap kali sebuah kebijakan diambil. Manfaat paling gamblang yang saya rasakan, ya, akhirnya punya modal untuk berpendapat yang tidak text book soal kebijakan yang sedang dirumuskan, tapi tetap punya dasar.

Setidaknya, saya bisa berargumen, Lagi viral, Pak, dan saya kira ini relevan.

Jadi, rasanya wajar jika saya memandang Kolektif Agora dan banyak entitas sejenis yang juga turut membicarakan dan mengadvokasikan isu perkotaan semakin penting keberadaannya dalam percakapan soal kota; tentu, dengan catatan agar wadah-wadah seperti ini lebih sensitif kepada isu dan suara yang ada di masyarakat dan tidak terjebak dalam aktivitas baca-tulis yang tidak membumi dan tidak kontekstual. Catatan lainnya tentu saja agar tidak bias kelas.

Jika syarat-syarat tersebut terpenuhi, mudah-mudahanlah.

--

--