Liputan / (Pra)sarana

Liputan Diskusir #20: Habis Gelap, Terlalu Terang

Dampak dan Pengelolaan Cahaya Buatan

Kolektif Agora
Kolektif Agora

--

Diambil dari presentasi Dane untuk Diskusir #20, 2020.

Pada Jumat (17/7), Kolektif Agora untuk pertama kalinya menyelenggarakan Diskusir secara daring. Kami mengundang Dane Amilawangi, alumni KTH Royal Institute of Technology yang baru saja menyelesaikan studi magisternya di bidang arsitektur pencahayaan, untuk membahas polusi cahaya dan integrasi “kegelapan” dalam akupunktur urban.

Persepsi tentang Kegelapan sampai Polusi Cahaya

Dane membuka Diskusir malam itu dengan menjabarkan perkembangan sejarah penerangan dan hubungannya dengan kegelapan. Menurut hasil studinya, hingga abad ke-19, pencahayaan buatan masih menjadi hal yang mewah. Keadaan di malam hari yang gelap juga kerap diasosiasikan dengan hal-hal mistis dan menakutkan.

Dane mengutip karya Paul Bogard (2014), The End of Night, yang menjelaskan beberapa perspektif kegelapan dalam budaya yang berbeda. Dalam budaya Jepang, kegelapan memiliki peran penting dalam estetika, karena keindahan sebuah objek berada pada pola bayangannya. Penduduk asli Amerika juga memiliki perspektif spiritualitas yang unik tentang kegelapan. Kegelapan berarti perlindungan, sama seperti kondisi nircahaya dalam rahim.

Ada kebudayaan yang melihat kegelapan sebagai hal positif, indah, pelindung, penyembuh, dan berkemungkinan tak terbatas, bertentangan dengan perspektif budaya barat yang menekankan kebaikan versus kejahatan, di mana kegelapan digambarkan sebagai representasi kejahatan.

Pandangan itu, didukung oleh kemajuan teknologi, disulap menjadi cahaya buatan yang kita tahu sekarang di lingkungan malam perkotaan. Persepsi terang dan gelap ini telah memengaruhi bagaimana bentangan malam kota dirancang. Hasil telaah Dane terhadap penelitian tentang cahaya menjelaskan bahwa persepsi dunia baratmemiliki dampak paling signifikan pada pemandangan malam perkotaan kita saat ini.

Menurut Dane, berdasarkan data Falchi dkk. (2016), 83% populasi hidup di bawah langit yang berpolusi cahaya. Istilah “polusi cahaya” telah diakui secara luas dan dikenal karena memengaruhi langit malam, ekologi, kesejahteraan manusia, dan penggunaan energi. Salah satu cara mengatasi masalah ini adalah memfokuskan kembali intervensi terhadap kegelapan pada tahap desain awal.

Dalam konteks Indonesia, polusi cahaya ini menjadi masalah yang cukup akut, tapi sedikit dibahas. Misalnya, menurut salah satu peserta Diskusir, Pak Abdi, Observatorium Boscha adalah satu-satunya teropong bintang di bagian selatan khatulistiwa yang terpengaruh besar oleh polusi cahaya. Kesulitan dalam melihat bintang pun merupakan salah satu kerugian informasi astronomi dalam skala dunia, bukan hanya skala lokal.

Mengelola Gelap dan Terang

Akupunktur urban adalah sebuah pendekatan perancangan yang dilakukan melalui intervensi skala kecil untuk menciptakan perubahan yang lebih besar. Salah satu proyek percontohan akupunktur urban sudah dilakukan untuk mempelajari kombinasi terang dan gelap yang efektif, yakni Van Gogh Path di Eindhoven, Belanda.

Mengutip Dr. Taylor Stone, Dane mengemukakan sembilan nilai kegelapan (value of darkness) yang dapat menjadi panduan dalam mengelola pencahayaan di malam hari. Kesembilan nilai-nilai tersebut adalah: (1) ekologi, (2) efisiensi, (3) keberlanjutan, (4) kesehatan, (5) kebahagiaan, (6) koneksi dengan alam, (7) visibilitas bintang, (8) warisan dan tradisi, serta (9) keindahan.

Nilai-nilai kegelapan, diambil dari presentasi Dane untuk Diskusir #20, 2020.

