Esai / Gerak

Macet? Apa Sebab?

Aritmatika Sederhana Musabab Kemacetan yang Menyiksa

Kolektif Agora
Kolektif Agora

--

Oleh: Muhammad Zulyadri

Foto oleh Dadan Fitriyana di unsplash.com, 2019.

“Macet”. Seolah penghuni kota-kota besar di Indonesia sudah berevolusi sedemikian rupa hingga akhirnya kata tersebut menjadi hal biasa ketika terdengar oleh telinga, menjadi lumrah dilihat oleh mata, dan menjadi sesuatu yang mau tidak mau harus dihadapi. Kemacetan telah menyerap ke dalam keseharian kita sebagai warga kota. Padahal, baru-baru ini, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa setiap tahunnya, kemacetan di wilayah Jabodetabek saja menyebabkan kerugian sebesar 65 triliun rupiah.

Evolusi kita sebagai warga kota, yang telah membuat kemacetan jadi wajar, pada akhirnya membuat kita jarang, atau bahkan tidak pernah mempertanyakan apa sesungguhnya penyebab fenomena ini. Di sini, penulis akan memberikan pandangan tentang apa penyebab kemacetan yang seringkali melanda kota kita.

Dari hasil membaca beberapa artikel, modul, dan mengamati sendiri di lapangan, penulis menggolongkan bahwa sebetulnya penyebab kemacetan terdiri dari dua perkara utama: terlalu banyak mobil pribadi dan krisis transportasi massal.

Bukan lampu merah yang terlalu lama, bukan juga jalan yang kurang lebar.

Bagian 1: Tragedi Mobil Pribadi

Tanpa berniat menyudutkan pengguna mobil pribadi, kita harus menerima kenyataan, bahwa disadari atau tidak, mobil pribadi adalah pemakan ruangan terbesar di jalanan.

Pengguna mobil pribadi mungkin akan menyanggah, “Itu sih karena banyak motor aja, mereka kan pada nggak tertib, jadi bikin laju mobil terhambat, sama banyak pedagang kaki lima (PKL), tuh. Yang bikin macet tuh mereka!

Namun, jika seandainya ada hari tanpa sepeda motor atau hari tanpa PKL pun, jalanan akan tetap macet.

Mengapa bisa penulis katakan demikian? Karena, penulis berpijak pada konsep “berapa banyak ruangan yang dipakai oleh seseorang di jalan”. Bagaimanapun, perpindahan manusia adalah kegiatan pemanfaatan salah satu bentuk ruang di perkotaan, dan ruang tersebut dinamakan “jalan”, dengan pengendara beserta kendaraannya sebagai pengisi atau pemanfaat ruangnya. Ada hal unik dari bentuk pemanfaatan ini karena sifatnya yang bergerak. Pemanfaatan ini dikatakan efisien dan mencapai efektivitasnya jika arusnya lancar. Sebaliknya, kemacetan merupakan dampak yang ditimbulkan karena ruang tersebut sudah jenuh oleh isinya, sehingga bisa dikatakan tidak efisien lagi atau bahkan tidak efektif.

Dari konsep tersebut, ada besaran ukurannya, yaitu x m2/orang, di mana “x” merupakan besarnya ruang yang dipakai seseorang, dan “x” didapatkan dari luas kendaraan dibagi jumlah orang pada kendaraan tersebut. Luas kendaraan dihitung dari panjang kendaraan (atau bagian terpanjang dari kendaraan) dikali lebar kendaraan atau bagian terlebar dari kendaraan. Kendaraan diasumsikan berbentuk kotak/persegi panjang dalam perspektif dua dimensi dilihat dari atas, sehingga tinggi kendaraan tidak perlu diperhitungkan.

