Esai / Warga

Kota dan Kita yang Saling Membasuh

Kolase Perilaku Kolektif Masyarakat Urban Indonesia dalam Menghadapi Pandemi

Nadia Gissma K.
Kolektif Agora

--

Foto oleh Dan Meyers di Unsplash, 2020.

Sejak April 2020, Pemerintah DKI Jakarta mulai menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang juga diikuti oleh kota-kota lain. Akibatnya, banyak sekali pusat kegiatan yang berhenti beroperasi sehingga beberapa kebutuhan menjadi sangat terbatas. Kompensasi pun diberikan dan didistribusikan oleh berbagai tangan, baik pemerintah dan gerakan kolektif masyarakat.

Akhir-akhir ini pun, kita tak lepas melihat semaraknya perilaku dermawan, seperti ajakan untuk berdonasi dan gerakan pintu ke pintu. Hal tesebut berperan besar dan mungkin menjadi salah satu cara beradaptasi masyarakat kita dalam menghadapi wabah COVID-19. Pola perilaku ini cukup unik dibandingkan dengan yang muncul pada bencana-bencana sebelumnya.

Perilaku kolektif tersebut merupakan bentuk dari solidaritas sosial yang tumbuh di jenjang individu dan masyarakat lokal sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Inisiasi ini lahir dari level komunitas sebagai upaya perlindungan diri. Pada tingkat individu, kita juga dapat menemui berbagai gerakan kemanusiaan berbasis sosial seperti kegiatan open donation hingga bantuan jaminan sosial berupa makanan, subsidi kelompok rentan, solidaritas pemotongan gaji, dan lain-lain.

Beberapa Perilaku Kolektif

Gerakan kemanusiaan di tingkat individu memiliki partisipasi yang cukup tinggi di wiilayah perkotaan. Akibat keterbatasan fisik untuk bergerak, media sosial menjadi ruang baru untuk melakukannya. Bentuk-bentuk bantuan yang tidak mengharuskan keluar rumah menjadi pilihan dekat dengan hanya sekali klik. Hal-hal tersebut bergantian muncul di timeline sosial media kita, seperti pengumpulan dana untuk APD, sembako, hingga paket internet untuk keluarga MBR yang anaknya harus bersekolah di rumah.

Selain di dunia maya, kita dapat memperhatikan bentuk solidaritas sosial lain yang muncul di tingkat komunitas atau suatu kelompok masyarakat di suatu lingkungan permukiman. Tidak ada perbedaan signifikan pada bentuk bantuan yang diberikan, selain jejaring gerakan yang tumbuh atas inisiatif kolektif masyarakatnya. Biasanya, jenis inisiatif ini terbangun di suatu wilayah dengan memanfaatkan jaringan komunikasi antartetangga dan ketanggapan masyarakat untuk bertahan hidup.

Foto oleh Matthew Henry di Unsplash, 2020.

Dalam konteks masyarakat urban, inisiatif ini sudah mencuat di beberapa daerah. Di Cipageran Asri, Kota Cimahi, warga saling bahu-membahu untuk mendukung upaya penyembuhan salah satu tetangga yang positif terjangkit COVID-19 dengan mengantarkan kebutuhan pokok ke rumahnya.

Contoh lainnya muncul di perumahan Graha Raya Bintaro, Kota Tangerang. Secara sigap, para penghuni menggelar diskusi taktis dan mengorganisasikan pemenuhan konsumsi sehari-hari. Warga pun saling meyakinkan untuk tetap patuh berdiam di rumah. Lain lagi dengan Paguyuban Kalijawi di Yogyakarta, yang berinisiatif mengumpulkan data tentang apa saja yang dibutuhkan warga sampai memproduksi masker sendiri.

Hal lain yang muncul adalah penyediaan tempat cuci tangan di rumah-rumah atau pintu masuk kompleks perumahan, penyemprotan disinfektan oleh kelompok anak muda setempat, serta inisiasi produksi hand sanitizer dan masker secara mandiri. Wabah pandemi COVID-19 membuka peluang bagi kita memaknai kembali tentang urusan kesehatan yang bukan saja mengenai hal klinis, tapi juga sosial dan ekonomi.

