Kolom

Kritik untuk Janji Kampanye Mengenai Penghapusan Pajak Motor

Menakar Visi Politik PKS terhadap Masa Depan Otonomi Daerah

Luthfi Muhamad Iqbal
Kolektif Agora

--

Sumber: Humphrey Muleba, Pexels 2018.

Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Penghapusan Pajak Motor: Sebuah Janji

Pada 22 November 2018, bertepatan dengan Hari Perhubungan Darat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendeklarasikan dua janji kampanye yang akan menjadi kebijakan apabila PKS menang pada Pemilu 2019. Salah satunya ialah penghapusan pajak sepeda motor.

Diklarifikasi dalam siaran pers resmi situs web PKS, bahwa yang dimaksud “pajak sepeda motor” adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (PBBNKB), biaya administrasi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB), serta Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ).

Klaim yang dijadikan dasar bagi kemunculan gagasan ini ialah, pertama, penghapusan pajak motor diyakini akan mengurangi beban masyarakat, khususnya bagi 105 juta orang (39.62% dari total penduduk Indonesia) pemilik sepeda motor, yang sebagian besar diantaranya adalah kelompok ekonomi lemah. Kedua, sebagai insentif bagi pengguna kendaraan bermotor untuk mengurangi kerepotan, kerumitan, dan waktu produktif yang hilang untuk mengurus pajak roda dua. Ketiga, karena sepeda motor merupakan salah satu alat produksi masyarakat, baik di perdesaan dan perkotaan. Keempat, penghapusan pajak ini tidak akan mengganggu secara signifikan keuangan APBD Provinsi, karena hanya sekitar 7–8% dari total APBD. Di samping itu, PKS juga yakin bahwa penghapusan pajak sepeda motor tidak akan menggenjot penjualan sepeda motor di masyarakat dan tidak akan bertentangan dengan kebijakan pengurangan angka kecelakaan.

Rencana penghapusan pajak motor ini tentu menuai kritik, di antaranya ada yang melihat dari sudut pandang ruang publik-privat [3], transportasi publik-privat [4], realita kondisi APBN dalam menanggung penghapusan pajak tersebut [5], dan juga konsekuensi perubahan regulasi dan kehilangan anggaran pembangunan dari diberlakukannya penghapusan ini [6].

Dalam tulisan ini, penulis bermaksud mengkritik PKS yang menjanjikan penghapusan pajak motor apabila memenangi Pemilu 2019, dari sudut pandang keuangan, pembangunan, dan otonomi daerah.

Pajak Motor dalam Struktur Pajak Daerah: Temuan Studi

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan bahwa ide penghapusan pajak motor akan menghilangkan pos pendapatan daerah, sehingga konsekuensinya akan berdampak pada belanja daerah yang tidak optimal, atau mau tak mau pemerintah pusat harus menaikkan dana transfer ke daerah. Penghapusan ini dalam jangka panjang bisa menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi daerah [7]. Sedangkan, Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) memandang pajak motor sebagai instrumen dalam mengendalikan kemacetan, polusi akibat kendaraan, masalah lalu lintas, serta kerusakan jalan [7].

Studi sebelumnya menemukan bahwa terdapat korelasi positif yang kuat dan searah antara pajak kendaraan bermotor dan peningkatan pendapatan daerah provinsi [8]. Hal ini menguatkan pernyataan Indef bahwa penghapusan pajak motor dalam jangka panjang akan berdampak buruk bagi pendapatan daerah. Pada bagian ini, dalam rangka meluruskan cacat pikir pandangan PKS terkait signifikansi pajak motor terhadap APBD, penulis akan membahas mengenai pengenalan struktur APBD, proporsi Pajak Daerah dalam Total Pendapatan Daerah dan Pendapatan Asli Daerah, serta Kontribusi Pajak Motor dalam Pajak Daerah.

Struktur APBD: Tinjauan Regulasi dan Kebijakan

Dasar hukum APBD dalam undang-undang dasar tercantum pada Pasal 18 ayat 3, di mana dinyatakan secara konstitusional bahwa keberadaan DPRD di daerah sebagai upaya demokratisasi penyelenggaraan pemerintah daerah yang salah satu kewenangannya ialah menetapkan Perda dan APBD, serta mengawasi penyelenggaraan Pemda. Selain itu, Pasal 18A Ayat 2 yang mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah seara adil dan selaras berdasarkan undang-undang [9].

