Editorial

Mengapa Memilih Ojek Online?

Memahami Konsep Pemilihan Moda Secara Rasional Berdasarkan Utilitas

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

--

Foto oleh Sangkara Nararya, 2017

Saya adalah mahasiswa yang berkampus di Kota Bandung dan rumah di pinggiran Bandung mepet Cimahi. Setiap hari saya ke kampus dan kembali pulang menggunakan jasa ojek online. Bisa dibilang nyaris pelanggan setia. Ketika saya mendengar rencana demo angkot pada tanggal 10–13 Oktober 2017, saya tidak terlalu panik. Ketika yang terjadi adalah demo tersebut batal akibat diskusi antara WAAT dan Dishub Jabar, saya jadi panik sekaligus sedih dengan keputusan yang keluar dari diskusi tersebut.

Hasil diskusi WAAT dan Dishub Jabar (sumber: Instagram @ridwankamil)

“Pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat mendukung aspirasi Wadah Aliansi Aspirasi Transportasi (WAAT) Jawa Barat untuk tidak beroperasi angkutan sewa khusus / taksi online (Grab, Uber, Go Car dan Gojek) sebelum diterbitkannya peraturan yang baru tentang angkutan sewa khusus / taksi online.”

Hiks, besok saya ke kampus pake apa, dong?

Tapi, saya jadi sedikit penasaran, sebenernya peraturan seperti apa sih yang diharapkan oleh WAAT ini? Dari yang saya baca di berita-berita online, tuntutan WAAT adalah regulasi guna menjadikan angkot dan ojek online memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan penumpang. Apakah itu mungkin? Regulasi macam apa yang perlu dilakukan sebenarnya? Kenapa sih pada awalnya orang-orang itu — dan saya juga — memilih untuk naik angkutan online?

Tulisan ini akan berfokus pada pertanyaan terakhir.

Pemilihan Moda dan Utilitas

Dari yang saya pelajari, pemilihan moda dalam pergerakan secara rasional dengan membandingkan utilitas. Yang dimaksud dengan utilitas adalah manfaat yang didapatkan dari memilih sebuah moda. Nilai utilitas dapat dipecah kedalam aspek-aspek terhitung seperti waktu tempuh, ketersedaan parkir, jarak jalan kaki, juga harga. Kritik dalam pendekatan ini adalah ketidakmampuannya menangkap aspek-aspek yang subjektif seperti kenyamanan dan keamanan. Padahal, hal tersebut berpengaruh terhadap pemilihan moda. Saya akan memasukkan kriteria ketersediaannya pada malam hari karena saya sering pulang malam.

Tentu, utilitas akan berpengaruh pemilihan moda ketika kita memiliki pilihan. Apabila kita tidak memiliki pilihan, ya, bagaimana mau memilih? Apabila kita tidak memiliki motor, ya, bagaimana mau naik motor?Jika memiliki pilihan, maka secara rasional moda yang akan dipilih adalah moda dengan utilitas tertinggi.

Walau tidak semua orang rasional — seperti, bikers yang akan tetap naik motor besar walau mahal dan punya mobil — namun, saya percaya bahwa mayoritas masyarakat adalah rasional. Termasuk saya.

Saya

Saya sangat beruntung dalam hal memilih moda. Di rumah saya memiliki mobil dan motor. Rumah saya juga tidak terlalu jauh dari rute angkot untuk ke kampus. Saya juga memiliki akses terhadap angkutan online dari smartphone saya. Jadi, bisa dibilang saya bukan kelompok captive people — kelompok masyarakat yang memiliki pilihan terbatas — yang terpaksa menggunakan satu moda karena tidak ada pilihan lain. Di sini, saya akan bercerita mengenai pengalaman saya dengan setiap pilihan moda yang ada.

