ESAI / (PRA)SARANA

Serupa tapi Tak Sama: Mempersoalkan Miskonsepsi TOD

Ketika “Transit-Oriented” Menjadi “Transit-Adjacent” Development

Gifari Rahmat
Kolektif Agora

--

Photo by Nada Hanifah on Unsplash

Beberapa waktu ini, acapkali kita melihat dari pelbagai berita mengenai ambisi pemerintah untuk melakukan pembangunan kawasan dengan konsep transit-oriented development (TOD). Tahun lalu, Pemerintah melalui kerjasama Pusat dan Daerah telah meresmikan penataan empat kawasan TOD, yakni di Stasiun Tanah Abang, Stasiun Juanda, Stasiun Pasar Senen, dan Stasiun Sudirman. Ke depannya, masih ada 20 kawasan potensial yang diarahkan menjadi kawasan TOD, sesuai Perpres Rencana Tata Ruang (RTR) Jabodetabekpunjur terbaru.

Di balik gegap gempita pembangunan berkonsep TOD, kita perlu berhati-hati agar gegap itu tidak menjadi gagap, di mana alih-alih membangun TOD, yang akhirnya jadi adalah transit-adjacent development (TAD). Secara kasat mata mungkin terlihat sama, tapi jika diamati, banyak perbedaan fundamental yang bukannya menguntungkan, melainkan malah membuat buntung kawasan.

Sebelum bisa membedakannya, kita perlu pahami kembali maksud dari TOD.

Apa itu TOD?

Transit-oriented Development atau disingkat TOD adalah suatu gagasan penataan kawasan sekitaran stasiun transit di dalam radius berjalan kaki, di mana masyarakat dapat bekerja, berekreasi, berbelanja, hingga bertempat tinggal di kawasan tersebut. Transit yang dimaksud umumnya berjenis transit dengan volume dan frekuensi tinggi, yaitu transit berbasis rel seperti light rail transit (LRT), metro rail transit (MRT), atau kereta rel listrik (KRL), meski secara teori, bus tapid transit (BRT), seperti TransJakarta, juga dapat dipertimbangkan.

Sementara, “development” yang dimaksud adalah elemen/fitur di dalam built environment kawasan yang menyesuaikan dengan keberadaan stasiun transit. Kemudian, untuk dapat dianggap sebagai transit oriented, maka kawasan tersebut harus bisa ditempuh dengan berjalan kaki mencapai stasiun transit dalam waktu maksimal 15 menit (sekitar radius 800–1,5 km). Bisa disimpulkan bahwa TOD adalah konsep pengembangan yang mengedepankan penggunaan transportasi publik dan mengoptimalkan pemanfaatan ruang di kawasan sekitar simpul transitnya.

Konsep TOD mungkin terdengar awam bagi kita, tapi sebenarnya ini adalah konsep lama yang sudah ada sejak tahun 1920-an di Amerika dan Eropa ketika masyarakat mulai melakukan urbanisasi dan transportasi massal, seperti commuter rail line dan streetcar line yang dibangun di kota.

Melalui TOD, kegiatan masyarakat diakomodasi dengan memusatkan aktivitas perkotaan di sekitar stasiun transit. Seiring waktu, TOD mulai kehilangan popularitas, terutama saat industri mobil tumbuh pesat dan masyarakat lebih banyak bergantung pada mobil pribadi untuk kebutuhan mobilisasi.

Menariknya, saat ini, ketika kota-kota dunia mulai menuai dampak buruk akibat ketergantungan yang tinggi terhadap mobil pribadi, mereka kembali gencar membenahi transportasi publiknya dan seketika itu pula gagasan TOD kembali memperoleh popularitas. Berkaca dari keberhasilan Singapura dan kota-kota di Eropa dalam menata kotanya melalui TOD, tidak heran jika pemangku kebijakan perkotaan di Indonesia juga tergoda untuk menghidupkan TOD di kotanya.

