IN/TRES/PEKSI

Menjabal di Agora

Menjadi Penyamun di Sarang Perawan

Jaladri
Kolektif Agora

--

Foto oleh Jaladri, 2020.

Menulis tidak pernah menjadi pekerjaan mudah bagi saya. Sekadar informasi, sebelum mengetik kalimat sebelumnya, saya perlu setidak-tidaknya 24 menit diam di depan layar. Ini saya catat menggunakan sebuah time-tracking app sebagai sarana saya berusaha disiplin pada diri sendiri.

Jika diingat-ingat lagi, dikenal menjadi penulis tidak pernah menjadi cita-cita saya. Menulis hanyalah sarana untuk saya mengeluarkan unek-unek atau sarana melihat alur pikiran saja. Semuanya hanya perkara personal, tidak ada urusan profesional.

Namun, setelah dua tahun menulis di Agora, orang-orang mulai mengenal saya sebagai penulis. Beberapa tawaran profesional mulai berdatangan. Dari penulis lepas, penulis hantu, copywriter, bahkan diajak bergabung menjadi bagian pengurus dari forum literasi di kota Bandung. Meski saya tidak menceburkan diri — jika dibandingkan para penulis lain yang sudah basah — di dunia literasi, rasa-rasanya Kolektif Agora terlalu banyak membuat saya terciprat dunia tulis menulis.

Rasanya, saya seperti menggasak terlalu banyak hal melalui Agora. Tidak hanya pengetahuan yang saya dapat secara morel, tetapi di kolektif yang sejauh ini belum memiliki motivasi finansial, kok bisa-bisanya saya mendapatkan pekerjan-pekerjaan yang menghasilkan materi secara finansial.

Awalnya Mengutil di Kolektif

Sejujurnya, nongkrong di Kolektif Agora tidak lebih dari usaha saya mencuri-curi pengetahuan dari teman-teman yang berkuliah di planologi. Dulu saya sempat berpikir untuk mengambil jurusan planologi, tetapi karena merasa ingin berkuliah di arsitektur juga, saya memperlakukan pengetahuan-pengetahuan soal kota hanya sebagai ekstrakurikuler saja. Awalnya sih begitu.

Namun, sejak awal kuliah, saya sering mengikuti topik soal tata kota di sosial media. Saat pindah kuliah ke Bandung, hal yang pertama sekali saya lakukan adalah bergabung di Bandung City Watch, tempat saya berkenalan dengan Naufal Rofi dan Nayaka Angger. Kota dan perkotaan sudah seperti ekstrakurikuler yang membuat saya dengan rela hati sering bolos masuk satu-dua mata pelajaran di sekolah.

Setelah ekstrakurikuler lama kami tidak lagi ada bentuknya, saya mendengar kabar bahwa Naufal, Angger, dan rekan sejawatnya (yang kemudian saya ketahui adalah Alvaryan Maulana) menginisiasi Kolektif Agora. Tanpa pikir panjang, saya mengajukan diri untuk bergabung menjadi penulis sebagai usaha konsisten saya dalam mencuri pengetahuan dari mereka.

Jika ada penyemu di antara mereka, jelas sekali sayalah penyemunya. Nefertari Pramudhita pernah, tanpa tedeng aling-aling, berkata bahwa dulu saya seperti orang luar yang terlalu berusaha keras untuk berbaur.

Meski bukan penyemu yang ulung, saya adalah penyemu yang konsisten. “Fake it until you make it” kalau kata peribahasa bule.

Mari kilas balik pada momen pertama saya bertemu dengan Naufal. Kalau tidak salah tahun 2015. Waktu itu saya mendaftar untuk menjadi analis dan surveyor di Bandung City Watch. Naufal ketua divisinya saat itu. Saya tidak pernah melakukan survey dengan metodologi yang benar dan tidak punya pisau analisis apa-apa. Hanya modal ingin tahu, nyari tahu, dan maksa tahu.

Tahun ini tahun 2020, dan saya masih banyak belajar dari Naufal. Dia editor, saya penulis. Relasinya tidak banyak berubah meski Naufal kerap menampik kalau dia memang lebih banyak tahu dari saya. Selama dua tahun berproses di Agora, kalau mau hitung-hitungan, saya hanya sedikit lebih baik dari dua tahun yang lalu.

Tapi, boleh gak sih untuk sedikit juga berbangga diri? Memang lebih baiknya hanya sedikit, sedikit sekali, tetapi itu konsisten sejak dua tahun yang lalu.

