EDITORIAL

Masalah Makan, Masalah Urban

Beberapa Tanya Soal Pangan

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora

--

Foto oleh Shafiera Syumais, 2018.

World Health Organization melaporkan bahwa saat ini jumlah manusia yang mengalami overweight jauh lebih banyak dibandingkan jumlah manusia yang kelaparan. Bagi yang tidak menyadari atau bahkan tidak sepakat bahwa overweight adalah masalah kesehatan yang sama buruknya dengan gizi buruk dan kelaparan, perlu diketahui bahwa kondisi manusia yang mengalami masalah obesitas rentan terhadap masalah-masalah kesehatan yang “membunuh” seperti diabetes, gagal jantung, strokes, atau gagal ginjal.

Permasalahan ini semakin merumit ketika pandangan umum mengasosiasikan berat badan dengan tingkat “kemakmuran”. Ungkapan “makin subur aja” sering dilontarkan kepada seseorang yang mengalami kenaikan berat badan. Obesitas atau kelebihan berat badan adalah penyakit yang tidak mengenal tingkat perekonomian. Memang, kita lebih jamak menemui kelompok masyarakat ekonomi menengah kebawah yang terlihat seperti “kekurangan gizi”, namun di saat yang bersamaan ditemukan pola umum yang menunjukan bahwa obesitas berasosiasi dengan latar belakang ekonomi dan sosial. Permasalahan obesitas tidak hanya menghampiri masyarakat ekonomi menengah ke atas saja. Bahkan di negara-negara miskin pun, obesitas adalah permasalahan kesehatan yang sering ditemui.

Dua faktor utama yang berkontribusi terhadap obesitas adalah kebiasaan hidup dan pola makan. Dua faktor ini menjadi permasalahan yang teramplifikasi di wilayah perkotaan (urban area).

Akibat, ya… gaya hidup urban.

Preferensi moda transportasi misalnya, berpengaruh besar terhadap obesitas. Keengganan untuk berjalan kaki berperan terhadap “kurang geraknya” masyarakat di wilayah perkotaan yang lebih memilih untuk menggunakan kendaraan bermotor, apalagi sejak semakin berkembangnya moda transportasi yang sangat customized. Penelitian yang dilakukan Universitas Standford melansir temuan mengenai masyarakat Indonesia yang paling malas untuk berjalan kaki. Rata-rata masyarakat Indonesia berjalan 3.513 langkah per hari. Angka ini merupakan angka yang paling rendah, dibandingkan dengan masyarakat Hong Kong, yang merupakan pejalan kaki paling aktif, dengan rata-rata 6.880 langkah per hari.

Mengamati pola kebiasaan masyarakat perkotaan, dalam konteks ini perkotaan Indonesia, tidak cukup hanya dengan melihat data rata-rata langkah per hari. Kebiasaan untuk menaiki elevator dan eskalator, alih-alih tangga, merupakan contoh lain mengenai pola aktivitas fisik yang berpengaruh terhadap obesitas. Namun, kebiasaan tersebut masih bisa ditanggulangi dengan kampanye aktivitas fisik dan olahraga. Kesadaran untuk berolahraga mengalami peningkatan di wilayah perkotaan.

Faktor obesitas yang lebih berbahaya, dan sialnya bersifat laten, adalah faktor kedua, yaitu pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Berapa persentase masyarakat perkotaan yang memperhatikan besaran kalori yang dikonsumsi sehari-hari? Berapa persentase masyarakat perkotaan yang repot-repot membaca label kalori yang tertera dalam kemasan panganan yang dikonsumsi? Lebih repot lagi, jika panganan yang dikonsumsi bukanlah panganan kemasan yang jumlah kalorinya sudah diperkirakan.

Siapa yang bisa menghitung besaran kalori yang terkandung dalam satu piring nasi goreng atau dalam satu porsi sate kambing? Siapa yang repot-repot menghitung jumlah gula yang dikonsumsi dalam satu cangkir caffe latte atau minuman karbonasi yang diteguk untuk menawar hawa panas hasil emisi lahan perkotaan yang mayoritas diaspal?