Kesembilan prinsip tersebut kemudian dieksplorasi oleh Dane untuk merancang intervensi pengendalian polusi cahaya di Jalan Sudirman, Jakarta. Pemilihan lokasi dilatarbelakangi tidak hanya oleh kondisi Jalan Sudirman sebagai lokasi yang vital di pusat Jakarta, tapi polusi cahaya yang cukup memprihatinkan di daerah tersebut.

Penelitian yang dilakukan Dane bertujuan untuk mengeksplorasi kemungkinan desain yang memperkenalkan kembali kegelapan ke dalam lanskap perkotaan pada malam hari lewat konsep desain urban dark acupuncture. Konsep desain ini berfokus pada pencahayaan untuk fasilitas pejalan kaki, menciptakan lingkungan yang menarik dan nyaman, dan mengomunikasikan pesan lingkungan tentang polusi cahaya.

Akupunktur urban sendiri adalah sebuah pendekatan perancangan yang dilakukan melalui intervensi skala kecil untuk menciptakan perubahan yang lebih besar. Salah satu proyek percontohan akupunktur urban sudah dilakukan untuk mempelajari kombinasi terang dan gelap yang efektif, yakni Van Gogh Path di Eindhoven, Belanda.

Penelitian Dane ini berhubungan dengan masih minimnya eksplorasi mengenai solusi praktis atau desain untuk merespon cahaya berlebih. Banyak riset yang membahas tentang dampak buruk cahaya, tapi belum banyak yang mencoba mengeksplorasi solusinya.

Gampang-Gampang Susah

Meskipun polusi cahaya sudah marak dibicarakan, hal tersebut tidak serta-merta mengindikasikan bahwa pencahayaan yang berlebihan di malam hari sudah dikelola secara menyeluruh. Tidak semua kota memiliki upaya yang spesifik dan masif.

Saat ditanya mengenai kondisi ideal apa yang diperlukan agar desain milik Dane dapat diimplementasikan dengan baik, regulasi menjadi faktor penting seperti Paris yang punya aturan mematikan cahaya setelah jam 12 malam.

Mengingat lingkup proyek ini yang hanya fokus pada pencahayaan jalur pejalan kaki, maka keadaan cahaya dari kondisi di sekitarnya juga harus didukung oleh regulasi. Saat ini, di Indonesia, pengaturan mengenai pencahayaan masih terbatas dalam urusan perhubungan. Regulasi tersebut pun masih berorientasi pada penghematan energi, belum pada kesadaran akan penggunaan cahaya berlebih.

Tentu saja riset-riset dan pengembangan regulasi ini masih bisa berkembang lebih lanjut, terutama dalam konteks lokal dari masing-masing daerah. Bagi kota-kota besar, polusi cahaya sudah dianggap penyakit yang harus diobati. Namun, dalam konteks kota-kota kecil dan daerah pedesaan, diskursus polusi cahaya masih dalam tahap penumbuhan kesadaran dan pencegahan.

Penutup

Menurut Dane, upaya untuk mendorong pemahaman mengenai polusi cahaya memang tidak bisa lewat teori saja, tapi juga perlu contoh dan praktik-praktik nyata.

Tangkapan layar peserta Diskusir #20, 2020.

Perlu perjalanan panjang untuk membuat kota bebas dari polusi cahaya, yang setidaknya, dapat dimulai menjadikan pencahayaan sebagai aspek tersendiri dalam diskursus pembangunan dan desain. Cita-cita idealnya memang memprioritaskan cahaya sebagai sesuatu yang fungsional dan tidak berlebihan dalam lanskap kota.

Pada akhirnya, polusi cahaya adalah refleksi dari akumulasi pengembangan produk yang sudah melebihi ambang batas. Cahaya, yang pada awalnya adalah sebuah kemewahan, bergeser kembali menjadi kebutuhan.

Menanggulangi polusi cahaya bukan berarti menjadi anti terhadap teknologi penerangan dan memaksakan kegelapan. Kata kunci yang perlu dipahami dalam isu cahaya yang berlebih adalah “sesuai kebutuhan”; artinya, dalam mengelola cahaya, perlu dipahami kebutuhan dan lokasi-lokasi di mana cahaya memang dibutuhkan.

Karena, pada dasarnya, perkembangan teknologi cahaya juga lahir dari sebuah kebutuhan yang nyata pula.

Bagi teman-teman yang tertarik dengan topik pembahasan ini, bisa juga melihat laman portfolio Dane di: https://danea.myportfolio.com/urban-acupuncture-for-darkness

--

--