Adapun definisi operasional APBD dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah ialah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan dengan Perda [10]. APBD terdiri dari Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan, seperti ilustrasi di bawah ini:

Struktur APBD berdasarkan UU 23/2014. Sumber: Ilustrasi Pribadi, 2018.

Apabila diuraikan lagi, Pendapatan dapat dibagi lagi ke dalam tiga kelompok menurut sumbernya, yakni: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan transfer, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Pajak Daerah merupakan salah satu komponen dari pendapatan asli daerah (PAD). Sedangkan, Transfer dibagi lagi menjadi dua, yakni Transfer Pemerintah Pusat dan Transfer antar Daerah. Polemik nomenklatur baru “Dana Kelurahan” beberapa waktu lalu merupakan bagian dari Transfer Pemerintah Pusat, komponen Dana Perimbangan, yang merupakan bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) Tambahan pada struktur Pendapatan Daerah. Lebih lengkapnya sebagai berikut:

Struktur Pendapatan Daerah dalam APBD berdasarkan UU 23/2014. Sumber: Ilustrasi Pribadi, 2018.

Pajak Daerah sebagai elemen Pendapatan Asli Daerah juga banyak ragamnya. Menurut UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Daerah diklasifikasikan lagi menjadi Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya yang rinciannya ialah sebagai berikut [11]:

Struktur Pajak Daerah menurut Kewenangan berdasarkan UU 28/2009. Sumber: Ilustrasi Pribadi, 2018.

Setelah melihat pemetaan struktur pendapatan daerah dalam APBD dan struktur pajak daerah di atas, mari kita renungkan ungkapan dibawah ini yang disampaikan oleh Wakil Ketua Tim Pemenangan Pusat PKS [1]:

“Penghapusan pajak ini tidak akan mengganggu secara signifikan keuangan APBD Provinsi, karena hanya sekitar 7–8% dari Total APBD” — Drs. Almuzzammil Yusuf, M.Si

Baik. Angka 7–8% besar Pajak Motor dari Total APBD mungkin kecil. Tetapi apakah karena kecil maka tidak akan mengganggu secara signifikan keuangan APBD Provinsi? Apa iya?

Proporsi Pajak Daerah dalam Total Pendapatan Daerah

Rata-rata persentase PAD terhadap APBD pada pemerintahan provinsi secara nasional adalah 35.19% [12], artinya 65% sisanya masih ditopang oleh Pendapatan Transfer dan Lain-lain PAD yang Sah . Pada data di bawah ini, dapat dilihat bahwa hanya sembilan daerah yang memiliki PAD lebih dari 50% APBD, yakni Sumatera Selatan, seluruh provinsi di Jawa-Bali kecuali DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Sehingga, 25 daerah sisanya memiliki PAD kurang dari 50%, atau dengan kata lain masih didominasi oleh Transfer Pemerintah Pusat.

Dilihat dari Struktur PAD-nya pada 30 Provinsi, lebih dari 70% PAD nya bersumber dari Pajak Daerah, kecuali Aceh, Kalimantan Utara, Maluku, dan Papua Barat yang kontribusi Pajak Daerah terhadap PAD-nya di bawah 70%. Secara nasional, rata-rata kontribusi Pajak Daerah terhadap PAD di tingkat Provinsi ialah 80.85% [12]. Hal ini menandakan Pajak Daerah Provinsi cukup penting dalam menopang postur PAD masing-masing daerah.

Kontribusi Pajak Motor dalam Pajak Daerah

Apabila mengambil definisi yang diungkapkan Wakil Tim Pemenangan Pusat PKS tentang Pajak Sepeda Motor, dari lima yang disebutkan, hanya dua yang menjadi kewenangan daerah, yakni Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (PBBNKB). Kedua pajak tersebut pada tulisan ini akan disebut sebagai “Pajak Motor Daerah”.