Ngomong apaan sih lu?

Dimensi-Dimensi Ketahanan Pangan

Konsep Ketahanan Pangan pertama kali diperkenalkan dan disepakati dalam Food World Summit di Kota Roma pada tahun 1996. Dalam konsep ketahanan pangan terdapat empat dimensi yang sama pentingnya, yaitu ketersediaan pangan (food availability), aksesibilitas Pangan (food acessibility), kualitas pangan (food quality), dan keberlanjutan pangan (food sustainability). Keempat dimensi ini adalah versi penyempurnaan dari diskursus ketahanan pangan yang telah dimulai sejak tahun 1970an

(Pembacaan mengenai perkembangan ketahanan pangan dapat disimak di sini.)

Isu asupan kalori ini hanyalah satu dimensi dalam diskursus mengenai pangan, yaitu dimensi kualitas pangan, di mana dimensi ini berbicara tentang kecukupan gizi dan seberapa sehat panganan yang dikonsumsi seorang manusia dalam satu hari dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam skala individu, dimensi kualitas (kesehatan dan kecukupan) ini masih mendapatkan perhatian yang jauh lebih sedikit, bahkan nyaris nihil dibandingkan dimensi lain, yaitu dimensi aksesibilitas — alias masalah harga.

Tidak bisa dipungkiri bahwa urusan pangan akan sangat asosiatif dengan urusan ekonomi. Otak dan tingkah laku manusia seperti memiliki jalan pintas, urusan mencari makan akan dihadapkan dengan ketersediaan sumber daya atau uang. Jika kebutuhan akan panganan adalah permintaan (demand) dalam kurva supply-demand, maka ketersediaan uang adalah supply-nya. Tidak sepenuhnya salah, karena satu di antara empat dimensi ketahanan pangan, yaitu aksesibilitas pangan, juga bicara urusan “uang”. Hanya, apa memang uang satu-satunya variabel manusia memilih makanan?

Ketahanan Pangan dalam Konteks Perkotaan

Apakah relevan membicarakan ketahanan pangan dalam konteks perkotaan? Maksudnya, apakah relevan jika penilaian terhadap ketahanan pangan perkotaan dinilai berdasarkan, misalnya, ketersediaan lahan pertanian di wilayah perkotaan, jika pada kesehariannya pangan yang beredar dalam sistem pangan perkotaan adalah bahan panganan yang berasal entah dari mana? Bukankah sekarang wilayah perkotaan adalah wilayah yang terhubung dengan sangat “cepat” dan “dekat” sehingga kebutuhan pangan akan selalu tersedia?

Jika persediaan beras habis, besok tinggal pergi ke warung sebelah, atau minimarket di depan kompleks, atau pakai “Jo-Mart” saja juga bisa, kan? Jika stok telur dan ayam habis… Eh, siapa ya, yang sekarang masih menyetok ayam atau telur? Atau daging? Atau ikan di kulkas? Masih relevankah gaya hidup menimbun bahan makanan seperti itu?

Seperti besok mau perang atau bencana alam besar saja.

Terus ini lagi, apakah tidak sedikit berlebihan jika masyarakat perkotaan diajak untuk “memilih-milih” makanan sementara harga pangan tidak murah, baik secara ekonomis, apa lagi ekologis? Bukankah bisa makan aja udah untung, kenapa malah milih-milih makanan harus sehat, harus ini harus itu? Mau makan nasi dari beras putih atau beras merah, mau makan salmon liar maupun salmon yang diternak, toh sama-sama kenyang? Bukankah hakikat makanan adalah kenyang dan memberikan energi?

Tidak tahu. Saya juga sama-sama bertanya. Perlu tidak ya? Relevan tidak ya? Tapi setidaknya sekarang kita sama-sama sadar, soal pangan ini, ada hal yang perlu kita pertanyakan, ada hal yang perlu kita renungkan, ada hal yang belum terbahas dan belum terjawab. Mungkin karena kita sibuk, atau karena kita tidak paham duduk masalahnya, atau bisa juga karena kita abai.

--

--