Liputan / Gerak

Liputan Diskusir #13: Kemudi Moda Mudi-Muda

Akhirnya, kami merambah Jakarta. Bertempat di Conclave, bilangan Wijaya, riuh ibukota di akhir minggu (23/2) tidak mengurangi semangat para peserta dan pemantik dalam memperdebatkan ihwal transportasi publik dan anak muda di Jakarta.

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

--

Foto oleh Shafiera Syumais dan Dinda Primazeira, 2019.

Seperti biasa, Diskusir dimulai sedikit terlambat. Beberapa dari kami yang jauh-jauh datang dari Bandung sebenarnya sudah stand by dua jam sebelum acara dimulai, mungkin karena tidak ingin ada yang kurang dari acara ini. Para peserta perlahan mulai memenuhi ruangan serupa amfiteater di beberapa menit lewat jam dua. Ketiga pemantik juga sudah bersiap-siap.

Nayaka Angger, selaku Pemimpin Redaksi dan moderator pada Diskusir kali itu, mendudukkan perkara yang akan dibahas. Seperti judulnya, Kemudi Moda Mudi-Muda, diskusi hari itu mencoba mengurai masalah transportasi publik di Jakarta dan kaitannya dengan kegiatan pemuda-pemudinya. Kebergantungan yang tinggi akan kendaraan pribadi dan mandeknya transportasi publik yang sudah ada membuat peran calon warga di masa depan — muda-mudi ibukota — dipertanyakan. Bagaimana kita harus bersiap dan bersikap?

Senarai Realita Angkutan Umum di Jakarta

Pemaparan dimulai oleh Gandrie Ramadhan dari ITDP Indonesia, menjelaskan soal realitas dan kondisi transportasi di Jakarta. Ia menyampaikan bahwa saat ini, sistem angkutan umum (SAUM) eksisting telah mencakupi 51% wilayah provinsi DKI Jakarta, di mana dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) tahun 2030 diproyeksikan meningkat sampai 10%. Meski begitu, jika sesuai dengan rencana, tetap masih ada daerah padat yang tidak terlayani angkutan umum, seperti daerah Cilincing di Jakarta Utara.

Saat ini, terdapat lima penyedia jasa transportasi umum di Jakarta, yakni TransJakarta, KRL Commuter Line, MRT Jakarta, LRT Jabodebek, dan LRT Jakarta. Menurut telaah Gandrie, saat ini, tidak ada capaian target kolektif dan sinergi dalam pencapaiannya dalam kasus BUMD (TransJakarta, MRT, dan LRT Jakarta). Selain itu, antara pusat dan daerah pun, tidak ada sinergi dan capaian bersama (dalam kasus BUMD, Kementerian Perhubungan, dan PT. KAI). Sehingga, nantinya diperlukan koordinasi yang baik antara penyedia jasa tersebut yang dapat berbentuk seperti holding, untuk menyelaraskan program-program dan sistem transportasi secara keseluruhan di Jakarta.

Foto oleh Shafiera Syumais dan Dinda Primazeira, 2019.

Selain itu, Gandrie juga menyampaikan bahwa integrasi antarmoda di Jakarta masih dapat dikatakan buruk. Pertama, desain infrastruktur yang sudah ada banyak yang tidak memungkinkan masyarakat untuk beralih moda. Hal ini dapat dilihat dari rancangan halte dan jembatan penyeberangan yang cenderung membuat masyarakat enggan berganti angkutan. Selanjutnya, hanya ada sekitar 53 lokasi integrasi antarmoda di Jakarta dan jumlah ini cenderung memusat, tidak menyebar ke daerah-daerah permukiman di pinggiran provinsi Jakarta.

Terakhir, Gandrie juga menyorot bahwa sistem transportasi umum dan desainnya harus memperhatikan skala manusia dan perilaku pejalan kaki. Hal ini terutama berlaku bagi golongan-golongan yang berkebutuhan khusus, seperti anak-anak, lansia, pengguna kursi roda, dan sebagainya. Prioritas juga harus diberikan pada pedestrian, pesepeda, dan penumpang transit.

Melirik TransJakarta

Untuk lebih memahami kondisi transportasi umum dan hubungannya dengan pemuda-pemudi Jakarta, kami juga mengundang Pandito Pratama selaku Process Improvement Analyst dari TransJakarta. Ia mengawali pemaparan dengan menyampaikan fakta bahwa saat ini, 7 dari 10 penduduk DKI telah memiliki akses ke TransJakarta atau biasa disingkat TJ. Moda ini menjadi salah satu yang paling sering digunakan dan pilihan utama, bahkan bagi nonpelanggan TJ. Transportasi daring — yang saat ini juga marak digunakan penduduk ibukota — menjadi moda penunjang dalam penggunaan TJ. Moda ini banyak digunakan karena berbagai alasan, seperti tarifnya yang terjangkau, aman, nyaman, dan ramah lingkungan.

Foto oleh Shafiera Syumais dan Dinda Primazeira, 2019.

Hasil survey yang dilakukan juga menunjukkan bahwa mayoritas pengguna TJ berumur 20–35 tahun. Sehingga, menurut pengamatan insan yang kerap disapa Dito ini, pemuda berperan penting dalam penggunaan transportasi publik di Jakarta, setidaknya dalam kasus TJ. Selain itu, dari segi pekerja TJ, sebagian besar juga berumur 21–30 tahun. Jadi, tidak hanya dari pengguna, karyawan TJ juga berkontribusi dalam pengembangan transportasi publik di Jakarta.

