Liputan

Kota di Ambang Gamang Pelesat Pariwisata

Laporan dari Diskusir #5 “Melansir Getir Pelesir”

Seruni Fauzia Lestari
Kolektif Agora

--

Tempat kopi baru di sudut kota, pembangunan trotoar megah, dan bentang alam yang ramah swafoto di Kota Bandung tak henti-hentinya bermunculan satu per satu untuk tujuan yang dinamakan “wisata perkotaan”. Fenomena ini membuat semakin banyak (dan semakin beragamnya wisatawan) yang ingin merasakan langsung user-experience berleha-leha di Kota Bandung — yang banyak mereka lihat di media sosial.

Tentunya, hal tersebut juga mendorong perekonomian kota tumbuh pesat. Namun, di satu sisi, wisata juga berdampak besar terhadap keseluruhan kehidupan perkotaan masyarakat Bandung — kemacetan, gunungan sampah, dan berkurangnya ruang untuk aktivitas sehari-hari. Dampak-dampak ini mengisyaratkan minimnya manfaat yang dirasakan wargi Bandung.

Lalu, bagaimana baiknya memahami fenomena wisata perkotaan ini? Bagaimana konsekuensinya bagi kehidupan perkotaan? Bagaimana pula kita dapat menyikapi fenomena ini dengan baik?

Sebagai upaya memahami dan menelaah lebih dalam fenomena wisata di Kota Bandung, Diskusir #5 yang diselenggarakan oleh Kolektif Agora pada Kamis, 8 Maret 2018 di Spasial hadir dengan tajuk “Melansir Getir Pelesir”. Dimoderatori oleh Dewa Sagita, di tengah lebatnya hujan malam, ruang luas di Spasial menjadi hangat berkat perspektif dan diskusi yang dipantik oleh para pemerhati wisata di Kota Bandung: Alhilal Furqon — seorang dosen ahli pariwisata dari Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung, Rahmat Jabaril — pegiat pariwisata Kampung Kreatif Dago Pojok, dan Ervan Raditia — pengelola media sosial komunitas wisata perkotaan dan fotografi berbasis user-generated content bernama Explore Bandung.

Alhilal Furqon, Ervan Raditia, & Rahmat Jabaril (Sangkara Nararya, 2018)

Sesi diskusir diawali dengan pemaparan dari perspektif ketiga pematik diskusi. Alhilal memaparkan beragam data yang berkaitan dengan meningkatnya fenomena berwisata sebagai wujud dampak meningkatnya populasi kaum menengah di perkotaan. Hal tersebut mendorong jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung, sebagaimana dikonfirmasi oleh perwakilan Dinas Pariwisata Kota Bandung, yakni mencapai 6 juta pengunjung per tahunnya. Adapun peningkatan jumlah wisatawan tersebut juga berkaitan dengan kebijakan Pemerintah Kota Bandung yang akomodatif terhadap kebutuhan wisatawan, tersedianya infrastruktur yang memadai, dan munculnya imaji gaya hidup yang diidam-idamkan masyarakat kaum menengah saat ini.

Dilihat secara kasat mata, pertumbuhan pariwisata saat ini kemudian memunculkan pertanyaan penting — dampak apa yang dirasaan oleh penduduk Kota Bandung? Rahmat Jabaril mencoba mengulas bagaimana fenomena pelesir di Kota Bandung berdampak pada emosi masyarakat, terutama yang berada di kampung-kampung kota. Bagaikan budak, para masyarakat merasa semakin terkekang di rumahnya masing-masing karena beraktivitas sehari-hari menjadi semakin sulit dilakukan karena polusi, kemacetan, sampah, dan parkir yang semakin tidak terkendali karena adanya jumlah wisatawan yang semakin meningkat. Melalui perencanaan dari bawah yang holistik, Kampung Kreatif Dago Pojok berupaya membangun peradaban melalui diskusi dan memanfaatkan potensi kampung kota sebagai kekuatan dan daya tarik wisata perkotaan.