Langsung saja pada contoh. Untuk mobil pribadi, kalau mobil tersebut hanya berisi satu orang, panjang kendaraan 4 m, dan lebar kendaraan 1,6 m (ini adalah rata-rata ukuran minibus yang beredar di Indonesia), maka besar ruang yang dipakai adalah:

Luas mobil: 4 m × 1.6 m = 6.4 m2

Jumlah orang: 1

Ruang yang dipakai: 6.4 m2 : 1 orang = 6.4 m2 /orang

Tentunya, angka ini akan menurun jika penumpang mobil bertambah. Jika dua orang menjadi 3,2 m2/orang, jika tiga orang menjadi 2,13 m2/orang, dan begitu seterusnya.

Tapi, angka ini juga masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan sepeda motor yang hanya digunakan satu orang. Anggap saja satu orang ini menunggangi sebuah sepeda motor berjenis bebek atau skuter matic dengan panjang 2 m dan lebar 70 cm. Lebar di sini adalah lebar stang kemudi, karena itulah bagian paling lebar dari sepeda motor dan sepeda motor tidak berbentuk persegi panjang jika dilihat dari atas. Dengan rumus tadi, besar ruang yang dipakai adalah:

Luas motor: 2 m × 70 cm = 1,4 m2

Jumlah orang: 1

Ruang yang dipakai: 1,4 m2 : 1 orang = 1,4 m2 /orang

Masih cukup signifikan jika dibandingkan dengan mobil pribadi yang berisi tiga orang. Mobil pribadi baru menandingi efisiensi penggunaan ruang oleh sepeda motor yang ditunggangi oleh satu orang jika diisi oleh lima orang, di mana penggunaan ruangnya akan menjadi 1,28 m2/orang.

Namun, adakah pengguna mobil yang sehari-harinya menggunakan mobilnya untuk lima orang atau lebih?

Di sinilah permasalahannya. Di kota-kota besar di Indonesia, sebagian besar mobil hanya digunakan oleh satu atau dua orang, itu pun kalau ada teman yang nebeng dan si empunya mobil tidak berkeberatan memberikan tebengan.

Sehingga, seandainya ada hari tanpa sepeda motor atau hari tanpa PKL pun jalanan akan tetap macet, karena penggunaan ruang oleh mobil pribadi adalah yang paling besar. Di Los Angeles sana, tidak ada sepeda motor sebanyak di Indonesia, lebuh rayanya pun lebar-lebar, mungkin lebih lebar dari jalan tol Jakarta-Cikampek, tapi tetap saja macet. Di kota penulis sendiri, Bandung, hari Sabtu dan Minggu adalah PKL Free Day untuk wilayah Sukajadi, tapi tetap saja macet, malah lebih macet ketimbang hari biasa. Hal ini tentu karena terlalu banyak mobil, dan kita tahu sendiri Bandung di akhir pekan adalah surga bagi wisatawan dari kota-kota tetangga yang sebagian besar datang dengan membawa serta mobil pribadinya.

Sekarang kita bandingkan dengan transportasi massal, misalnya bus kota. Dengan dimensi panjang 11 m dan lebar 2,4 m, bus jenis non-articulated bisa dijejali sampai 80 orang (duduk dan berdiri). Anggap saja bus hanya terisi 50 orang, maka besar ruang yang dipakai adalah:

Luas bus: 11 m × 2,4 m = 26,4 m2

Jumlah orang = 50

Ruang yang dipakai = 26,4 m2 : 50 orang = 0,528 m2 /orang

Irit sekali, bukan? Mobil minibus yang dijejali sampai kapasitas maksimumnya saja (tujuh orang) tidak akan seirit ini, hanya akan berada di angka 0,91 m2/orang, dan tetap masih lebih boros tempat dibandingkan dengan sepeda motor yang ditunggangi sampai kapasitas maksimalnya (dua orang), yaitu di angka 0,7 m2/orang.

Bagaimana kalau dibandingkan dengan kereta api, bukankah kereta api adalah raja dari transportasi massal di darat?

Tidak perlu dibandingkan lagi, karena ketika seseorang memutuskan untuk naik kereta api, maka dia tidak akan membebani jalan sedikitpun, atau bahasa matematisnya (seperti di atas) 0 m2/orang.