Dari hasil studi yang dilakukan HTNB (2016), ditemukan bahwa 57% populasi yang beraktivitas di kawasan TOD mengurangi ketergantungan terhadap mobil pribadi. Secara teori, TOD memang dapat mengurangi dampak buruk dari ketergantungan terhadap mobil pribadi beserta masalah turunannya, seperti:

  1. emisi karbon (carbon footprint) akibat penggunaan kendaraan motor secara berlebih yang menyebabkan penurunan kualitas udara hingga perubahan iklim;
  2. kemacetan yang menyebabkan banyak masalah yang merugikan warga dan pemerintah hingga triliunan rupiah setiap tahunnya;
  3. sedikitnya waktu untuk aktivitas warga/sosial akibat terjebak dalam lalu lintas (kemacetan);
  4. tingginya kebutuhan akan ruas jalan dan area parkir kendaraan, padahal kota butuh banyak ruang yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain; dan masih banyak lagi.

Selain itu, pembangunan dengan konsep TOD merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk merevitalisasi kotanya. Pengembangan kawasan TOD berpengaruh hingga skala regional, di mana TOD dapat menjadi counter terhadap suburbanisasi melalui pemusatan dan pemadatan pembangunan di sekitar stasiun. Begitu pula pembangunan kawasan TOD akan lebih terarah di dalam koridor, tidak ekspansif (sprawling), sehingga memudahkan dan mempermurah penyediaan infrastruktur perkotaan.

Lalu, apa saja prinsip yang menjadikan suatu kawasan dapat diklasifikasikan sebagai TOD? Dari sekian banyak pendapat ahli, terdapat dua prinsip krusial yang membentuk TOD, yaitu sistem transportasi publik yang memadai dan kawasan yang kompak (menerapkan konsep compact city/15 minutes city seperti mixed land use, walkable, densify, dsb.).

Kedua karakteristik ini wajib dipenuhi suatu kawasan yang “mengaku” sebagai TOD. Jika hanya memenuhi satu atau tidak sama sekali maka tidak selayaknya dapat kita sebut sebagai TOD; lebih cocok kita sebut sebagai transit-adjacent development atau TAD.

Membedakan TOD dan TAD

Renne (2009) menyatakan meski kedua konsep TOD dan TAD berbicara tentang hal yang serupa, yaitu suatu kawasan di sekitar stasiun transit yang berada dalam jarak jalan nyaman (maksimal 15 menit), TOD merupakan kawasan yang penuh dengan aktivitas beragam yang berorientasikan penggunaan transportasi publik. Sementara itu, TAD adalah kawasan yang secara fisik dekat dengan stasiun transit, tapi tidak ada keterhubungan antar satu sama lain.

Bisa dibilang, TAD adalah upaya TOD yang asal dekat saja dengan stasiun transit dan tidak menerapkan prinsip-prinsip yang membentuk TOD. Oleh karena itu kita harus waspada dengan gembar-gembor proyek TOD; jangan-jangan, yang kita bangun hanyalah TAD? Karena, segala manfaat dan keunggulan dari kawasan TOD yang digaungkan tidak akan tercapai di kawasan TAD yang bahkan punya isunya tersendiri.

Ketika pemerintah menetapkan dan memberikan izin untuk pengembangan TOD di suatu kawasan, akan ada insentif yang menyertai bagi para pengembang, sebagai upaya mendorong demand pembangunan di area tersebut. Insentif tersebut di antaranya adalah bonus zonasi, di mana pengembang diizinkan membangun dengan intensitas (KDB/KLB) yang lebih besar dari yang ditetapkan.

Tanpa aturan yang tegas, akan ada kecenderungan bagi pengembang untuk menyalahgunakan insentif tersebut demi memaksimalkan keuntungan dengan melakukan pembangunan masif yang hanya menjual kedekatan lokasi dengan stasiun transit (TAD) tanpa memenuhi prinsip TOD, seperti pembangunan single land use (hanya membangun properti yang memiliki nilai jual tinggi, seperti apartemen mewah) atau penyediaan ruas jalan dan parkir yang luas untuk mengakomodasi mobil yang kemudian mengorbankan ruang bagi pejalan kaki/pesepeda. Akibatnya, kawasan tersebut tidak kompak dan tidak mendorong orang untuk mau beralih ke kendaraan umum.