“Alam itu tidak indah, tetapi pikiran. Pariwisata harus membuat pikiran yang indah, tidak hanya dari alam, sehingga harus terus berkembang melalui diskursus dan desain pariwisatanya.“

— Rahmat Jabaril

Selaku pengelola akun Instagram @explorebandung, Ervan Raditia paham betul bagaimana wujud Kota Bandung berubah dalam hitungan tahun, bulan, dan hari — maupun likes dan jumlah swafoto yang diunggah menggunakan tagar #ExploreBandung di Instagram. Fenomena tersebut tentunya mengindikasikan industri parwisata perkotaan yang semakin tumbuh, baik dari segi pendatang maupun jumlah tempat wisata baru.

Namun, sebagaimana yang terjadi pada kasus Tebing Keraton, semakin tereksposnya suatu kawasan pariwisata di Bandung justru menimbulkan banyak dampak negatif seperti munculnya pungutan liar, sampah yang tidak dikelola dengan baik, dan alam yang semakin terkikis keindahannya.

Apakah promosi wisata kini justru menjadi pedang bermata dua untuk Kota Bandung? Apakah justru masyarakat Kota Bandung semakin dijajah oleh wisatawan yang bersikeras ingin menginjakkan kaki ke destinasi wisata di Kota Bandung? Apakah justru perlu dilakukan pembatasan terhadap promosi pariwisata?

Seiring dengan berjalannya pemaparan dari para pematik, Diskusir juga diramaikan oleh perspektif para penonton diskusi dari kalangan mahasiswa, umum, dan perwakilan pemerintah Kota Bandung. Pertama-tama, perlu diketahui kondisi Bandung saat ini sudah tidak bisa menopang tingginya permintaan kegiatan pariwisata di Kota Bandung. Sebagaimana dipaparkan oleh Alhilal, infrastruktur Kota Bandung sudah tidak lagi bisa menampung jumlah wisatawan yang berkunjung. Salah satu contohnya dapat dilihat dari penuhnya jalanan pada akhir pekan.

Menanggapi hal tersebut, Alhilal menekankan bahwa sudah saatnya Kota Bandung mencari alternatif konsep pariwisata. Hal ini berkaitan dengan rendahnya dampak positif yang diterima langsung oleh masyarakat. Justru, yang masyarakat rasakan adalah kebalikannya: kegiatan sehari-hari yang terganggu dengan banyaknya wisatawan yang memadati ruang-ruang kota di akhir pekan. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Hilman, seorang peserta Diskusir dari kalangan mahasiswa arsitektur, yang menyatakan bahwa seharusnya masyarakat lokal tidak menjadi korban bisnis dari wisata di tempat di mana mereka berada.

Dalam konteks ini, konsep pariwisata perkotaan tidak bisa lagi dilakukan secara “memaksa” dari pemerintah, namun harus mengajak masyarakat setempat dan para wisatawan untuk berperan serta mengembangkan pariwisata perkotaan yang berkelanjutan. Berkaitan dengan peran pemerintah pada pariwisata perkotaan yang semakin terkesan pro-wisatawan dan investasi, Aswin Sulaeman selaku perwakilan dari Disbudpar Kota Bandung yang hadir pada Diskusir kali ini juga menyayangkan kondisi pembangunan fisik Kota Bandung yang terus mengakomodasi wisatawan tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat kelas bawah.

Aswin Sulaeman, Disbudpar Kota Bandung (Sangkara Nararya, 2018)

“Di atas terminal Dago ada hotel besar, tapi kanan kirinya adalah saudara kita yang kecil-kecil. Bandung itu sudah terlalu banyak bangunan fisiknya, sekarang sudah mulai diupayakan untuk memberhentikan pembangunan semena-mena.

Bersama kita bisa bangun Bandung jadi livable city. Ketika Bandung chaos, Indonesia akan chaos. Sudah tidak musim untuk pemerintah gerak sendiri. Kita harus ikut gerak bersama”.

— Aswin Sulaeman, Disbudpar Kota Bandung

Lalu, bagaimana seharusnya masyarakat dilibatkan dalam pengembangan pariwisata perkotaan?