Sekali lagi, tulisan ini bukan bermaksud menyudutkan pengguna mobil pribadi, namun penulis merasa ada baiknya konsep ini diketahui juga oleh banyak orang. Tulisan ini juga bukan untuk dijadikan pembenaran bagi para pengguna sepeda motor, karena bagaimanapun, sepeda motor juga kendaraan pribadi yang ikut menyumbang polusi udara — polusi kecil-kecilan kalau dilakukan berjamaah akan jadi polusi besar juga.

Terakhir, untuk menutup bagian pertama, penulis ingin membagikan kalimat yang jadi pegangan penulis dalam tulisan ini, sekaligus untuk dijadikan renungan juga:

“Seringkali, kebanyakan masyarakat golongan atas di kota-kota berkembang membayangkan bahwa dengan memindahkan kaum miskin ke bawah tanah, masalah lalu lintas akan berakhir.”

Kalimat tersebut disampaikan oleh Enrique Peñalosa, Wali Kota Bogotá, Kolombia periode 1998–2001, yang membenahi sistem transportasi Bogotá melalui sistem bus rapid transit (BRT) yang bernama TransMilenio.

Kita bisa menafsirkan maksud dari “memindahkan kaum miskin ke bawah tanah” adalah “memindahkan kaum miskin ke transportasi massal”, karena di dunia barat kebanyakan jaringan transportasi massal berbentuk subway/kereta bawah tanah.

Kalau di Indonesia, kalimat itu mungkin bisa dimaknai seperti ini: “Seringkali, kebanyakan masyarakat golongan atas di kota-kota besar membayangkan bahwa dengan memindahkan kaum miskin (pengguna sepeda motor, PKL, dan golongan lainnya yang mereka anggap lebih “bawah” dari mereka) ke bawah tanah (atau mengenyahkannya sekalian), masalah lalu lintas akan berakhir.”

Sepertinya tidak.

Bagian 2: Perihal Transportasi Massal

Setelah di bagian pertama kita membahas tentang konsep penggunaan ruang, bagian kedua ini akan membahas tentang poin kedua, yaitu: krisis transportasi massal, bukan krisis angkutan umum.

Pertanyaannya: mengapa transportasi massal, bukan angkutan umum?

Menurut J.L. Schofer, transportasi massal adalah sistem perjalanan kelompok menggunakan moda seperti bus atau kereta api yang dioperasikan pada rute yang ditetapkan sehingga memungkinkan perpindahan orang dalam jumlah banyak pada satu koridor perjalanan dengan efisiensi yang lebih tinggi.

Sedangkan, kalau kita menyebutkan angkutan umum, ojek dan taksi (baik itu konvensional maupun online) juga termasuk angkutan umum. Kedua jenis transportasi ini tidak termasuk transportasi massal karena: (1) menggunakan armada yang ukurannya hanya sebesar kendaraan pribadi, serta (2) beroperasi pada rute yang tidak ditetapkan atau dalam istilah disebut “Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek.” Jenis transportasi semacam ini justru tidak mengurangi kemacetan karena bisa menciptakan keadaan nol orang memakai ruang.

“Loh, bagaimana bisa nol orang memakai ruang? Ngaco nih yang nulis, kebanyakan baca cerita gaib ya?”

Jawabannya: tentu bisa. Pertama-tama, kita urai dulu, siapa-siapa saja yang ada di jalanan:

  • yang memindahkan;
  • yang dipindahkan, dan;
  • yang memindahkan dirinya sendiri (dia adalah pemindah sekaligus yang dipindahkan).

Ada yang tidak dihitung, yaitu yang pertama: yang memindahkan. Siapa saja yang masuk golongan ini? Sopir angkutan umum (sopir ojek, sopir taksi, sopir angkutan massal juga) dan sopir pribadi.