Dulu, sebelum ada angkutan online (ya, saya sudah lama di kampus), saya ke kampus dengan mobil pribadi. Saya menghabiskan sekitar 50.000 rupiah untuk bensin seminggu. Saya bisa parkir di dalam, kalau beruntung, dengan biaya 3.000 rupiah. Jika tidak beruntung atau datang kesiangan, saya parkir di luar — di pinggir Jalan Ganesha, Jalan Skanda atau Jalan Gelap Nyawang — dengan biaya 5.000 rupiah ditambah 2.000 rupiah jika parkir sampai malam, itu pun tidak selalu dapat. Pernah sesekali saya parkir di outlet di Jalan Dago, bahkan di RS Borromeus, karena tidak mendapatkan parkir. Waktu yang saya habiskan berada di dalam mobil untuk pergi ke kampus sekitar 30 menit, itu pun kalau tidak macet di Jalan Pasteur. Tapi, kalau macet, ya God knows how long… maka, jika saya pergi dengan mobil, saya harus berangkat jam 6. Selain untuk berebut parkir, juga untuk menghindari macet.

Namun, dengan ketatnya persaingan mendapatkan parkir di kampus dan seringnya saya kuliah siang, maka saya memilih untuk naik motor. Dengan motor, saya bisa menempuh perjalanan dengan waktu yang lebih cepat, yakni 15 menit. Dengan motor, saya juga tidak perlu khawatir macet karena itu hanya akan menambah waktu perjalanan saya sekitar 5–10 menit, tergantung seberapa parah macetnya. Parkir motor di dalam 2.000 rupiah, di luar juga sama. Bensin juga cuma habis 10.000 rupiah seminggu. Such a good deal, bukan? Nggak juga, sih. Bawa motor itu melelahkan, terutama ketika harus menerabas kemacetan. Selain itu, parkir motor sekarang juga harus bersaing! Sialan.

Rute rumah-kampus menggunakan kendaraan pribadi (sumber: google maps)

Saya baru bisa naik motor sekitar setahun lalu. Ketika naik mobil sudah pasti tidak dapat parkir, saya naik angkot sebelum adanya angkutan online. Saya juga sempat dilarang naik motor karena ibu saya menganggap emosi saya kurang stabil akibat pengerjaan skripsi. Maka, pengalaman saya naik angkot tidaklah sedikit.

Namun, naik angkot adalah sama sekali tidak menyenangkan bagi saya. Zaman dulu, ketika angkot masih banyak dan jarang ngetem, saya menghabiskan waktu kira-kira 45 menit hingga 1 jam di dalam angkot dengan berjalan sekitar 5 menit dari rumah dan berganti angkot sekali untuk sampai ke kampus. Rutenya juga agak melambung. Tapi sekarang, seperti yang diprediksi oleh Google Maps: 2 jam! Saya juga harus membayar sekitar 8.000 rupiah hingga sampai ke kampus. Tapi ya, memang tidak perlu repot cari parkir, apalagi bayar parkir .

Namun, naik angkot membuat saya berada dalam masalah lain; ketika sudah malam, saya nggak bisa pulang. Dan, minta anterin teman-teman himpunan untuk nganterin saya pulang seringkali berubah dari permintaan menjadi permohonan, bahkan kadang dengan sogokan. Wajarlah, rumah saya “jauh”.

Rute rumah-kampus menggunakan angkot (sumber: google maps)

Jika dilihat, permasalahan saya dengan semua jenis angkutan ini adalah waktu tempuh, parkir, dan keberadaannya saat malam hari. Ketika ada angkutan online, saya sangat senang karena semua masalah ini tidak lagi jadi masalah. Angkutan online memiliki kebebasan untuk menempuh rute yang sama dengan kendaraan pribadi, jadi tidak melambung jauh seperti angkot. Terlebih, saya juga tidak perlu khawatir macet karena saya dapat memilih motor sebagai jenis angkutan yang digunakan. Parkir? Bukan masalah. Karena saya nggak perlu parkir jika menggunakan angkutan online. Keberadaannya pada malam hari juga bisa diandalkan. Dengan 10.000 rupiah sekali jalan untuk motor dan 20.000 rupiah untuk mobil, saya bisa ke kampus bebas mikirin nanti malam pulang sama siapa.

