IDE / WARGA

Kuasa Suara atas Ruang

Menggaungkan Lanskap Bunyi yang Tersenyapkan

Jaladri
Kolektif Agora

--

Foto oleh Jeremy Yap di Unsplash, 2016.

Kita kerap memperbincangkan pemandangan visual kota seperti bangunan, jalan, lampu, dan prasarana lainnya. Melalui sudut pandang arsitek dan perencana, kota tampak indah dalam bentuk miniaturnya. Menatap melalui perangkat lunak GIS, gambar kerja rancang kota, atau bahkan angka-angka dari lembar-lembar tabel yang di-acc K/L masing-masing, membeku dan tergeser dari realitas sosial dan sejarahnya.

Kebiasaan melihat kota dari sudut pandang mata burung ini meluputkan kita pada representasi kota yang sebenarnya penting yaitu lanskap aural (soundscape).

Sebelum lanjut membaca, beberapa kata yang digunakan mungkin seperti bermakna sama, tetapi sebenarnya tidak dapat digunakan bergantian. Menurut KBBI, suara berarti bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia, atau bunyi binatang, alat perkakas, dan sebagainya. Bunyi artinya sesuatu yang terdengar atau ditangkap oleh telinga; nada; dan laras. Sedang bising berarti ramai hingga membuat pekak; hiruk-pikuk.

Penting pula membedakan gema dan gaung, seperti pada tabel di bawah ini.

Sumber: grid.id

Suara sebagai Representasi Kota

Untuk mencecap esensi sebuah kota, kita perlu mundur dari perspektif perencanaan wilayah dan membenamkan diri di jalan-jalan yang ramai, gang-gang yang berliku, dan sudut-sudut tersembunyi.

Michel de Certeau, melalui esainya “Walking in the City,” dalam The Practice of Everyday Life (1980), membandingkan berjalan di kota (seperti mengambil jalan pintas dan mengembara) dengan ekspresi linguistik, seperti pergantian frasa dan lelucon. Dia menggambarkan kota sebagai ruang di mana pejalan kaki mendemonstrasikan kemungkinan beretorika melalui pilihan mereka dalam berjalan.

Simfoni eskalator tua sebagai bagian dari lansekap aural.

Di jantung kota Washington, misalnya, sebuah irama hadir dari eskalator yang menua. Selama bertahun-tahun, pekikan dari eskalator yang sering rusak ini dianggap sebagai bising yang menganggu, sampai Chris Richards mendengar perspektif “simfoni” dari kebisingan ini.

Suara eskalator rusak di tengah jalur transit dengan terompet klakson dan dengungan warga komuter, menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap-aural kota Washington. Di ranah soundscape, Roxanne Layton mengeksplorasi bagaimana suara di ruang kota — mulai dari jalanan yang bising hingga klub malam setempat — dapat “memikat” dan memengaruhi kesehatan jiwa para warga kota.

Namun, di tempat lain, lanskap aural sering diabaikan atau sekadar menjadi latar belakang (yang tidak nyambung) dari representasi visual yang dipertontonkan. Misalnya, dalam film yang menggambarkan kota Bandung, soundtrack-nya mungkin menampilkan lagu Sunda yang syahdu, sementara realitas kotanya jauh dari kenyataan yang tenang dan jernih.

Menertawakan Wajah Palsu Suara Kota

Kita bisa mengambil contoh dari restoran-restoran Sunda yang mencoba untuk menciptakan kembali suasana Tatar Sunda dengan melodi lembut dari seruling dan simulasi suasana sawah. Tapi, ketika kita melangkah keluar dari restoran, kita disambut oleh hiruk pikuk kebisingan, kemacetan yang meraung, klakson yang mengembik, dan hiruk pikuk pejalan kaki. Melodi yang dimainkan di restoran bukanlah representasi yang akurat, tetapi hanya simbol Sunda yang sudah usang. Persis seperti simbol save di berbagai perangkat lunak yang masih menggunakan floppy disk di era penggunanya sebagian besar tidak pernah melihat apalagi menggunakan floppy disk.

Tidak heran, lagu Sabilulungan yang kerap diputar di restoran sunda menjadi meme karena secara ironis bersifat humor dalam merepresentasikan “Sunda”. Ini membuat orang bertanya-tanya: apakah ini ilusi yang mengasingkan kita dari realita atau sekadar fasad yang tidak serius? Karena jelas melodi Sabilulungan sudah tidak lagi representatif sebagai rekonstruksi soundscape dari wilayah Sunda.

