Liputan / Warga

Liputan Diskusir #19: Pindai Daku Kau Kuintai

Dalam Lindungan dan Pasungan Data

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

--

Suasana Diskusir #19 di M Bloc Space, Jumat (21/2) lalu. Foto oleh Shafiera Syumais, 2020.

Pada Jumat (21/2) lalu, Kolektif Agora kembali mengadakan Diskusir di M Bloc Space, Jakarta Selatan, dengan tajuk “Pindai Daku Kau Kuintai”. Diskusir ke-19 ini membahas tentang bagaimana kota hari ini berusaha mengadopsi pendekatan-pendekatan berbasis data dan kaitannya dengan ancaman privasi. Dengan merasuknya teknologi ke sendi-sendi hidup warga, mungkin sekali kita tidak lagi dilihat sebagai manusia, tetapi deret biner yang dianalisis untuk kemaslahatan publik. Sehingga, penting untuk mempertanyakan bagaimana nasib privasi kita, untuk apa dan oleh siapa data digunakan, serta bagaimana cara menanggapi perkembangan teknologi.

Kami mengundang Muhammad Rheza (Rheza) yang sekarang bekerja untuk Pulse Lab Jakarta dan Alamsyah Hanza (Alam) yang mewakili Data Science Indonesia (DSI). Nayaka Angger (Angger), mewakili Kolektif Agora, bertindak sebagai moderator.

Mengenal Apa Itu Data dan Perkembangannya

Alam memulai diskusi dengan memanggil seseorang yang datang dengan pasangannya. “Hal apa yang paling kamu ingin kamu tanyakan saat pertama kali PDKT (mendekati pasangan)?” tanya Alam ke salah satu peserta. Menurutnya, dalam sebuah kencan, informasi yang kita dapatkan dari pasangan kita adalah cara untuk menentukan aksi apa yang tepat untuk dilakukan. Informasi yang sudah didapat kemudian disimpan, dan itu bisa disebut sebagai data.

Tak hanya berupa teks atau tabulasi angka, data juga dapat hadir dalam berbagai bentuk, seperti gambar, suara, bahkan langkah kaki. Semua itu direkam menggunakan perangkat tertentu yang sesuai dengan kebutuhan, seperti CCTV, perekam suara, dan jam digital yang bisa mendeteksi detak jantung kita.

Alamsyah Hanza dari Data Science Indonesia memberikan pengantar tentang data. Foto oleh Shafiera Syumais, 2020.

Kita pun seringkali tidak sadar bahwa pelbagai perangkat tersebut hadir di sekitar kita. Diam-diam, perusahaan dan pemerintah “mengambil” data kita, semacam sedang PDKT dengan kita. Memang, teknologi dan perkembangannya sudah menolong kita dalam banyak hal. Tetapi, tidak semua kasusnya berakhir manis.

Dengan data yang semakin banyak dan semakin mudahnya data itu diambil, seluruh dunia mulai sadar dan membangun proteksi data. Indonesia, contohnya, sedang merancang RUU Perlindungan Data Pribadi yang kemungkinan akan terbit di pertengahan atau akhir tahun ini.

Peserta memperhatikan pemaparan pemantik. Foto oleh Shafiera Syumais, 2020.

Dengan berbagai macam bentuk data yang kini bisa diambil, banyak pula kemungkinan pengolahan yang bisa dilakukan. Namun, berhubung data diproduksi oleh diri kita sendiri, kitalah yang harus mengerti cara melindungi diri kita.

Data dan Kemaslahatan Warga

Melanjutkan Alam, Rheza memulai pemaparan dengan menunjukkan data migrasi sebelum dan pascagempa Palu yang dikerjakan Pulse Lab Jakarta bekerja sama dengan berbagai lembaga lain. Proyek tersebut menunjukkan bagaimana data yang tersimpan bisa digunakan untuk melihat pola pergerakan evakuasi manusia saat bencana alam terjadi.

Menurut Rheza, pemahaman tentang bagaimana data dapat digunakan untuk menyediakan pelayanan yang lebih baik sudah muncul bahkan sebelum perang dunia terjadi. Bedanya, dengan semakin berkembangnya cara-cara mutakhir dalam mengolah dan menampilkan data, kini data menjadi “emas” baru yang sangat berharga, terkadang lebih dari uang.

