Liputan

Memungut Remah-remah Wacana Rumah

Laporan dari Diskusir #8: Langgas Tak Berpapan

Kolektif Agora
Kolektif Agora

--

Oleh: Zalfa Anjani

Foto oleh Sangkara Nararya, 2018.

Rumah merupakan sesuatu yang pada hakikatnya teramat dekat dengan kehidupan sehari-hari, sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditiadakan. Sayangnya, saat ini rumah sudah lebih dilihat sebagai komoditas untuk diperjualbelikan daripada hak dasar yang patut dimiliki semua orang. Hal ini jelas mempengaruhi secara negatif generasi langgas (Inggris: millenials) yang sedang dan akan membutuhkan hunian.

Diskusir #8 yang mengangkat judul “Langgas Tak Berpapan” meninjau bagaimana generasi langgas menavigasikan diri di tengah-tengah dunia perumahan yang semakin lama semakin tidak bersahabat. Dilaksanakan pada hari Selasa, 8 Mei 2018 dan bertempat di Spasial, diskusi ini mengundang Atika Almira sebagai pembicara dari rumahpertama.id.

Foto oleh Sangkara Nararya, 2018.

Diawali dengan pemaparan bertajuk Housing in the Mind of Millennials, rumah impian para generasi langgas pun dianalisis dan dibandingkan dengan kenyataan. Atika menjelaskan bahwa berdasarkan survey terhadap 335 responden yang dilaksanakan oleh komunitas rumahpertama.id, landed house masih merupakan jenis rumah impian generasi langgas.

Kemudian, dari segi pembiayaan, rumah impian tersebut haruslah tidak lebih mahal daripada 800 juta rupiah dan dapat langsung dilunasi saat itu juga. Sedangkan dari segi tempat, tentu aksesibilitas menjadi perhatian bagi generasi langgas yang mayoritas ingin tinggal di pusat kota. Kepemilikan rumah ternyata masih menempati peran yang signifikan sebab kebanyakan dari generasi langgas masih mendambakan rumah milik sendiri. Idealisme ini tidak terbatas pada perihal material saja, tetapi juga mencakup seberapa besar dampak ekologis yang ditimbulkan oleh hunian pilihan.

Impian-impian dan idealisme-idealisme tersebut mengandung paradoks yang tidak terhindarkan pada praktiknya. Contoh sederhananya, menurut Atika, ialah keinginan untuk memiliki landed house (rumah tapak) di pusat kota yang tidak mungkin bisa didapatkan tanpa biaya besar, oleh karenanya rumah vertikal menjadi salah satu solusi yang dapat diupayakan. Selain itu, pemilihan landed house juga tentunya memiliki konsekuensi ekologis yang lebih besar daripada rumah vertikal, sama sekali tidak bersesuaian dengan unsur ramah lingkungan yang ditekankan oleh generasi langgas.

Foto oleh Shafiera Syumais, 2018.

Pemaparan tentang perbedaan antara imaji dan realita ini memancing para peserta diskusi lainnya untuk berbagi wawasan tentang kenyataan mengenai perumahan di Indonesia. Topik mengenai kepemilikan lahan segera menyabet perhatian dan UU Agraria tahun 1870 dan revisinya pada tahun 1960 pun menjadi sorotan. Berkaca dari Singapura yang berhasil memenuhi kebutuhan perumahan masyarakatnya melalui HDB, terdapat implikasi bahwa hak kepemilikan lahan di Indonesia malah merugikan dan bukannya menguntungkan, terutama untuk generasi langgas yang dihadapkan pada kondisi lahan hunian yang sudah dikuasai oleh generasi sebelumnya. Akibatnya, timbul fenomena di mana terdapat beberapa orang yang memiliki banyak sekali lahan sementara itu banyak pula yang sama sekali tidak.

Menghadapi jurang antara impian dan realita ini, Atika menjelaskan bahwa generasi langgas perlu berhenti terpaku kepada idealismenya dan mulai mencari opsi-opsi lainnya. Guna mencapai tujuan untuk mendapatkan hunian yang layak dari sisi lingkungan, sosial, maupun ekonomi, rumah untuk generasi langgas tidak perlu sepenuhnya sesuai dengan imaji. Generasi langgas patut mempertimbangkan untuk berpindah dari konsep landed house kepada konsep rumah vertikal seperti mid-rise housing supaya dapat tinggal di pusat kota, dan fantasi lama atas landed house mesti perlahan ditinggalkan.

Foto oleh Shafiera Syumais, 2018.

Kemudian, generasi langgas juga perlu merekonstruksi pemahaman bahwa rumah bersifat individual dan menggantinya dengan pemahaman mengenai co-housing supaya generasi langgas dapat membeli rumah yang lebih bagus untuk ditempati bersama. Selain dapat meringankan pembiayaan, co-housing juga dapat mereduksi carbon footprint yang ditimbulkan, menyelesaikan tidak hanya permasalahan pembiayaan tapi juga permasalahan lingkungan.

Dari identifikasi segelintir opsi-opsi tersebut, selanjutnya, yang sangat penting untuk dilakukan ialah merubah paradigma tentang rumah bagi generasi langgas, perubahan paradigma ini seperti yang dikatakan Atika sangat dipengaruhi oleh propaganda. Akan sulit bagi generasi langgas untuk memiliki rumah jika definisi rumah yang dimaksud terbatas pada landed house milik sendiri saja. Maka secara personal, generasi langgas harus memahami bahwa keinginan untuk memiliki rumah belum tentu sama dengan kebutuhan. Secara komunal, generasi langgas perlu memahami bahwa keputusan apapun yang dibuat terkait dengan perumahan dapat dan akan mempengaruhi skala yang lebih besar.

Setelah itu, pada sesi tanya-jawab, para peserta diskusi berdialog tentang nature dari generasi langgas dan nature dari perumahan di Indonesia. Salah satu pendapat yang muncul dalam dialog tersebut ialah pendapat bahwa generasi langgas ini merupakan generasi yang hipokrit pada pendiriannya. Itu karena, di satu sisi, generasi langgas menggembar-gemborkan globalisasi yang didasarkan pada mobilitas dan ketidakterikatan. Tapi, di sisi lain, generasi ini juga menjadi pihak yang ingin menguasai dan memiliki lahan. Sikap yang hipokrit ini menurut Atika timbul dari nature perumahan di Indonesia yang belum bisa memastikan keamanan hukum dan kenyamanan rumah nonmilik.

Pada akhirnya, sebenarnya generasi langgas ini tidaklah berbeda dari generasi sebelumnya. Apa yang diinginkan generasi langgas terbentuk dari apa yang diinginkan dan disediakan juga oleh generasi sebelumnya. Permasalahannya adalah generasi langgas sudah tidak bisa lagi menginginkan hal yang sama dengan generasi sebelumnya. Maka dari itu, paradigma generasi ini tentang hunian perlu dirubah melalui berbagai edukasi dan propaganda supaya pada akhirnya setiap dari langgas dapat berpapan.

Foto oleh Sangkara Nararya, 2018.

--

--