Kuasa Bunyi sebagai Sarana Penertiban

Pengabaian terhadap suara kota adalah hal yang disayangkan. Mengingat sepanjang sejarah manusia, suara memiliki kuasa yang luar biasa. Dalam mitologi Yunani, kisah Siren dan Odiseus menampilkan hubungan antara suara dan kuasanya untuk melaksanakan penertiban. Nyanyian Siren yang mempesona mampu merayu pelaut, menyesatkan mereka dan menghilangkan kendali atas tubuh mereka. Nyanyian Siren adalah tanda siaga. Dalam konteks modern kita, sirene berfungsi sebagai sinyal peringatan, mengingatkan kita akan potensi bahaya.

Suara sebagai kuasa untuk mendisiplinkan tubuh juga hadir dalam musik klasik. Pendengar diharapkan untuk mendisiplinkan tubuh mereka dan mendengarkan dalam diam. Anak-anak kerap diperkenalkan pada musik klasik yang memiliki aturan baku agar terlatih mengikuti aturan dan menjadi anak yang penurut. Sementara anak-anak diajari untuk menutup telinga mereka dari lagu-lagu pop yang dinilai cengeng atau berlirik vulgar. Sebagian musik dianggap dapat mengganggu proses pendisiplinan dan membuat anak menjadi pemberontak yang tak beradab.

Dalam budaya Indonesia, bunyi juga sering digunakan sebagai sarana disrupsi. Roro Jonggrang, misalnya, menggunakan suara lisung dan kokok ayam jantan untuk menghentikan pekerjaan Bandung Bondowoso. Gangguan melalui bunyi ini menunjukkan hebatnya kuasa suara dalam membentuk narasi dan menentukan menang/kalah. Mitologi-mitologi ini adalah pengingat bagaimana masyarakat telah lama berusaha menggunakan, menghindari, atau mengatur bunyi tertentu untuk menjaga disiplin dan ketertiban.

Bising: Cap untuk Sang Liyan

Suara yang berlebihan sering dilabeli sebagai kebisingan. Gaung dan gema contohnya. Gaung adalah kumpulan bunyi yang dipantulkan dari permukaan dalam ruang terutup, sementara gema adalah pantulan suara yang bisa didengar sesaat setelah bunyi berlangsung. Gaung dan gema sering dianggap sebuah bising yang menganggu, padahal mereka adalah bagian dari denyut ruang yang tak terpisahkan.

Ini mengingatkan kita tentang mitologi Echo, bidadari yang dikutuk hanya mampu mengulangi kata-kata orang lain. Echo dianggap tidak memiliki identitas yang orisinal. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kita dapat merepresentasikan identitas secara otentik melalui suara, terutama ketika gaung dan gema menjadi elemen yang kurang dihargai meski menjadi bagian tak terpisahkan dari ruang.

Pengalaman yang berbeda membuat definisi bising dari tiap komunitas menjadi berbeda-beda. Pengalaman ini terkait ingatan dan realitas sosial yang terjadi di dalam komunitas tersebut. Pengalaman ini menjadi berbeda berdasarkan faktor-faktor seperti kelas sosial, jenis kelamin, agama, dan latar belakang budaya.

Di area kampung kota, misalnya, percakapan antar tetangga bisa jadi punya tingkat desibel yang lebih tinggi. Percakapan seperti ini tidak dianggap sebagai kebisingan, melainkan sarana interaksi yang diperlukan untuk berkomunikasi efektif. Padahal di lingkungan kota dengan kepadatan tinggi seperti New York misalnya, kita bisa ditegur tetangga di lantai bawah ketika tidak sengaja berjalan terlalu cepat di lantai kayu jam 3 pagi.

Mayoritas masyarakat Indonesia, contohnya, begitu asing dengan lonceng gereja, tetapi azan dianggap lumrah. Kehadiran azan yang konstan melalui pengeras suara dari banyak masjid di ruang urban, telah mendominasi bahkan dianggap penanda lanskap aural di kota-kota di Jawa Barat. Suara penanda ini tidak dikategorikan sebagai bising yang mengganggu, meski dapat didengar oleh setiap warga tanpa terkecuali gender, kondisi kesehatan, umur, suku, dan agama.