Apabila diukur secara persentase, Pajak Motor Daerah (PKB dan PBBNKB) terhadap Pajak Daerah dapat dilihat pada grafik berikut:

Sumber: DJPK Kemenkeu, 2016–2018 (diolah)

Hanya sebelas provinsi dari 34 provinsi yang kontribusi Pajak Motor Daerahnya di bawah 50% dari Pajak Daerah, atau setara 67.64% provinsi yang mana Pajak Motor Daerah menjadi penopang Pajak Daerahnya. Secara nominal, besaran Rerata Pajak Motor Daerah selama 2016–2018 ialah sebagai berikut:

Sumber: DJPK Kemenkeu, 2016–2018 (diolah)

Dampak Kebijakan: Penghapusan Pajak Motor terhadap Kemandirian Keuangan Daerah

Dari dua paparan data di atas, dapat diproyeksikan dua dampak yang berbeda dari dua tipologi pemerintah daerah provinsi. Daerah yang secara nominal memiliki Pajak Motor Daerah yang tinggi, lebih dari Rp 5 Triliyun per tahun (Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta), akan mendapatkan dampak kehilangan setidaknya Rp 7 triliun per tahunnya dalam APBD.

Namun, mengingat sebanyak 67.64% Provinsi bergantung lebih dari 50% terhadap Pajak Motor Daerah (PKB/PBBNKB), yang lebih membahayakan daripada kehilangan pendapatan ialah kehilangan kemandirian keuangan dalam membangun daerahnya. Hal ini tentu akan menghambat pelaksanaan amanat reformasi mengenai “Otonomi yang Luas, Nyata, dan Bertanggungjawab”. Pada bagian berikutnya, akan diuraikan mengenai pergeseran rasio kemandirian keuangan daerah dengan tiga skenario kondisi.

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dengan Model Skenario I: “No Action”

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah diperoleh dengan membandingkan PAD terhadap Pendapatan Transfer. Formula rasio sebagai berikut:

Dengan menghitung APBD 2018 apa adanya, tanpa ada skenario apapun (no action scenario) diperoleh pengelompokan tingkat kemandirian keuangan daerah dengan empat kriteria klasifikasi kemandirian daerah (delegatif, >75%-partisipatif, 50–75% -konsultatif, > 25–50%- instruktif, 0-25%)[13] sebagai berikut:

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dengan Model Skenario II: “Motor Tax Cut Scenario”

Dengan Model Skenario II (PAD dan APBD dikurangi nominal Pajak Motor PKB dan PBBNKB), maka rasio kemandirian keuangan daerah provinsi mengalami penurunan sebesar rata-rata 30.56%. Bisa dilihat pada grafik dibawah ini yakni berkurangnya jumlah daerah yang masuk kategori delegatif dan partisipatif, serta bertambahnya jumlah daerah yang masuk kategori konsultatif dan instruktif (pergeseran dari garis titik-titik pada skenario I no action ke garis solid skenario II motor tax cut).

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dengan Model Skenario III: “Cut and Fill Scenario”

Pada skenario III (cut and fill), untuk menjaga APBD dengan nominal tetap, sebagai representasi kebutuhan pembangunan di daerah, diasumsikan bahwa pemerintah pusat memberikan ganti dalam bentuk transfer daerah kepada provinsi sebesar kehilangan pendapatan dari Pajak Motor akibat kebijakan penghapusan PKB dan PBBNKB.

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa tindakan penyelamatan yang mungkin diberikan oleh pemerintah pusat bagi kesehatan kondisi keuangan pemerintah provinsi sebagai imbas penerapan kebijakan penghapusan PKB dan PBBNKB justru berdampak semakin buruk dalam konteks kemandirian keuangan daerah.

Epilog: Memecah Kebuntuan Politik dengan Kebijakan Jalan Buntu PKS 2019

“Sebagai partai politik, kami tentu menawarkan gagasan kampanye yang bukan sekedar pencitraan, tetapi ini adalah janji kongkrit kami yang sudah kami kaji, sudah kami diskusikan dengan kepala daerah yang kami miliki, dan ini insya Allah bisa realistis untuk diwujudkan,”
— Ketua Departemen Politik DPP PKS
[14]

Menarik sekali melihat pernyataan Ketua Departemen Politik DPP PKS di atas. Karena, pernyataannya ialah sebuah kebenaran. Berdasarkan hasil analisis di atas, dari semua daerah yang tetap masuk ke dalam kategori delegatif (derajat kemandirian keuangan daerah sangat tinggi) di ketiga skenario yang penulis uraikan diatas ialah memang hanya DKI Jakarta. Sehingga, relevan apabila Gubernur DKI Jakarta, salah satu kepala daerah yang “kami” (PKS) miliki untuk diajak diskusi perkara pajak motor ini, karena memang penghapusan pajak motor ini tidak banyak memengaruhi kemandirian keuangan DKI Jakarta. Tapi, bagaimana dengan 33 provinsi lainnya?