Rahmat mengutamakan pentingnya perubahan persepsi masyarakat dalam memandang pariwisata perkotaan. Menanggapi fenomena wisatawan yang cenderung memilih berkunjung ke mall dibanding kampung-kampung kota, Rahmat menyampaikan pentingnya suatu narasi yang mampu menggiring orang ke kampung kota, sebagaimana saat ini mereka tergiring oleh komoditas branded di etalase pusat perbelanjaan. Masyarakat setempat harus disadarkan untuk bisa mengelola ruang yang ada, bahwa ruang yang diambil tersebut masih menyisakan ruang-ruang hangat yang — jika ekosistemnya dikelola dengan baik sesuai dengan psikologi zaman — dapat pula menjadi sarana mendorong ekonomi lokal.

“Dunia itu di pikiran kita. Bagaimana kita mengolah pikiran itu, dapat menciptakan ruang baru ketika ruang kita diambil. Kreativitas dibangun ruangnya dari garis khayal, sehingga terus membangun ruang. Ruang menciptakan perilaku kehidupan.”

— Rahmat Jabaril

Sesederhana unggahan foto di media sosial pun dapat menunjukkan ciri khas atau permintaan wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung. Sebagaimana diceritakan oleh Ervan, terdapat berbagai destinasi wisata Kota Bandung yang lebih diminati oleh wisatawan. Dalam mengembangkan suatu sarana berbasis user-generated content yang tentunya tidak dapat dibatasi, diperlukan kehati-hatian dalam menentukan destinasi wisata mana yang akan dipublikasi dan seberapa besar tingkat eksposur yang dikembangkan.

Ini pun dapat menjadi masukan terkait hal-hal yang perlu diantisipasi dan lebih dioptimalkan untuk mengungkapkan sisi lain wisata yang (biasanya) tidak terungkap oleh pemerintah dalam pengembangan pariwisata kota. Selain itu, fenomena ini juga menunjukkan bahwa komunitas-komunitas masyarakat pun memiliki peran dalam pengembangan pariwisata kota.

(Sangkara Nararya, 2018)

Melihat adanya beberapa destinasi wisata kreatif dan berkelanjutan berbasis komunitas yang berhasil, apakah kemudian konsep itu bisa digunakan di tempat wisata berbasis komunitas lainnya?

Penerapan pariwisata yang berkelanjutan tidak sekedar menghadirkan diskusi di kalangan masyarakat dan berharap masyarakat bisa terdorong untuk mengembangkan potensi lokal untuk wisata. Hal ini terbukti dari belum berhasilnya upaya Pemerintah Kota Bandung mengadopsi konsep Dago Pojok di kampung kota lainnya di Kota Bandung. Komunikasi antar pemangku kepentingan dalam hal ini menjadi krusial untuk saling bertukar ide dan pengalaman.

Pernyataan ini juga didukung tanggapan dari salah satu penonton diskusir yang menyatakan bahwa kekuatan perkembangan pariwisata pada skala komunitas harus dibina dengan baik di berbagai komunitas, karena suatu konsep pariwisata kreatif belum tentu dapat langsung diterapkan di tempat pariwisata kreatif lainnya.

Belajar dari diskusir kali ini, wujud pariwisata kota, khususnya Kota Bandung, dapat berkembang lebih dari sekedar superblok dengan etalase-etalase cantik. Masyarakatnya pun bisa terlepas dari “jajahan” wisatawan yang mengunjungi kotanya. Di tengah hiruk-piruk kota yang membuat ruang semakin sempit — jika dipadukan dengan cara pandang yang kreatif dan terbuka — konsep dan ekosistem kerjasama antar pemangku kepentingan yang seimbang, serta publikasi yang sesuai, maka ruang-ruang baru (atau yang dari dulu terpinggirkan) dapat tumbuh dan memberikan manfaat bagi masyarakat setempat.

Seruni Fauzia Lestari
Rabu, 14 Maret 2018

--

--

Seruni Fauzia Lestari
Kolektif Agora

Not sure if I’m interested in politics or just conspiracy theories and drama.