Alamsyah Rheza, yang saat ini bekerja di Pulse Lab Jakarta, menjelaskan soal potensi data untuk kepentingan publik. Foto oleh Shafiera Syumais, 2020.

Meski begitu, menurutnya penting untuk memahami soal privasi data. Kita harus bisa mengetahui kapan dan bagaimana data kita akan diambil sebuah lembaga atau individu. Dan seharusnya, lembaga atau individu tersebut meminta persetujuan kita terkait data apa dan bagaimana data itu akan digunakan.

Selain itu, penting pula untuk tahu tentang bagaimana data kita bisa disimpan dan diolah dengan aman — di sinilah peran lembaga atau individu dalam memproteksi data menjadi penting.

Rheza sendiri awalnya bersikap “bodo amat” terhadap privasi dan proteksi data. Sampai suatu ketika, ponselnya hilang entah ke mana. Ia pun akhirnya memahami bahwa yang paling penting adalah menjaga akun kita tetap secure, sehingga meskipun gawai hilang, kita masih bisa melakukan pemblokiran atau mengamankan data kita. “Data privacy itu sangat penting dan memang terus menerus jadi bahan diskusi, tetapi yang penting menurut saya adalah mulai lebih peduli sama akun kalian. Yang penting akun aman,” ujar Rheza.

Antara Niat Pemerintah dan Edukasi Warga

Sebelum melempar diskusi ke peserta, Angger memantik kembali dialog lewat beberapa pertanyaan, utamanya soal bagaimana data punya potensi untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan warga.

Menanggapi hal tersebut, Rheza mengatakan bahwa data dari aplikasi-aplikasi yang kita gunakan sehari-hari saat ini sudah sangat bermanfaat. Google Maps dan Twitter saat ini bisa dijadikan acuan untuk penataan kota. Itinya, menurut Rheza, data itu sudah banyak “berceceran”, dan banyak cara yang bisa dilakukan untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat.

Alam melanjutkan bahwa sebetulnya pemerintah — tidak secara umum — belum mumpuni dalam memahami dan mengakses data. Ada dua permasalahan, yakni integrasi antarsektor dan juga ketersediaan sumber daya manusia yang bisa mengoperasikannya.

“Pemerintah itu juga sebenarnya ingin maju, sudah banyak anggaran yang dikeluarkan untuk membeli data. Tapi, terkadang, kita juga yang kurang paham untuk membantu pemerintah, misal dalam kasus sensus online, tidak semua dari kita tahu itu ada dan bagaimana cara menggunakannya,” sambung Rheza.

Salah seorang peserta Diskusir yang melempar pertanyaan ke forum. Foto oleh Shafiera Syumais, 2020.

Selanjutnya, menanggapi isu kesepahaman privasi dan proteksi data, salah seorang peserta menanyakan terkait bagaimana cara mengedukasi masyarakat yang tidak paham dengan kedua hal tersebut.

Rheza berpendapat bahwa cara edukasi paling baik adalah dengan meningkatkan minat baca dan rasa ingin tahu. Contohnya, saat produk digital memberikan lembar persetujuan tanpa interaksi pengguna yang baik, yang bisa diandalkan adalah rasa ingin tahu dan keinginan kita untuk membaca syarat dan ketentuan yang dijabarkan. Hal tersebut juga membuat masyarakat mampu mencari tahu perkembangan teknologi terkini. Bagi pihak penyedia produk, yang bisa dimaksimalkan adalah interaksi dan pengalaman pengguna (UI/UX) yang lebih baik.

Bahkan sampai akhir Diskusir, keragu-raguan di awal pun belum bisa diputuskan. Perdebatan yang muncul akhirnya hanya mampu memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru yang belum sempat terjawab: jadi sejauh apa sebetulnya data bisa dimanfaatkan, dan seburuk apa akibat yang bisa ditimbulkan? Bagaimana cara terbaik untuk mengedukasi diri kita sendiri dan khalayak tentang perkembangan teknologi terkini, penggunaan data, analisisnya, dan lain sebagainya?

Mungkin, benar kata Rheza, sehabis diskusi, seharusnya kita lebih banyak lagi bertanya dan membaca.

Foto bersama peserta dan pemantik Diskusir. Foto oleh Shafiera Syumais, 2020.

Ikuti Instagram kami untuk informasi mengenai jadwal Diskusir selanjutnya!

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between