Jika mau ditarik lebih mundur lagi, tahun 2012 adalah tahun di mana saya mulai gandrung dengan masalah perkotaan. Tahun di mana saya mulai terpapar dengan arsitektur dan menemukan ternyata ada yang lebih menarik dari unit bangunan, yaitu kota.

Urban planner sempat saya sematkan sebagai cita-cita saya kala itu. Segala keranjingan itu diawali rasa penasaran saya di tahun sebelumnya, yaitu tentang bagaimana relasi manusia dan pembangunan sebenarnya terjadi. Sebuah pertanyaan sederhana saya di tahun 2011.

Tiga bulan menuju 2021, rasanya saya sudah siap untuk menerima bahwa saya sudah hampir satu dekade bergumul dengan pertanyaan yang sama. Hanya sedikit lebih tahu, sama sekali tidak lebih pintar, cuma sedikit lebih mawas diri, sambil berharap semoga lebih bijak.

Saya menerima bahwa saya tidak jauh lebih keren dari diri saya 9 tahun yang lalu. Saya masih segini-gini saja. Saya hanya mampu melakukan hal yang tidak menarik dan membosankan, yaitu bersetia pada hal yang sama.

Mengembalikan Pencurian

Setelah lebih dari dua tahun ber-Agora (kami menyebutnya begitu) ekstrakurikuler ini menjadi lebih penting dari kurikulum formal yang seharusnya saya jalani. Kolektif Agora mengenalkan saya pada komunikasi sains yang kemudian kerap saya terapkan pada pekerjaan-pekerjaan saya.

Jennie Yuwono sebagai teman yang paling dekat sebagai “periset beneran”, kerap saya coleng sedikit-sedikit ilmunya sembari bergunjing tentang hal-hal yang terjadi sosial media. Sebenarnya agak segan untuk menyebut diri penulis sih, tetapi sekali lagi, saya penyemu yang konsisten.

Berkemelut di Kolektif Agora seperti siklus mencuri dan mengembalikan pencurian yang tidak berkesudahan, tetapi menyenangkan. Semakin banyak saya mencuri dari kolektif, kok rasa-rasanya semakin banyak yang ingin saya kembalikan. Pengembalian yang lebih banyak itu tidak saya anggap bunga hutang karena saya tidak suka berhutang.

Jadi, anggap saja saya pencuri yang jujur. Terima kasih untuk teman-teman yang dengan senang hati rela saya curi baik pengetahuan dan perhatiannya. Asal kalian tahu, aku sayang kalian.

Karena, pada dasarnya cuma senang. Kalau sudah senang dan dibayar, rasanya sudah cukup untuk menjalani hidup. Sederhana sekali ya? Tetapi, ya memang begitu. Rasa senang yang sederhana. Sesederhana berbagi odading Tubis di sekretariat Kolektif Agora.

Ngomong-ngomong soal odading, karena suatu urusan, kemarin saya melewati jalan Baranang Siang. Saya menyempatkan diri menengok keramaian di lapak odading Mang Oleh yang viral, karena saya penasaran. Saking banyaknya orang yang antre, mereka duduk dalam tenda seperti berada di sebuah hajatan.

Daripada penasaran dengan odadingnya, saya lebih penasaran kenapa orang mau antre sebegitunya. Tapi, menunggu odading barangkali lebih menjanjikan daripada menunggu Godot. Odading pasti akan datang.

Setidaknya para pemesan odading itu tidak terkunci di dalam teka-teki eksistensial: menunggu dengan sia-sia hal yang tidak diketahui untuk memberikan mereka tujuan, sementara tujuan mereka hanya datang dari kegiatan menunggu tadi. Lain hal dengan Godot, meski harus menunggu lama, tujuan untuk mengalami antre dan mencoba odading akan tercapai.

Bersetia adalah hal yang mudah jika kita tidak berhadapan dengan rangsangan ringan, beberapa kejutan, atau mendapatkan apa pun yang kita inginkan. Itu terlalu remeh. Kita tidak penasaran pada sesuatu yang pasti. Kita selalu penasaran pada sesuatu yang tidak jelas.

Kita bertahan (yang kemudian orang lihat sebagai tindakan bersetia) karena kepelikan. Kita datang kembali karena menemukan sesuatu yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Sesuatu yang membuat kita jatuh cinta.

Perihal odading ini membuat saya bergidik takut. Apakah bersetia untuk menunggu pada hal-hal yang tidak ada janjinya, akan terbayarkan seperti halnya kita menunggu odading? Atau tujuan hidup harus digeser pada hal yang lebih realistis dan tidak abstrak?

Selasa, 29 September 2020
Jaladri,
Penyemu penggemar donat dan batagor.

--

--