Supaya lebih terbayang, penulis berikan contoh:

Tuan A hendak pulang dari pusat perbelanjaan ke rumah. Tuan A memesan taksi (entah konvensional ataupun online), taksinya kita anggap saja ukuran minibus (6,4 m2). Nah, yang dihitung menggunakan ruang itu hanya Tuan A, bukan Tuan A dan sopir taksi. Jadi penggunaan ruangnya tetap 6,4 m2/orang, bukan 3,2 m2/orang. Kenapa sopirnya tidak dihitung? Karena yang punya kepentingan untuk berpindah dari pusat perbelanjaan ke rumahnya adalah Tuan A, bukan sang sopir.

Setelah mengantarkan Tuan A ke rumah, apa yang dilakukan sopir tersebut? Tentu kembali ke pangkalannya atau ngider mencari penumpang berikutnya. Selama perjalanan dari rumah Tuan A ke pangkalan, atau dari rumah Tuan A sampai sang sopir menemukan penumpang berikutnya, dia tidak mengantarkan siapa-siapa. Inilah yang disebut keadaan nol orang memakai ruang, atau dalam hal ini nol orang memakai 6,4 m2. Untuk kasus ojek sama dengan taksi, hanya saja luasan yang digunakan tentu lebih kecil.

Makanya tidak heran setelah bisnis transportasi online naik ke permukaan, jalanan malah semakin macet, makin terasa di dua-tiga tahun belakangan ini, karena taksi dan ojek yang sebelumnya memang sudah banyak (yang konvensional), sekarang menjadi lebih banyak lagi. Kendaraan pribadi yang biasanya idle di garasi atau di parkiran sekarang tumpah-ruah ke jalanan untuk nyari muatan. Ingat, kegiatan nyari muatan itu nol orang memakai ruang.

Sekarang beralih ke sopir pribadi. Mengapa sopir pribadi juga tidak dihitung? Karena serupa demikian. Misalnya, seorang sopir pribadi bernama Bapak X pada pagi hari mengantar majikan ke kantor dan anak majikan ke sekolah dalam satu rit, pada saat itu, yang dihitung hanya dua orang, yaitu majikan dan anak majikan. Siang hari, Bapak X menjemput anak majikan ke sekolahnya, dalam perjalanan dari kantor majikan ke sekolah anak majikan dia tidak membawa siapa-siapa — ini keadaan nol orang memakai ruang. Kemudian mengantar anak majikan dari sekolah ke rumah majikan, ini dihitung satu orang. Pada sore hari Bapak X menjemput majikannya, Bapak X menjalankan mobil dari rumah majikan ke kantor majikan, perjalanan dari rumah majikan ke kantor majikan ini juga tidak membawa siapa-siapa, alias nol orang memakai ruang. Jadi sebetulnya, bisa kita simpulkan bahwa mengandalkan sopir pribadi juga bisa dikatakan pemborosan ruang.

Lalu kaum kaya masih membayangkan kalau memindahkan kaum miskin ke bawah tanah, maka permasalahan lalu lintas akan selesai.

Terakhir ada golongan ketiga, yaitu yang naik kendaraan pribadi dan mengemudikannya sendiri. Kalau yang ini dihitung satu, karena dia pemindah sekaligus yang dipindahkan (memindahkan dirinya sendiri).

“Lebih parah lagi kalau transportasi massal isinya sedikit, dong?”

Betul, makanya sangat disayangkan kalau transportasi massal memiliki tingkat keterisian rendah. Bayangkan saja, jika sebuah bus kota hanya berisi 3 penumpang (sekali lagi, sopir tidak dihitung), sedangkan ruang yang dihabisinya sebanyak 26,4 m2 atau dengan kata lain satu orang memakai 8,8 m2, tentunya ini sangat eksesif. Maka dari itu, kita dianjurkan naik transportasi massal.

“Tapi kalau transportasi massalnya dalam kondisi kritis, apa masyarakat mau pakai?”