Masyarakat Rukun: Rujuknya Budaya Guyub dalam Kehidupan Urban

Persebaran kasus COVID-19 yang terpusat di daerah metropolitan menjadi hal menarik jika dikaitkan dengan kolektivitas masyarakat dalam bertahan hidup. Dengan segala jenis penduduknya, kota dibentuk oleh kerumunan yang anonim (Dom, 2020) dan aliran orang asing yang konstan (Sternheimer, 2020). Akumulasi penduduk kota yang heterogen dengan tempo hidup cepat dan cenderung individualistis menyebabkan kota semakin terfragmentasi, dengan pengecualilan keterhubungan di dunia maya.

Di masa pandemi, anonimitas tersebut tidak jarang menuai konflik sosial, mulai dari perawat yang diusir dari tempat tinggalnya hingga penolakan terhadap pemakaman jenazah oleh masyarakat sekitar. Hal ini terjadi karena adanya ketidaktahuan akan kondisi satu sama lain dan minimnya komunikasi untuk meluruskan informasi. Alhasil, banyak masyarakat yang ingin “menang sendiri” dan menganggap kehidupan orang lain kurang penting.

Foto oleh United Nations COVID-19 Response di Unsplash, 2020.

Penanganan dengan sistem top-down seperti yang dilakukan pemeritah saat ini pun masih menciptakan ketidakpastian yang memicu kepanikan masyarakat. Kita mungkin familiar dengan fenomena panic buying yang didominasi masyarakat dengan akses mudah ke pasar. Perilaku ini bersifat unplanned and tanpa pemimpin untuk merespons situasi riil, di mana belum ada kepastian bantuan bahan pokok yang bisa disediakan pemerintah.

Namun, bagaimana dengan masyarakat yang tidak bisa menimbun kebutuhan sehari-hari? Meski bantuan sudah dimulai didistribusikan oleh pemerintah, ancaman kelaparan masih akan terus mengintai hingga akhir pandemi. Hal ini juga diperparah dengan hilangnya mata pencaharian masyarakat.

Perilaku kolektif yang muncul di tengah ketidakpastian ini memantik rujuknya budaya guyub di kehidupan urban. Meski pernah hilang dari lekat masyarakat urban, budaya ini ternyata masih menjadi penyelamat dari bobroknya penanganan pemerintah. Tindakan dermawan di tingkat komunitas tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan materiil, tapi juga kesehatan jiwa dan mental yang menjadi perhatian bersama.

Masyarakat Tidak Panik: Berbenah lewat Literasi Informasi

Kepanikan yang muncul di tengah masyarakat merupakan respons dari ketidaktahuaan terhadap suatu informasi, sehingga banyak sekali kesalahpahaman yang diasumsikan oleh masyarakat. Dalam konteks negara, pemerintah mempunyai otoritas penuh dalam menarasikan pengetahuan tentang COVID-19 (Perkasa, 2020).

Namun, pada praktiknya, pemerintah masih tidak transparan soal data terkait pandemi ini. Informasi atau sumber pengetahuan menjadi hal yang penting untuk dapat menempatkan pemahaman masyarakat pada taraf yang sama, sehingga dalam penciptaan respons dapat lebih kontekstual dengan kebutuhan bersama.

Menurut Foucault, pengetahuan merupakan bentuk dari kekuasaan yang beroperasi secara produktif. Kekuasaan tersebut tidak harus dipaksakan dari atas (kelompok dominan), melainkan bisa datang dari “bawah”. Kita semua adalah wahana kekuasaan, karena hal itu tertanam dalam wacana dan norma yang merupakan bagian dari praktik, kebiasaan, dan interaksi kehidupan sehari-hari (Pylypa, 1998).

Pengetahuan dapat menjadi kekuatan bagi siapa saja dalam bertindak, sehingga keberpihakan menjadi perhatian selanjutnya. Dalam perilaku kolektif, selain pengetahuan yang didapatkan dari masyarakat, keberpihakan terhadap penggunaan pengetahuan tersebut juga harus digunakan untuk kepentingan bersama.

Foto oleh mark chaves di Unsplash, 2020.