Contoh lain misalnya jika kita memutar lagu di apartemen keras-keras, tetangga sebelah dapat mengetuk dan menegur kita. Namun, dentuman musik dangdut yang menggelegar seantero desa dianggap lumrah dan biasa saja. Jika ditegur, jangan-jangan malah kita yang salah.

Pada paragraf ini saya harap pembaca bisa menyadari, bahwa cap “bising” sebenarnya hanya disematkan pada suara-suara yang berasal dari politik di luar kita. Bising adalah penanda untuk suara yang keluar dari identitas di luar diri kita.

Kuasa Suara atas Ruang

Persoalan aural adalah persoalan kuasa atas ruang. “Sunyi” adalah tanda hegemoni bahwa ada penaklukan atas mana yang boleh bersuara dan mana yang tidak. Misalnya, ada regulasi suara kendaraan atau pedagang keliling yang tidak bisa masuk ke komplek militer, apartemen, atau pusat perbelanjaan tertentu. Ruang-ruang ini menjadi tidak bising karena bunyi-bunyi yang ada sudah ditertibkan.

Sedangkan “bising” menandakan bahwa ruang masih belum terkendali dan setiap identitas masih berkontestasi di ruang tersebut. Misalnya, warga yang berkomunikasi dengan berteriak agar tidak kalah dengan warga yang memutar musik dengan kencang, atau kehadiran beberapa masjid dalam satu area kecil tetapi memiliki toa-nya masing-masing.

Lahan baru yang dibuka pengembang di ruang rural seringkali dihargai mahal dengan menjual ketenangan dan kedamaiannya. Di sisi lain, asesor properti kerap mendevaluasi rumah yang berlokasi di dekat mesjid dengan harga yang murah. Ruang yang sunyi memiliki valuasi kapitalnya sendiri. Ada orang-orang yang mau dan mampu membayar lebih mahal untuk ruang yang lebih sunyi. Ada orang-orang yang tidak mampu dan tidak apa-apa dengan suara-suara tersebut karena tidak menganggap itu sebagai kebisingan. Ini menunjukkan hubungan kompleks antara suara, ruang, dan identitas (us vs them) masyarakat.

Namun kampung kota yang berisik juga punya nilainya sendiri. Kawasan yang berisik mewakili bagian kota yang tidak bisa ditaklukkan: ada makna, kenangan, dan warisan yang tidak bisa ditertibkan. Ada berisik yang tidak bisa dipaksa sunyi. Pengeras suara yang dipasang di masjid-masjid kampung kota pun menjadi simbol benteng sonik yang menantang narasi dominan pembangunan modern.

Tak Tertipu oleh Daya Citra

Lagu-lagu yang dimainkan di mall, restoran, tempat pangkas rambut, atau ruang-ruang komersil lainnya kerap membuat jarak antara representasi artistik audio yang dimainkan dan pengalaman aural yang sebenarnya terjadi di ruang kota. Jarak ini membuat kita abai terhadap realitas yang sedang terjadi dan menganggap orang-orang di luar kita sebagai liyan yang bising.

Sepanjang sejarah manusia, suara memiliki kuasa yang luar biasa. Pengabaian terhadap sebagian suara — dan amplifikasi suara lainnya — adalah presentasi kuasa yang kerap luput dari kritik ruang urban.

Jika mau lebih kritis terlibat dalam membangun kota yang inklusif, kita bisa mulai menilik dan lebih perhatian dengan lanskap aural dari kota yang kita tinggali. Suara siapa yang dianggap bising dan perlu ditertibkan?

Jumat, 5 Juli 2024
Jaladri,
sering salah oktaf dan membuat kesal orang yang pitch perfect.

Referensi

Redaksi Merdeka.com. “Anies Baswedan Heran Harga Rumah Dekat Masjid Murah.” Merdeka.Com, 28 Aug. 2021, www.merdeka.com/jakarta/anies-baswedan-heran-harga-rumah-dekat-masjid-murah.html.

Smith, Susan J. "Soundscape." Area, vol. 26, no. 3, 1994, pp. 232–40. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/20003453. Accessed 24 May 2023.University of Westminster. (2006). Guide to Post Occupancy Evaluation. HEFCE.

--

--