Ya, betul. Maka dari itu, transportasi massal harus berdaya (useful). Bagaimana sih transportasi massal yang berdaya itu? Menurut Jarrett Walker dalam bukunya Human Transit, ada tujuh indikator transportasi massal yang berdaya, yaitu: (1) mampu membawa penumpang ke mana penumpang mau, (2) mampu membawa penumpang kapanpun penumpang mau, (3) tidak membuat penumpang menghambur-hamburkan waktu, (4) hemat ongkos, (5) menghargai penumpangnya, (6) bisa dipercaya, dan (7) memberi kebebasan pada penumpang untuk mengubah rencana. Jika ketujuh indikator ini dimiliki, maka sebuah sistem transportasi massal dapat dikatakan berdaya, dan jika salah satu atau bahkan semua indikator tidak terpenuhi atau dapat dipenuhi oleh moda transportasi lain, maka sistem transportasi massal tersebut dikatakan tidak berdaya (useless).

Kondisi transportasi massal yang tidak berdaya dapat dijumpai di Bandung, di mana jaringan bus kotanya (yang menamai dirinya BRT) boleh dibilang masih jauh dari kata mumpuni. Pada beberapa rute, ia tidak memiliki halte (tidak menghargai penumpang, terutama penumpang dari golongan difabel), headway yang lama dan tidak konsisten (tidak mampu membawa penumpang kapanpun penumpang mau, membuat penumpang menghambur-hamburkan waktu, tidak bisa dipercaya), ongkos yang mahal karena kalau berganti rute harus membayar lagi, serta jam operasional yang masih terbatas (tidak mampu membawa penumpang kapanpun penumpang mau, tidak menghargai penumpang, tidak memberikan kebebasan bagi penumpang untuk mengubah rencana).

Apalagi kalu bicara soal jaringan transportasi massal berbasis rel, masih jauh dari kenyataan. Kondisi ini menyebabkan masyarakat golongan bawah “terpaksa” bergantung pada sepeda motor karena ongkos yang harus dikeluarkan lebih murah, dan masyarakat golongan atas (yang mayoritas butuh serba cepat dan waktu aktivitasnya bisa sampai malam) “terpaksa” bergantung mobil pribadi atau angkutan umum bebas trayek — yang ternyata tidak juga memecah kemacetan.

Menanggulangi kemacetan itu perlu upaya kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat. Yang pertama, perlu ada kemauan yang sangat kuat dari pemerintah untuk membatasi penjualan kendaraan pribadi, menyediakan sistem transportasi massal yang andal, berkelanjutan, dan terjangkau. Lalu yang kedua, setelah ada sistem tersebut, masyarakat dari semua lapisan harus mau beralih, bukan hanya masyarakat golongan bawah tapi juga masyarakat golongan atas.

Karena, memindahkan kaum miskin ke bawah tanah saja tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan lalu lintas.

Referensi:https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4375701/jokowi-kerugian-akibat-macet-jabodetabek-rp-65-t-per-tahunPenalosa, E. (2002). Peran Transportasi dalam Kebijakan Perkembangan Perkotaan. Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit GmbH. (https://www.sutp.org/files/contents/documents/resources/A_Sourcebook/SB1_Institutional-and-Policy-Orientation/GIZ_SUTP_SB1a_The-Role-of%20Transport-in-Urban-Development-Policy_ID.pdf)Pardo, C.F. (2002). Meningkatkan Kesadaran Masyarakat akan Transportasi Perkotaan Berkelanjutan. Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit GmbH. (https://www.sutp.org/files/contents/documents/resources/A_Sourcebook/SB1_Institutional-and-Policy-Orientation/GIZ_SUTP_SB1e-Raising-Public-Awareness-about-Sustainable-Urban-Transport_ID.pdf)Schofer, J.L. Mass Transit. (https://www.britannica.com/topic/mass-transit). Diakses 05-08-2019.Walker, J. (2011). Human Transit. Island Press.

--

--