Sama sekali tidak bisa diterima logika penulis bentuk keadilan dan kesejahteraan apakah yang diusung dengan mengobral janji seperti ini? (selain mendapatkan electoral effect dari kelompok motorist yang jumlahnya lumayan banyak 39.62% dari total populasi Indonesia).

Berdasarkan hasil analisis di atas, jelas sudah bahwa penghapusan pajak motor (PKB dan PBBNKB) yang diklaim tidak akan berpengaruh signifikan terhadap APBD provinsi, mengakibatkan peningkatan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dan melemahkan pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab khususnya dalam pengelolaan keuangan daerah.

Yang paling terdampak tentu adalah pelayanan pemerintah provinsi bagi masyarakat. Dengan berkurangnya kemandirian keuangan daerah, maka proses demokrasi lokal menjadi kurang berarti (untuk apa APBD dibahas bersama DPRD apabila lebih dari 50% dananya bersumber dari pusat?). Dampaknya, pembangunan daerah pun menjadi kurang responsif terhadap kebutuhan daerah (karena pendapatan transfer pada umumnya memiliki ketentuan tertentu yang perlu dipatuhi oleh penerima alokasi, tidak bisa bebas dilaksanakan sesuai kebutuhan daerah). Kecuali, PKS sudah memiliki jalan keluar yang tidak diduga dan disangka persis seperti kemunculan gagasan kebijakan ini. Mungkin, itu akan menjadi cerita lain?

“Keberanian PKS menawarkan janji politik berupa paket kebijakan ini patut diapresiasi. Langkah politik ini setidaknya bisa memecah kebuntuan di tengah situasi politik nasional yang hiruk-pikuk namun jauh dari substansi
— Analis Voxpol Center Research and Consulting [15]

Ya, melalui tulisan ini, penulis mengapresiasi langkah mundur PKS yang menawarkan substansi kebijakan unik, yang berhasil memecah kebuntuan situasi politik nasional yang sibuk dengan simbol dan citra, dengan kemunculan gagasan kebijakan jalan buntu seperti ini.

Acknowledgement & DisclaimerTulisan ini merupakan bagian tulisan dengan versi yang lebih santai dari latihan analisis kebijakan berjudul: Motorcycle Tax Abolition Plan and its Impact to Local Government Finance yang disusun bersama oleh Bima Satria, Diah Putri Utami, dan penulis sendiri.

Luthfi Muhamad Iqbal
luthfime@gmail.com

Referensi

[1] https://pks.id/content/pks-janjikan-penghapusan-pajak-sepeda-motor-dan-sim-seumur-hidup

[2] https://pks.id/content/komisi-v-penghapusan-pajak-sepeda-motor-relevan-dengan-kondisi-rakyat

[3] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181126113354-32-349234/fahri-kritik-janji-pks-yang-berencana-hapus-pajak-motor

[4]http://kabar24.bisnis.com/read/20181123/15/862662/timses-jokowi-kritik-janji-pks-hapus-pajak-sepeda-motor

[5] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181126063040-32-349175/erick-thohir-pks-harus-berpikir-matematika-soal-pajak-motor

[6]https://nasional.tempo.co/read/1149416/polri-jawab-pks-soal-sim-seumur-hidup-dan-motor-bebas-pajak/full&view=ok

[7]https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181123184835-532-348806/penghapusan-pajak-sepeda-motor-ancam-pendapatan-daerah

[8]http://ojs.unm.ac.id/economix/article/viewFile/3938/2302

[9]UUD Republik Indonesia 1945 [tersedia di: http://jdih.pom.go.id/uud1945.pdf]

[10]UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah [tersedia di: https://pih.kemlu.go.id/files/UU0232014.pdf]

[11]UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah [tersedia di: http://www.djpk.depkeu.go.id/attach/post-no-28-tahun-2009-tentang-pajak-daerah-dan-retribusi-daerah/UU-427-973-UU_28_Tahun_2009_Ttg_PDRD.pdf]

[12]http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?p=5412

[13] Abdul Halim. 2002. Akuntansi Sektor Publik akuntansi Keuangan Daerah. Edisi pertama. Jakarta: Salemba Empat.

[14]https://pks.id/content/hapus-pajak-sepeda-motor-pks-janji-konkret-bukan-pencitraan

[15]https://pks.id/content/analis-janji-kampanye-pks-pecah-kebuntuan-situasi-politik

--

--