IDE / WARGA

Kota sebagai Tubuh, untuk Dikuasai dan Dipertahankan

Kolektif Agora
Kolektif Agora
Published in
4 min readMay 30, 2022

--

Oleh: Muhammad Adib Al Fikri

Foto oleh Afif Kusuma di Unsplash, 2019.

Saya memulai tulisan ini dengan harapan agar kita semua bisa mengetahui dengan baik bahwa kota adalah bagian dari diri kita. Kota adalah representasi dari tubuh kita, dan cara memahami kota itu adalah interpretasi kita terhadap tubuh. Manusia membangun, mempertahankan, dan menghancurkan atas dasar nilai estetika dari kota itu sendiri. Penduduk kota melahirkan semacam “alat pengetahuan”, sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault (1995) dalam bukunya Discipline and Punish: The Birth of the Prison.

Tubuh telah berevolusi untuk bertahan dari segala aktivitas manusianya. Keadaan ini tidak terlepas dari pengalaman alamiah dari manusia itu sendiri dalam menciptakan suatu hal yang bisa diabadikan di kota. Penulis merasa, semua ini memiliki hubungan erat dan timbal balik yang menguntungkan; mengingat kota ada karena manusia, dan manusia saling bekerja sama untuk menciptakan kota. Dan juga hubungan dari tubuh manusia dalam memainkan perannya untuk kekuasaan, yang diatur olehnya, dipertahankan.

Kota, awalnya tanah, kian menutupi tanah itu sendiri. Domain dari kota itu sendiri kebanyakan adalah komponen bio vital manusia, seperti paru-paru kota, atau sering juga disebut hutan kota. Misalnya, kawasan “Gelora Bung Karno” yang terbaru di Jakarta. Hutan ini tepat berada di tengah kota Jakarta. Selain karena fungsinya sebagai paru-paru kota, ia juga sering dinikmati sebagai tempat estetik, karena berdekatan dengan gedung pencakar langit.

Hal ini penting mengingat kota sering disandingkan dengan tubuh manusia, karena memang kota diciptakan melalui tubuh yang dipersatukan, sehingga menciptakan visi yang sama, atas dasar keindahan untuk kotanya. Elemen lainnya: rumah sakit, sekolah, lampu lalu lintas, gedung pengadilan, dan lainnya seakan organ yang melengkapi. Manusia perlahan mengetahui bahwa dirinya membangun atas refleksinya sendiri, berikut persamaan dan perbedaannya.

“Kami membentuk tempat tinggal kami, setelah itu, tempat tinggal kami membentuk kami,” tutur Winston Churchill dalam pidato publiknya pada tahun 1943 di House of Commons. Mungkin, ini adalah wujud representasi warga urban ketika tempat tinggal dimaknai sebagai wujud mereka dalam ruang kota. Kita percaya elemen fisik kota suatu saat akan mengubah perilaku manusia itu sendiri. Manusia kemudian menciptakan pola interaksi versi mereka sendiri, untuk beradaptasi dengan sejarah-budaya tertentu, bekerja, meluangkan waktu untuk rekreasi, dan tentu saja untuk hidup. Manusia mengalirkan darah di tubuh mereka, ia berperan untuk mengembangkan dan menumbuhkan tubuh dengan cara yang anarkis dan bebas. Tapi, di balik itu semua, darah tidaklah selalu sehat, tidak sempurna, dan bisa jadi berbahaya bagi tubuh itu sendiri.

Kesalahan dari tubuh yang tidak sehat ini dikarenakan mereka “lari” dari kekuatan pengaturan ketat yang bersifat hierarkis di antara anggota kelompok. Mereka bekerja, melakukan komunikasi, dan juga kontrol di lingkungan tersebut sebagai bagian dari sifat kecil manusia yang ingin eksis di masyarakat. Tapi, tidak lupa kalau kita juga diatur lewat struktur sosial sebagai bagian fundamental dalam kehidupan perkotaan.

Kita harus memastikan bahwa tubuh itu sesuatu yang bisa bebas, tanpa diatur oleh aturan yang bersifat merusak tubuh itu sendiri. Begitu pula dengan kota, kita pasti melihatnya sebagai tempat yang indah dan memiliki hal yang berpengaruh pada masyarakat kota itu. Jikalau kota tersebut rusak, ia harus siap diubah, direvitalisasi, bahkan dimutilasi untuk tujuan pengawasan lebih lanjut pada kota itu. Contohnya, hutan kota sebagai ranah rekreasi masyarakat kota, dulu dilihat sebagai tempat yang tidak hidup untuk masyarakatnya.

Kota ibarat sebuah tubuh yang harus dikuasai oleh pengguna tubuh itu sendiri. Ia harus merefleksikan tubuh sesuai standar kemampuannya, dan inilah apa yang manusia lakukan ketika menguasai kota. Kota adalah tubuh yang heterogen. Sebuah organisme yang bersinggungan dengan sistem spasial, sosial-budaya, politik, dan demografis, lebih dari sekadar entitas sederhana yang hidup dengan organisme kolaboratif lainnya. Manusia menguasai kota sebagaimana tubuh dikuasai oleh pengguna tubuh itu sendiri.

Sebagaimana yang dikatakan Foucault, “Kota mirip dengan tubuh, dan begitu juga dengan mesin, karena optimalisasi, disiplinnya, kekuatannya, peningkatan kegunaan, dan kepatuhannya. Juga integrasinya ke dalam sistem kontrol yang efisien dan ekonomis. [Kota] merupakan sebuah anatomi-politik manusia.”

Terakhir, tubuh menghubungkan dirinya dengan lingkungan sekitarnya untuk lebih mengembangkan ikatan sosial itu dengan esensi mereka sendiri, dan juga agar terlihat eksis di tengah masyarakat. Manusia merupakan makhluk situasional, tidak berhenti pada satu titik untuk melihat keadaan. Maka dari itu, mereka bekerja, berekreasi, atau mungkin bermigrasi demi kelangsungan hidup mereka sendiri.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Simone de Beauvoir dalam The Second Sex, “Tubuh itu situasional.” Manusia tidak mati, dalam arti menguasai makna tubuh pada situasi itu. Mereka berkumpul dengan komunitas lainnya yang serupa (atau berbeda), dalam minat, budaya, geografis, atau kelembagaannya. Dengan berkumpulnya komunitas satu dengan lainnya, semakin besar peluang mereka untuk memperbanyak simpul di antara mereka. Interaksi ini penting, mengingat fungsi kota sebagai sumber hidupnya kekuasaan; dan, tentu saja, mempertahankan kekuasaan tersebut.

Referensi:Churchill Winston. 1943. Public speech in the house of commons on October 28, 1943. Retrieved from:mhttps://api.parliament.uk/historic-hansard/commons/1943/oct/28/house-of-commons-rebui lding. Diakses pada tanggal 7 April 2022.Foucault, Michel. 1995. Discipline and punish: The birth of the prison. New York: Vintage Books.Foucault, M. (1990). The History of Sexuality: An introduction. United Kingdom: Vintage Books.Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H. M. Parshley (Great Britain: Penguin Books, 1987) xvii.Wagner, Anne, and Cheng Le. 2019. Law, cinema, and the Ill City: Imagining justice and order in real and fctional cities. London: Routledge.

--

--