Kegiatan pendataan yang dilakukan warga Paguyuban Kalijawi bisa menjadi contoh yang baik terkait bagaimana masyarakat mampu membangun pengetahuan bersama. Data yang akurat, transparan, dan bersifat real-time dapat digunakan untuk menentukan jenis bantuan apa yang akan diterima oleh masing-masing warga. Tanpa intervensi kelompok dominan, nyatanya pengetahuan dapat memimpin gerakan masyarakat secara kolektif dalam memenuhi kebutuhan selama pandemi.

Meskipun dalam konteks pengetahuan kekuasaan dapat terbangun dari bawah, peran pemerintah tidak bisa diabaikan begitu saja. Bagaimana COVID-19 dinarasikan maupun dibingkai sebagai sebuah pengetahuan akan menentukan bagaimana individu merespons wabah tersebut dan kebijakan yang menyertainya (Perkasa, 2020).

Pengetahuan, sebagai kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah, tidak hanya mencakup angka-angka statistik, tapi juga keputusan yang diambil. Hal tersebut bergantung pada bagaimana pemerintah berpihak dalam menggunakan pengetahuan untuk menentukan kebijakan. Misalnya, pemerintah bisa memulai dengan pengintegrasian data penerima bantuan sehingga pendistribusianya dapat secara adil dan merata.

“Jangan panik” merupakan langkah awal sebelum perilaku kolektif bisa dibangun oleh masyarakat. Kepanikan hanya akan memunculkan segregasi dan pengasingan diri dari hal-hal yang tidak kita ketahui. Oleh sebab itu, diperlukan pengayaan literasi informasi oleh masyarakat dan transparansi pengetahuan oleh pemerintah.

Resiliensi Berbasis Komunitas dan Imajinasi Masyarakat Urban

Physical distancing memantik cara-cara baru bagi komunitas bertahan. Isolasi dari dunia luar dapat membatasi alur informasi dan logistik. Tidak semua masyarakat juga memiliki akses terhadap infrastruktur digital dan pasar.

Penguatan jejaring lokal kemudian menjadi kendaraan agar dampaknya dapat dirasakan secara adil dan merata. Misalnya, karantina wilayah yang terjadi di beberapa tempat seperti di Cimahi Utara dan Graha Raya Bintaro mengharuskan masyarakat untuk tetap di rumah. Guna menyokong kehidupan warga, jaringan komunikasi dan logistik dibentuk berjenjang dari tingkat RW hingga rumah, sehingga alur imbauan dan kebutuhan pokok tetap terpenuhi dan warga tidak perlu keluar rumah.

Lagi-lagi, resiliensi berbasis komunitas tidak bisa menjadi solusi tunggal dalam menanggapi bencana pada masa darurat. Tidak ada yang bisa menjamin apakah keberlanjutan resiliensi berbasis komunitas ini dapat bertahan hingga akhir pandemi. Intervensi pemerintah tetap dibutuhkan sebagai bentuk tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat.

Foto oleh by mostafa meraji di Unsplash, 2020.

Paham bahwa “kita tidak sendiribisa menjadi bekal utama bagi kehidupan masyarakat urban selanjutnya, di mana setiap individu memiliki peran sebagai bagian dari masyarakat. Budaya guyub ini kemudian dapat menciptakan berbagai bentuk pertahanan di tingkat komunitas.

Selanjutnya, penguatan masyarakat melalui literasi informasi juga menjadi bahan bakar untuk berkuasa bagi kepentingan bersama. Tanpa menyampingkan peran pemerintah yang tetap harus bertanggungjawab atas kebutuhan pokok masyarakatnya, solidaritas sosial sebuah komunitas memang dapat membentuk kemandirian masyarakat urban. Setidaknya, pada fase tanggap darurat, kita bisa sama-sama mulai dari bertanya tentang keadaan sendiri.

Catatan Penulis:
Suatu refleksi dari perilaku kolektif yang belakangan menyejukkan hati ditengah pandemi. Ada baiknya ragam perilaku tersebut kita kolasekan untuk disimpan dan lebih baik lagi jika bisa dievaluasi. Kelak menjadi bekal penguatan kita sebagai masyarakat urban dalam menghadapi kota yang bisa jadi tidak sehat lagi.

--

--

Nadia Gissma K.
Kolektif Agora

an urban planning scholar who shifted herself into agrarian studies.