Milenial dan Mobilitas

Namun, apakah demografi pengguna TJ seperti yang dipaparkan Dito di atas sudah mencerminkan perilaku generasi muda Jakarta secara luas? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Rifqi Fadhlurrakhman, selaku Senior Program Designer dari Lingkaran, mencoba menengahkan karakter muda-mudi masa kini dalam bergerak. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita — yang muda ini — memilih moda transportasi secara spontan, dalam artian kita tidak mengikat diri pada pilihan atau batasan tertentu. Sehingga, memang tidak sah rasanya jika kita tidak membahas soal transportasi daring yang sedang mahsyur dan ramai digunakan saat ini, sekaligus menjadi pilihan utama dari golongan muda Jakarta karena fleksibilitas dan kenyamanan yang ditawarkan.

Tabiat pemuda, lanjut Rifqi, masih berusaha bertempat tinggal dekat dengan di mana ia bekerja. Mereka menukar mahalnya tinggal di pusat kota dengan kenyamanan dan penghematan waktu. Ada pula pilihan untuk tinggal bersama dengan teman kerja dan bahkan berkegiatan di tempat yang sama dengan rumah tinggal. Selain itu, beberapa kantor juga mengatur aktivitasnya untuk menghindari jam sibuk, dan juga mempersilakan karyawannya untuk bekerja secara remote.

Dinamika kegiatan muda-mudi Jakarta tidak serta merta membuat mereka enggan memakai transportasi publik. Rifqi mengigatkan bahwa dengan manuver bisnis yang berorientasi pada keinginan pemuda dan alasan logisnya mereka, ada harapan untuk menciptakan ekosistem mobilitas perkotaan yang lebih baik. Anak muda saat ini, menurutnya, bersedia untuk menyesuaikan perilaku mereka sehingga mereka bisa tinggal di lingkungan yang sehat. Hal ini penting untuk diperhatikan dalam formulasi solusi ke depannya, karena mungkin salah satu motivasi mereka untuk menggunakan transportasi publik adalah dengan melirik etika perusahaan penyedia jasa terhadap isu-isu yang penting.

Dari Desain Halte Sampai Status Berkeluarga

Beberapa hal menarik yang disampaikan ketiga pemantik kemudian menyulut diskusi yang ciamik pada sore hari itu, diisi oleh berbagai pertanyaan dari peserta Diskusir. Beberapa yang muncul berkisar di ranah aksesibilitas transportasi publik dalam konteks geografis, seperti pada kasus warga kampung kota dan juga mereka yang bertempat tinggal di daerah “pinggiran”. Nyatanya, meski secara persentase aksesibilitas ini sudah cukup tinggi, tetapi masih ada beberapa daerah yang sulit dijangkau transportasi publik. Sehingga, butuh desain solusi yang mampu menjangkau seluruh daerah di Jakarta, tanpa terkecuali. Hal ini juga harus memperhatikan perencanaan dan manajemen daerah, karena transportasi dan tata guna lahan ibarat dua sisi dalam satu koin.

Foto oleh Shafiera Syumais dan Dinda Primazeira, 2019.

Pandito, dari TransJakarta, banyak disasar dalam diskusi ini. Berbagai “keluhan” mencuat, seperti desain yang kurang inklusif, jalur yang digunakan, sampai sterilisasi jalur bus. Dito mengaku memang masih banyak kendala yang dihadapi oleh TJ dalam mengoperasikan jasanya, terutama dalam ranah birokrasi. Sering terjadi kesalahpahaman dan adu kepentingan dalam perumusan kebijakan, berhubung TJ bukan satu-satunya penyedia jasa transportasi publik di Jakarta. Perilaku warga kota yang juga tidak menaati peraturan yang ada juga jadi kendala yang harus didekati secara strategis di lapangan.

Beberapa lain menanyakan terkait kasus-kasus unik, seperti perilaku “ibu-ibu” yang biasanya membawa banyak barang, terutama saat kembali dari pasar. Yang lain menanyakan tentang bagaimana jika kita sudah berkeluarga, karena tentu akan beda ceritanya. Ada pula yang mengedepankan masalah cuaca di Jakarta yang seringkali membuat enggan menggunakan transportasi publik.

Pada akhirnya, semua pemantik (dan mungkin peserta) sepakat bahwa tidak ada satu solusi mutakhir atas permasalahan transportasi publik di Jakarta. Butuh berbagai perbaikan baik di tingkat individu, kolektif, maupun birokrasi perkotaan. Pemuda-pemudi, dengan segala kesadaran dan modal pengetahuan yang telah dimilikinya, harusnya mampu menjadi garda terdepan perubahan mobilitas kota, baik sekadar pengguna maupun pelaku kampanye. Sambil yang sudah terjun langsung mengusahakan dalam ranah teknokratis, yang diluar harus senantiasa mengingat bahwa tidak hanya integrasi antar moda yang diperlukan, tapi juga harmonisasi arah gerak untuk mencapai transportasi publik yang berkelanjutan.

Foto oleh Shafiera Syumais dan Dinda Primazeira, 2019.

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between