Liputan / Warga

Diskucil #3: Bercocok Taman

Tentang Klaim terhadap Ruang yang Hadir bak Oase Urbanisme

Jennie Yuwono
Kolektif Agora

--

Foto oleh Shafiera Syumais, 2019.

Apa yang menarik untuk disambangi dari sebuah kota? Lokasi kuliner? Bangunan bersejarah? Pusat perbelanjaan? Atau mungkin taman kota?

Pada Sabtu (13/6) sore lalu, Kolektif Agora secara perdana menyelenggarakan acara di ruang terbuka publik, yang sekaligus menjadi edisi ketiga dari Diskucil. Kami mengundang Niken Prawestiti, inisiator ayoketaman.com, untuk bertukar pikiran di Taman Mataram, Jakarta Selatan, mengenai taman kota serta relevansinya dengan kehidupan perkotaan.

A woman presenting her research
Foto oleh Shafiera Syumais, 2019.

Eksistensi Taman Kota dan Pengelolaannya

Diskucil dibuka oleh moderator kami, Alvaryan Maulana, dengan perkenalan pemantik. Selanjutnya, Niken diberikan kesempatan untuk memulai paparannya. Sebagai pendiri ayoketaman.com, Niken pun menyampaikan bahwa misi yang diemban organisasinya adalah untuk menyebarkan kepedulian tentang ruang terbuka publik perkotaan agar warga merasakan kedekatan dengan alam serta mengapresiasi usaha pemerintah sebagai pihak yang membangun. Niken mengajak para audiens untuk menggali persepsi dan pemahaman dasar mengenai taman kota. Untuk memancing diskusi, Niken juga bertanya apa alasan mereka berkunjung ke taman kota serta moda transportasi apa yang mereka gunakan untuk mencapai lokasi Diskucil.

Kehadiran taman kota di Indonesia dalam setengah dekade ini adalah sebuah hegemoni. Taman kota hadir bak oase bagi para warga urban. Namun, perlu diingat bahwa taman kota bukan satu-satunya ruang publik. Terdapat pula plaza, alun-alun, sempadan danau, dan ruang publik terpadu ramah anak. Meskipun demikian, eksistensi taman kota adalah gabungan dari dua kebutuhan sebuah kota: sebagai ruang terbuka hijau, sesuai yang diamanatkan oleh Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataaan Ruang, dan juga sebagai ruang publik.

Foto oleh Shafiera Syumais, 2019.

Eksistensi taman kota sebagai fasilitas publik tentu tidak dapat dipisahkan dari aspek pengelolaan. Seringkali timbul pemahaman bahwa fasilitas publik berarti fasilitas yang serta-merta dikelola sepenuhnya oleh pemerintah, sedangkan masyarakat cukup menggunakan saja. Ada anggapan pula, jika di kemudian hari timbul kerusakan, maka pemerintah yang akan menanggungnya. Masyarakat tinggal menerimanya dalam keadaan yang baik.

Niken mengungkapkan bahwa pemahaman seperti itu salah. Masyarakat idealnya sudah menyadari posisinya bahwa ia tidak lagi menempatkan dirinya sebagai pihak yang “terima beres”. Sudah saatnya masyarakat yang memang ikut mengelolanya, termasuk melakukan aktivasi ruang. Melalui aktivasi ruang terbuka hijau, termasuk taman, masyarakat dapat mengapresiasi sekaligus mencegah pergantian fungsi yang berimbas pada citra taman.

Foto oleh Shafiera Syumais, 2019.

Taman Kota dan Tanda Tanya

Niken sempat menyinggung tentang sejarah Taman Mataram sebagai sebuah taman yang didirikan pada tahun 2013 di atas lahan yang pernah dimanfaatkan sebagai SPBU. Momen konversi lahan dari yang awalnya berorientasi profit menjadi nonprofit ini kemudian ditanggapi oleh pertanyaan mengenai manfaat taman secara eksplisit oleh moderator. Menurut Niken, jika landasannya adalah untung-rugi berdasarkan nilai uang, maka nilai pembangunan yang memihak kepada lingkungan akan kalah.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa aspek ekonomi itu juga merupakan perihal dampak jangka panjang yang dapat dinikmati oleh warga perkotaan. Contohnya adalah nilai dari oksigen, seandainya di masa depan oksigen bukan lagi barang yang dapat diakses secara cuma-cuma. Bagi Niken, kebijakan publik seharusnya tidak hanya soal untung-rugi dari perspektif keuangan saja.

Foto oleh Shafiera Syumais, 2019.

Pembahasan mengenai untung-rugi ini juga berkesinambungan dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah kota maupun kabupaten di Indonesia yang mengalami kesulitan untuk menyediakan taman. Salah satu bentuk misi ayoketaman.com adalah memfasilitasi pemerintah kota atau kabupaten untuk mengubah persepsi mengenai taman kota.

Fakta yang ditemui oleh Niken di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah masih belum memprioritaskan pembelian lahan untuk dimanfaatkan menjadi taman kota karena ada program-program yang dinilai lebih mendesak. Di sisi lain, ketika taman kota sudah dibangun dan mulai dapat dimanfaatkan, kendala yang dihadapi adalah biaya pemeliharaan, seperti memangkas rumput dan menyiram vegetasi, yang mana terbilang mahal serta dianggap kurang menguntungkan bagi pemangku kepentingan di ranah pemerintahan.

Posisi taman kota yang masih terabaikan ini mengingatkan Niken dengan apa yang ia lakukan melalui ayoketaman.com. Situs web ini tidak hanya menampilkan foto dan informasi dasar mengenai keberadaan taman-taman kota di Jakarta. Pengguna pun diajak untuk melengkapi data fasilitas serta kegiatan apa saja yang dapat menarik minat orang untuk berkunjung ke taman kota. Selain itu, para pengguna juga dapat menilai taman. Harapannya, penilaian dari pengguna situs dapat digunakan sebagai bahan advokasi kepada pemerintah.

Semakin sore, alur diskusi berjalan semakin dinamis. Audiens menanyakan perihal fungsi sosial dan penjenamaan taman serta budaya bertaman. Salah seorang audiens mempertanyakan apakah aktivasi taman kota tematik, seperti yang jamak terdapat di Kota Bandung, harus sesuai dengan branding yang disematkan. Niken menanggapi dengan pernyataan bahwa idealnya tema sebuah taman sebaiknya cukup dianggap tidak lebih dari jenama saja, sehingga seharusnya masyarakat dalam berkegiatan di taman tidak “disetir”.

Foto oleh Shafiera Syumais, 2019.

Pada hakikatnya, taman kota pun hadir sebagai ruang yang memfasilitasi masyarakat untuk berekspresi. Salah satu batasan berkegiatan di taman yang disebutkan oleh Niken adalah fungsi kegiatan di sekitar taman yang dimaksud. Taman yang terletak di dekat sekolah tentu secara normatif harus disikapi secara berbeda dengan taman yang berada di tengah-tengah permukiman warga, bukan?

Disadari atau tidak, taman kota pernah menjadi bagian dari impian sekian penduduk Indonesia. Di masa sekarang, ketika eksistensi taman kota sudah jamak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, perlu ada sinergi dari masyarakat dan pemerintah untuk bersama-sama menjadi bagian yang memiliki kepedulian untuk mengaktivasi ruang yang diokupansi secara komunal.

Sampai jumpa di Diskucil berikutnya!

Foto oleh Shafiera Syumais, 2019.

Kolektif Agora berterima kasih kepada mitra kegiatan Diskucil #3, yakni Whiteboard Journal dan Teman Taman Jakarta.

--

--