Selain itu, pengembangan TAD tidak akan memusingkan siapa penerima manfaat dari kawasan tersebut karena yang diinginkan hanya bagian development-nya saja, bukan tentang “transit-oriented”. Maka, tidak heran ketika pembangunan kawasan tidak mempertimbangkan siapa penggunanya dan bagaimana bisa digunakan.

Contohnya adalah pembangunan apartemen di kawasan transit. Tanpa regulasi dan subsidi, apartemen yang dibangun pengembang hanya mampu dimiliki oleh kelompok masyarakat berpendapatan tinggi. Padahal, kelompok ini adalah kelompok yang cenderung sulit untuk beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum.

Belum lagi ketika apartemen tersebut dibeli hanya untuk investasi dan tidak ditempati. Padahal, masyarakat kelas bawah/menengah dapat memanfaatkannya dengan lebih baik, di mana dengan bertempat tinggal di kawasan TOD dapat menghemat pengeluaran transportasinya serta memudahkan pergerakan dalam mengakses pekerjaan. Oleh karena itu, mixed income population harus menjadi pertimbangan dalam membangun TOD, dengan menyediakan bangunan serta fasos fasum yang sesuai agar tepat guna, sesuatu yang TAD tidak siapkan.

Lebih lanjut lagi, jika kawasan TOD hanya dikuasai oleh kelompok masyarakat kelas atas, maka akan cenderung menyebabkan gentrifikasi, yaitu perubahan nilai kawasan dari rendah menjadi tinggi, akibat migrasi penduduk berpenghasilan tinggi dan usaha-usahanya ke dalam suatu kawasan yang menyebabkan harga lahan turut naik. Masyarakat berpendapatan rendah yang semula tinggal di kawasan tersebut, secara perlahan, akan terusir dan masyarakat kelas ekonomi lain tidak bisa masuk karena kawasan tersebut sudah tidak lagi terjangkau bagi mereka.

Gentrifikasi menyebabkan kawasan TOD menjadi eksklusif, jauh dari semangat keadilan ruang kota. Kawasan sekitar stasiun transit yang potensial dikembangkan untuk memperbaiki kehidupan kota malah menjadi sebab-sebab semakin lebarnya jurang ketimpangan sosial.

TAD tidak hanya menjadi wasteful potential on strategic area, tapi juga bisa merusak tatanan kota. Oleh karenanya, pemerintah wajib waspada, jangan jadikan TOD hanya sebagai ladang proyekan dan pembenaran pembangunan masif tanpa kendali, karena masyarakat yang akan menanggung dampaknya.

Perlunya Meninggalkan Cara Lama

“Saya gembira kita bisa memberi inspirasi dan bisa membuktikan bahwa sebagai bangsa itu kita bisa, yang selama ini bangsa Indonesia dibilang hanya bangsa wacana hari ini terbukti (berjalan rencana pembangunan TOD),”

-Eric Tohir, Menteri BUMN pada peresmian penataan kawasan TOD Jakarta.

Optimisme dan semangat membangun TOD yang ditunjukkan oleh pemerintah patut diapresiasi karena sudah ada langkah konkret menuju kota yang lebih berkelanjutan. Namun, jangan sampai kita terbuai dengan pembangunan asal dekat dengan stasiun. Lagipula, TOD tidak akan sekonyong-konyong terwujud tanpa sekaligus ada pembenahan sistematis dan masif terhadap sistem transportasi publik perkotaan dan pengendalian pembangunan kawasan.

Semua itu harus dilandasi oleh semangat berkorban oleh pemerintah. Semisal dengan membangun TOD, masyarakat diharapkan mengurangi ketergantungannya dengan kendaraan pribadi dan beralih ke kendaraan umum. Hal ini menjadi kontraproduktif, jika di sisi lain, pemerintah masih terus mengutamakan pembangunan ruas jalan di dalam kota. Akibatnya, masyarakat menjadi enggan menggunakan transportasi umum karena pemerintah masih memanjakan pengguna kendaraan pribadi. Maka dari itu, agar kita bisa benar-benar mewujudkan TOD, bukan sekadar TAD, pemerintah harus mau mengorbankan cara lama dalam membangun kota.

Semoga TOD yang kita bangun tidak hanya menjadi jargon semata.

Gifari Rahmat
Analis Perencana, BPIW, Kementerian PUPR

--

--