Sebenarnya, baru-baru ini ada satu pilihan lain yang memperkaya pilihan saya, yakni Bus TMB dengan rute Cicaheum-Sarijadi. Namun, untuk mencapai halte terdekat, saya harus berjalan sekitar 20 menit dari rumah. Belum lagi, dari halte paling dekat dengan kampus saya harus jalan lagi sekitar 10 menit untuk sampai kampus. Tapi, rute TMB ini mirip dengan angkutan pribadi yang melewati Jalan Layang Pasupati. Ya, kalau saya santai dan sedang ingin olahraga, saya bisa naik TMB.

Rute rumah-kampus menggunakan TMB Cicaheum-Sarijadi(sumber: google maps)

Kenapa Ojek Online

Kalau dilihat, curhatan saya isinya tentang harga, waktu tempuh, susah parkir, atau nggak bisa pulang saat malam. Untuk mempermudah bahasan selanjutnya, berikut merupakan ikhtisar dari curhat panjang saya.

Ikhtisar curhat sebelumnya

Jika dilihat menggunakan aspek yang ada pada konsep utilitas sebelumnya, maka pilihan moda saya dapat dibandingkan. Untuk mempermudah perbandingan, maka setiap aspek akan diordinalkan dengan skala 1–5 dengan 1 paling rendah dan 5 paling tinggi. Perbandingan moda-moda yang sudah disebutkan di atas akan terlihat seperti ini:

Utilitas per moda berdasarkan curhat

Bisa dilihat bahwa ojek online memiliki utilitas paling tinggi di antara semua jenis angkutan lainnya. Ini kenapa saya pilih ojek online sebagai moda transportasi harian saya.

Memahami Tuntutan Angkutan Umum

Lantas dengan analisis ini, apakah yang bisa dipelajari untuk pengambil kebijakan terkait dengan tuntutan WAAT? Anggaplah mayoritas penduduk pinggiran Kota Bandung yang memilki kegiatan harian di pusat kota menilai utilitas terhadap moda pilihan adalah sama dengan apa yang saya rasakan, maka jika nantinya angkutan online dihilangkan, sesungguhnya saya tetap tidak akan menggunakan angkot. Kenapa? Karena utilitas tertinggi ketika angkutan online tidak ada adalah motor. Saya dan orang-orang akan pilih motor. Jadi sebenarnya yang menjadi ancaman bagi angkutan umum pada khususnya angkot bukanlah angkutan berbasis online, tapi motor!

Jika permintaan WAAT adalah membuat angkutan umum saat ini memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan penumpang dengan angkutan online, ada dua pendekatan yang bisa dilakukan: (1) menaikkan utilitas angkutan umum, seperti menurunkan tarif atau mengurangi ngetem yang menyebabkan waktu perjalanan makin tinggi, dan/atau (2) menurunkan utilitas angkutan online seperti pengenaan pajak atau pelarangan beberapa ruas jalan.

Tapi, bukankah hal ini seakan mengabaikan adanya pilihan lain, yakni motor pribadi?

-_-

Bisa dibayangkan jika semua orang menggunakan motor nantinya? Akan terlihat seperti di Beijing. Tidak hanya macet, motor juga bukan yang paling efisien penggunaan bahan bakar secara agregat. Itu pemborosan subsidi BBM! Belum lagi, bicara tentang pencemaran udara yang akan terjadi.

Ini di Beijing (sumber: google)

Kita berbagi jalan yang sama, udara yang sama, subsidi yang sama. Maka pemilihan moda ini bukan hanya masalah sopir angkot dan driver ojek online. Tidak seorang pun dapat menyangkal bahwa moda angkutan umum menggunakan ruang jalan jauh lebih efisien daripada moda angkutan pribadi. Regulasi mengenai pengadaan transportasi online ini memang diperlukan. Namun, dalam penyusunannya, perlu diingat bahwa pemilihan moda merupakan hasil dari pertimbangan yang rasional.

Bacaan Lanjutan

Tamin, Ofyar Z. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Institut Teknologi Bandung. Bandung : 2000

Sumber Berita

--

--

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

Mainly interested in the city and the choices people make in it